Minggu, 02 April 2017

Bromo: Misi Mengakhiri Bayak “Ah Sudahlah”



“Kok nggak nulis lagi? Aku suka loh baca blog kamu yang bagian putus cinta dan patah hati. Jadinya aku merasa nggak sendiri, ada juga orang yang percintaannya nggak bahagia, atau lebih parah malah!”

Taukah aku ingin membalas pesan tersebut dengan, “Bangsat!” tapi karena aku sholehah (sableng) kubalas dengan untaian doa-doa percintaan dua insan. Kan, gila! Ini bukan kali pertama ada pesan beginian. Hmm, aku menulis tentang perpisahan di blog adalah bentuk terimakasihku kepada orang- orang yang (pernah) kucintai, kemudian karena satu dan lain hal aku tidak bisa meneruskannya (opossee). Baik banget kan, udah disakitin masih nyeritain, itu nggak gampang loh, ada perang badar di dalam hatiku (kalo yang ini ngetiknya sambil ngakak).

Aku sampai pada fase menertawakan postingan-postingan percintaan di blogku sendiri, yang sedikit drama banyak rindunya. AH SUDAHLAH, namanya juga anak muda. Sekarang umurku dua puluh tiga lebih beberapa bulan, aku merasa sudah cukup tua dan enggan untuk banyak berdrama. Satu  setengah bulan setelah wisuda aku resmi bekerja di Kediri. Jika dulu aku berkoar sebagai mahasiswa bahagia, menertawakan buruh kelas menengah ngehe yang terbungkuk-bungkuk di depan komputer dari pagi hingga sore, Demi Tuhan aku kualat! Ya, nyatanya sekarang aku juga buruh yang berangkat naik sepeda motor pagi-pagi dan pulang malam hari. Nikmat? Nikmat dong!

Memegang kata-kata, “Bahagia ada di tanganmu sendiri,” membuatku dipaksa terbiasa mengalihkan kebosanan sendiri. Pergi ke warung kopi, ke toko buku, atau membaca di kamar jadi lebih sering kulakukan untuk mengisi waktu luang ketimbang travelling (apalagi pacaran, eh).  Entah, sekarang aku malas senekat dulu untuk uculan dolan sendiri atau hanya berdua semacam mbolang kata orang-orang. Jika dulu aku hampir tak pernah ikut paket tour, maka sekarang lain halnya. Ikut paket tour memungkinkan segala yang buruk-buruk seperti nggak kebagian mobil, mobil rusak, kesasar, dan lain sebagainya terminimalisir. Tenaga terbuang sia-sia juga tidak banyak, toh senin pagi harus bekerja.

“Akhir bulan yang melelahkaaaaaaan.”
“AH SUDAHLAH. NGGAK PAPA BESOK KITA BUDAL DOLAN.”

Nah adik-adik yang belum lulus, jika kamu mencibir kelas pekerja dengan bilang, “Kehidupan luar kampus itu lebih memuakkan daripada kampusmu yang katamu sekarang memuakkan!” Kujawab ya, muak tidaknya, semua ada ditanganmu, le!

AH SUDAHLAH. Aku dan beberapa teman pergi ke Bromo Jumat malam sepulang kerja. Aku menjaga untuk tidak teriak-teriak “butuh piknik” sebisaku.  Kalau ada rejeki ya week end berangkat, gitu saja. Ibuku selalu bilang, nggak usah norak, kamu bukan satu-satunya orang yang kerja dan pingin jalan-jalan! Benar-benar Tuhan suruh aku pulang ke Kediri, dekat dengan ibu, supaya hidupku makin sederhana. Nggak rumit, dan mengurangi drama, dididik lagi langsung!

Mungkin sudah banyak yang tahu menuju Bromo bisa melalui tiga jalur, Tumpang-Malang, Nongko Jajar-Pasuruan, dan Probolinggo. Sila googling saja ya karena ini memang bukan catatan perjalanan. Aku tak bisa menceritakan banyak hal menuju Bromo karena sepanjang Malang-Bromo matanya merem. Pukul sebelas lebih kami sampai di rumah Bu Oli, seorang teman,  di daerah Sukun. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan mobil hart top ke arah Tumpang . Kok ya bisa naek hart top tidur? Saking pulesnya ngga kerasa kejedot-jedot, baru sadar waktu turun, kepalanya ngilu-ngilu benjol.  

Bromo sedang tidak terlalu dingin menurutku. Kali itu aku hanya memakai kaus lengan panjang dan jaket kain, Alhamdulillah tidak menggigil. Kalau toh kedinginan parah dan jaket kurang hangat, di sana juga ada penyewaan jaket seharga lima sampai dua puluh ribu. Aku rindu tracking, jujur saja. Di bromo jalan sudah beraspal mulus, dan ada tangga-tangga menuju Penanjakan tempat melihat sun rise.  Sudah lama sekali aku tidak main ke gunung. Giliran sudah dikabulkan Tuhan main ke gunung aku masih protes, kok nggak ada trackingnya.Menungsoo!

Penanjakan punya tempat duduk bersemen untuk melihat sunrise. Aku bisa memesan pop mie atau energen sembari ketawa-ketiwi bareng teman-teman.  Aku dan ratusan orang menunggu matahari terbit.  Apa mau dikata, kabut tebal, proses matahati terbit tak tampak. Tau-tau matahari sudah mentor-mentor  di atas, hampir pukul tujuh.  Kami kembali ke mobil, melanjutkan perjalanan ke kawah Bromo, pasir berbisik, dan bukit Teletubies.
Kubagi saja beberapa fotonya ya, mungkin kau sedang rindu Bromo dan malas membaca tulisanku kalau terlalu panjang. Ketahuilah aku tak pandai mengedit, aku gaptek, jadi kalau menurutmu bagus ya memang karena Bromo bagus. Dan, maafkan aku tidak terlalu banyak memotret gunungnya karena teman-temanku suka sekali difoto. Dan selebihnya aku sangat menikmati bengong melihat lalu-lalang orang.


Itu jalan ke kawah. Aku nggak naik, aku makan nasi rames di bawah :))
Ini Mba Esti, aku yang motret. Pas udah cropping sama editing hasilnya kayak foto di  katalog mobil. :p

Ibu dan anak adalah objek foto yang selalu menarik!

Katalog mobil ke sekian-sekian

Dasar, kuda! 

Sabanaaaaaaa


Aku sudah pernah melihat matahari terbit di gunung, kawah, sabana, dan sekawanannya. Sekarang aku tak seperti dulu yang jingkrak-jingkrak saking senengnya. Aku sangat bahagia bisa ke gunung lagi, tapi tidak seheboh dulu. Satu yang kusarankan biar pengalamanmu mengunjungi Bromo agak berbeda. Kemarin itu, aku, mas Yunus, dan Mas Aldi naik ke atas mobil hart top dalam perjalanan dari kawasan kawah menuju Pasir Berbisik. Nah, untuk yang ini norakku muncul lagi. Aku bisa tereak-tereak. Jujur aku takut naik roller coaster, aku hanya pernah beberapa kali. Rasanya naik di atas hart top yang sedang melaju seperti naik roller coaster. Tapi aku berani, karena menurutku tidak ada kemungkinan lintasan patah atau baut pengaman protol. Padahal lebih besar kemungkinan jatuh dari atas hart top karena tentu saja nggak ada sabuk pengaman. Sebegitu bodoh dan nggak rasional itu otakku hahaha.


Aurat, Mbaaa!

Ma roller coaster

Begitulah, menghabiskan Sabtu-Minggu caraku ketika agak ada duit dan tidak benturan waktu dengan acara tertentu. Masih banyak tempat yang ingin sekali kukunjungi. Tapi, AH SUDAHLAH, aku sudah berjanji tak mau banyak drama bukan? Kedepan mungkin jika tidak malas aku akan banyak menulis hal-hal sederhana tentang kehidupan buruh di kota kecil. Bagi sebagian orang hidupku tak menarik, bahkan ada yang dengan terang-terangan bilang, “Kamu nggak ke Jakarta aja, serius? Eman-eman ya masih muda lo.” AH SUDAHLAH, aku tetap percaya bahagiaku aku sendiri yang pegang. Dan satu lagi, aku dididik waktu untuk menjadi lebih sederhana. Jadi no more drama-drama yaaaaa……

Kling, eh ponselku bunyi.
Kubuka whatsapp, membaca percakapan.
X: “Did I tell you I ever almost loved you?”
Y: “I know”
X: “Can we just meet again? I mean someday?”
Y: “Hmm… maybe.”
Kuketik.
X: “AH SUDAHLAH. Tidur, besok kerja. Night :)
Y: “Night.”

Damn! Boleh aku ingkar janji menulis, duh drama ini. Hahahahaha AH SUDAHLAH!





*Diselesaikan beberapa hari sebelum di-upload, sambil muter lagu Pewe Gaskins berjudul We Just Friend*









-Semua foto diambil dengan kameraku dan kamera Mas Yunus-





















Rabu, 21 September 2016

Kamu Tidak Wajib Percaya, Saya Tidak Wajib Membuktikan


Hai, saya baru saja menghabiskan kopi dingin dan sedang malas untuk memejamkan mata. Akhir-akhir ini seolah saya terlalu bergantung kepada kopi. Selama di rumah, suplai kopi melimpah. Karena tahu saya harus begadang menyelesaikan pekerjaan ibu seringkali menyeduh segelas tambahan untuk saya kemudian disimpan di kulkas. Tengah malam biasa saya minum selagi dingin. Kopi juga yang selalu mencairkan obrolan di rumah kami. Tadi sore, saya dan ibu mengobrolkan banyak hal tentang kebiasaan saya ngopi sewaktu di Semarang. Ibu tahu saya sedang rindu ke luar rumah untuk “ngopi” yang padahal tidak selalu minum kopi, bisa nyoklat, ngejus, ngeronde, ngewedang, dan lain sebagainya. Tapi, ada satu topik obrolan yang agak…. nyleneh diantara kami. Waktu membahas kebiasaan saya kalau ngopi sampai hampir pagi dan dengan siapa saya pergi. Ya, biasanya memang ngopi ditemani teman laki-laki, entah itu pacar kalau pas punya (ya saya berkerudung tapi masih pacaran), atau teman biasa, bisa berdua, bisa rame-rame. Ngobrol… ngobrol..  jam pulang, teman laki-laki, kluyuran… Dan sampailah pada pertanyaan,

“Saman jik perawan ora sih?” Kamu masih perawan nggak sih?

Pertanyaan macam ini bukan pertama kalinya saya dengar. Biasanya yang menanyakan begini teman laki-laki. Awalnya ditanya seperti ini saya risih. Ada yang membumbung di otak saya, masih sepenting itukah? Jelas beda kalau yang menanyakan ibu. Jaman yang sudah beda dengan masa mudanya pasti membuatnya begitu khawatir. Ibu lahir dan menua di sebuah kota kecil, Kediri. Masih konservatif dan ndeso, sama seperti saya. Berjarak sepuluh jam perjalanan dengan putri tunggalnya selama lebih kurang empat tahun tentu menimbulkan banyak sekali "Duh Gusti jangan-jangan." Kami sangat dekat, bahkan seperti sepasang teman. Jadi pertanyaan-pertanyaan yang blak-blakan seperti itu sudah biasa. Kenapa keperawanan harus dikhawatirkan? Ibu percaya bahwa anak gadis yang menjaga keperawanan sampai menikah akan membawa barokah pada kehidupan masa depan si anak, menolong orang tuanya di akhirat dan menjadi kebaikan bagi keluarganya. Itu pendapat ibu, dan sah-sah saja.

Saya mengacungi jempol kepada orang-orang yang nggak setengah-setengah dalam segala hal. Pernah suatu ketika ada seorang kawan yang bilang, nanti kalau dapat istri harus yang perawan. Padahal seminggu sebelumnya dengan gamblang dia bercerita tentang pengalaman-pengalaman ranjangnya. Ya Tuhan, janganlah macam begini! Kalau sudah melazimkan dengan prilakumu sendiri ya jangan setengah-setengah! Saya sedih mendengarnya. Tapi banyak juga orang-orang yang sebaliknya. Karena mereka berbuat maka tidak masalah juga kalau orang lain berbuat, termasuk pasangannya kelak.

Sayangnya ketika banyak yang menganggap lazim, “memiliki pacar sekaligus teman tidur” sering pula disamaratakan ke semua orang. Terutama teman laki-laki, sangat sering jika mereka bertanya masalah ini dan saya jawab sejujurnya mereka tidak percaya. Entahlah. Lambat laun saya terbiasa dan mulai menambahkan, “Kamu tidak wajib percaya, dan saya tidak wajib membuktikan,” untuk menjawabnya. Menghilangkan tabu untuk obrolan masalah seks bukan berarti perempuan itu bisa diajak seks sembarangan. Beberapa laki-laki memang masih kolot. Misalnya ketika saya tahu cara menghitung masa subur dipikir saya sering memanfaatkannya biar tidak kebobolan. Ketika saya paham bagaimana posisi istri setelah senggama bila ingin anak laki-laki dipikir saya sudah pernah melakukannya. Atau hal sepele semacam nanas muda biasa digunakan untuk mengatasi telat datang bulan, kondom bisa ditiup tujuh kali lebih besar dari balon biasa, cara menghilangkan cupang, darah saat malam pertama karena ketegangan area sekitar vagina bukan melulu selaput dara robek, atau tentang diagram garis libido perempuan dan laki-laki….. dipikir I am learning by doing! Lha Mbahmu! Mereka lupa bahwa belajar bukan saja pekara membawa buku tebal pengantar ekonomi atau berdiskusi tentang PKI. Guru adalah yang berseragam korpri dan dosen-dosen. Sangat lucu ya!

Saya kurang bisa mencerna pendapat ibu bahwa keperawanan adalah yang utama dan hampir segalanya saat kamu menikah dan melakoni malam pertama. Ibu mungkin lupa bahwa ada rumah tangga yang baik-baik saja meskipun MBA misalnya. Berhubungan seksual tanpa menikah memang haram di mata Tuhan, di mata agama. Kadang saya juga ingatkan kalau punya teman macam begini. Tapi tentang agama dan Tuhan, lha kalau mereka tidak percaya Tuhan apa lagi agama, bagaimana bisa takut? Lah njuk kepiye lan ngopo!

Saya pribadi sebenarnya masih katrok dan nggumunan. Tiap kali ada teman, yang nggak tahu kenapa hampir selalu menceritakan yang beginian dengan sangat gamblang (Menganggap saya emak-emak modern yang siap mendengar segala cerita anak-anak urban) saya masih nggumun. Masih sama ketika saya tahu hal seperti ini waktu jaman SMP atau SMA. Masih Ya Alloh Ya Gusti Ya Pengeran. Namun sekarang seringkali saya simpan dalam hati. Kalau masih percaya Tuhan dan agama ya berarti ada kewajiban untuk saling mengingatkan bahwa ini salah. Kalau tidak? Engg---

Nah, ngobrol pekara ini dengan teman laki-laki lebih enak (subjektif, persepsi saya), mereka blak-blakan. Saya menghargai waktu mereka mau membuka diri, dan selalu mendengarkannya dengan seksama. Ada yang masih mensakralkan, ada yang sudah sego jangan. Ada seorang kawan yang pernah membawa  hal ini bukan ke masalah agama, melainkan tanggung jawab. Jadi dari obrolan itu kalau ditanya mengapa masih ada laki-laki dan perempuan mempertahankan keperawanan dan keperjakaan? Adalah menyangkut kesiapannya untuk bertanggung jawab. Ketika sudah siap mempertanggungjawabkannya di mata Tuhan bagi yang ber-Tuhan, di depan orang tua, dan terhadap diri sendiri yang utama, ya sah-sah saja melakukan hubungan seksual. Sejauh ini saya pribadi akan berani bertanggung jawab ketika sudah menikah secara agama dan negara. Saya percaya Tuhan dan agama. Maka harus menambah itu pula dalam daftar tanggung jawab. Dan lagi-lagi itu pilihan. Tanggung jawab bisa berupa nggak bingung cari klinik aborsi kalau kebobolan, nggak meninggalkan dalam kondisi satu pihak tersakiti, nggak nuntut keperawanan perempuan padahal sendirinya udah nggak perjaka, nggak melakukan yang tidak disukai pasangan saat berhubungan badan, saling mengerti dengan komitmen yang disepakati, dan banyak yang lain.

Oya terakhir, usai saya mendengar cerita tentang petualangan orang tentang seks di luar nikah biasanya saya selalu bilang. “Someday ketika kamu bertemu pasangan baru yang sholeh/sholehah, yang tidak pernah terbersit dalam pikirannya untuk seks sebelum menikah, hargailah pilihannya. Tolong dihargai dengan sama-sama saling menjaga.”

Ya saya tahu having sex itu atas dasar suka sama suka, mau sama mau. And totally different with rape cases. Tapi mau sama mau juga bisa dihindari bila sama-sama mengingatkan. “Yang, kamar kosnya jangan ditutup ya. Yang, booking hotelnya dua kamar. Yang, kalau di mobil pas istirahat, berhenti lama, jokku gausah dikebawahin. Yang, kalau karaoke rame-rame aja. Yang, kapan nikah? (#Eh!) Daaaaaaaaan sebagainya.” Allohualam. Tuhan Memberkati.


Penuh kasih,
Ghe

(sembari mencium deadline)


picture source: https://www.pexels.com/photo/love-couple-sunset-sunrise-40525/

Jumat, 09 September 2016

Mau Jadi Apa Kamu ?


Puji syukur badan saya terbiasa tidur dengan jadwal berantakan. Saya bukan tipe orang yang saklek harus pergi dan bangun tidur pukul tertentu, sangat sangat fleksibel. Beberapa hari terakhir ada kesibukan yang mengharuskan saya tidur hampir subuh. Pekerjaan berhubungan dengan kreatifitas tapi punya tenggat waktu itu kadang menyiksa tapi nagih. Di tengah jalan otak saya kadang mentok, dan biasanya ambil jeda sembari berharap muncul ide. Entah kenapa, saya sedang senang membaca tulisan-tulisan tentang parenting, atau segala hal yang berhubungan dengan ibu-anak. (Nggak! Bukan tanda saya akan segera berkeluarga dalam waktu dekat.) Di waktu jeda itulah sering kali saya gunakan untuk membaca beberapa tulisan yang sifatnya ringan namun masih valuable. Sampailah saya pada suatu tulisan di blog Falla Adinda tentang Belajar Melihat Anak secara Utuh
Saya baru saja menyelesaikan kuliah di bidang ilmu eksak, namun entah mengapa dulu jaman kuliah saya lebih sering glesotan di fakultas bahasa dan seni atau minimal punya banyak teman anak non eksak. Pernah suatu kali saat menonton pagelaran seni tari di kampus, iseng mengirim pesan singkat ke pacar (sekarang mantan) “Yang, kalau nanti kamu punya anak lulus SMA dan mau masuk seni tari dibolehin nggak?” Lalu kami terlibat obrolan panjang lebar yang bila dibaca orang sebenarnya hanya sampah. Dekat dengan saya memang harus siap tiba-tiba diajak nyampah. Lalu ada pula obrolan dengan seorang kawan yang kuliah mengambil jurusan Sastra Indonesia, “Nanti kalau punya anak jangan dimasukin sastra. Emak model kamu mana bisa nerima anaknya jualan es degan sambil jadi penyair idealis.” Dia mengatakannya sambil tertawa-tawa, tentu hanya candaan. Nah, sesaat sebelum menulis ini saya terpikir juga. Sudahkah saya tidak sekonservatif ibu yang masih menganggap kamu bisa belajar menari di sanggar, les musik, membaca novel kemudian mendiskusikannya, dan menulis puisi di manapun kapanpun tanpa harus memperdalam ilmu tersebut secara formal? Hei Nak, mau jadi apa kamu?
Lingkungan saya membesarkan saya masih dengan cara konservatif, mungkin mirip dengan penuturan Falla. Meskipun sering secara lisan mengungkapkan bahwa, “Kecerdasan anak itu masing-masing.” Praktiknya, tetap saja kamu cerdas/pintar ketika angka rangking kamu semakin sedikit. Tentu ini di luar pekara kecerdasan spiritual dan sosial. Hubungan dengan Tuhan dan orang lain Alhamdulillah masih selalu menjadi yang pertama. Kembali lagi ke kecerdasan keilmuan, tak jarang acara berkumpul saat liburan diwarnai dengan pertanyaan, “Mbak rangking berapa?” Berrrraat! Ya Nak, ibu faced that hardly and won’t it happen to you. Kamu tahu saat menulis ini pun ibu masih perempuan biasa-biasa saja banyak bodohnya yang sedang berburu pekerjaan tetap. Menemui banyak persyaratan di lowongan kerja yang berbunyi “Kecuali sasta, seni, sejarah, ilmu budaya,…….” Semua tahu belajar termasuk pada jenjang formal bertujuan lebih mulia dari sekadar bertemu kata-kata, “Jadi, kapan Anda bisa bergabung dengan kami,” saat diterima bekerja. Semoga seiring berjalannya waktu keyakinan di hati ibu untuk menghagai hakmu memilih semakin kuat. Jadi, perdebatan panjang tentang jurusan kuliah tidak akan pernah terulang. Berkembanglah sesuai apa yang kamu cintai. Ibu berusaha menanamkan di hati bahwa kecerdasan itu macam-macam bentuknya, tidak di mulut saja. Kamu berkewajiban selalu mengusahakan yang terbaik termasuk untuk orang lain, bukan tentang bahagiamu sendiri saja. Bertanggung jawab bahwa dengan pilihanmu hidupmu dan masa depanmu baik-baik saja. Sehingga, kamu berhak dihargai pilihannya hendak menjadi apa.



Much love
Ibumu di masa depan

(Dinihari setelah mendengar suara ronda)

Kamis, 04 Agustus 2016

(me)lepas, se(lepas)nya lepas

                                                                                

“Tuhan mengabulkan doa saya,” ucap batin saya sesaat setelah membaca pesan whatsapp. Entah apa yang ada di otakmu, karena saya membacanya sebagai meminta izin. Kamu sedang mendekati perempuan, kemudian mengabarkannya.

Tentang ‘kita’ sejak beberapa tahun telah menjadi masa lalu? Sepenuhnya saya tahu ada yang berontak ketika semuanya usai, dulu. Pilihan saya ketika itu adalah tetap bersama kamu sebagai teman, sebagai saudara. Dan kamu mengiyakannya. Kamu memenuhi janji kepada ibu untuk menjaga saya selama jauh dari rumah. Saya tidak tahu bagaimana rasanya ketika saya sudah pernah bersama dengan orang lain setelah kamu, dan kita tetap (seolah-olah) saudara. Kita sempat tak bertegur sapa karena alasan, saya harus menghormati orang yang sedang bersama saya, sebab kamu sering kali tiba-tiba menyelonongkan rindu. Seperti yang kamu tahu tidak ada cukup keberanian untuk memainkan perasaan orang lain. Padahal dulunya jelas-jelas saya sendiri bilang bahwa kita saudara yang akan tetap menjaga silaturahmi. Biarlah saya cukup tahu diri.

Kemudian kami berakhir dengan sangat embuh yang membuat saya memilih menghabiskan beberapa malam hanya dengan melamun di gonta-ganti warung kopi. Kamu mengingatkan kembali bahwa kamu ada sebagai teman yang siap diajak mengobrol pekara nasi warteg yang naik harga hingga konflik Kendeng dan keruwetan hukumnya. Masih ingat berapa kali kita sama-sama saling mengingatkan, bahwa kita bukan sepasang abg balen? Dan masih ingat berapa kali mulut teman-teman kita mengompori untuk balen? Hahaha karena hanya kita yang paham yang sesimpel itu tidak pernah seindah dan semudah itu.

Pertemanan, atau persaudaraan kita memang membaik. Kamu layaknya kakak yang sering jengkel karena otak saya terlampau bebal mencerna jika kamu banyak bercerita tentang hukum atau politik. Dan akan girang, cepet nyaut, juga sok pinter kalau diajak rasan-rasan picisan. Hehehe begitulah. Kita lagi-lagi membagi buku, eh kamu ding yang membagi bukumu untuk saya. Buku-buku yang sengaja kamu hadiahkan atau yang saya pinjam kemudian tidak mau mengembalikan, dan selalu kamu iyakan. Maaf ya. Saya memang tidak seharusnya semanja itu, kamu juga sebaiknya tidak sedermawan itu.

Kita bergantian mentraktir kopi, sekadar menghabiskan malam hingga dini hari. Terkadang sibuk membaca buku, memainkan ponsel masing-masing, terkadang pula ribut hingga tertawa-tawa dengan segala rupa cerita. Sesekali kamu bertanya kenapa saya betah ‘sendiri’ dan saya membaliknya bukankah kamu yang lebih betah ‘sendiri’. Kamu beberapa kali hampir dekat dengan perempuan, dan entah apa kamu selalu melaporkannya kepada saya. Sebisa mungkin saya mendukung usaha percintaan kamu. Tapi nyatanya, tak berhasil-berhasil juga. Kamu benar bodoh, kalau sudah hampir dapat tiba-tiba malah kamu tinggal nggak karuan. Dan itu tidak hanya sekali. Sungguh kemaki!

Lambat laun saya tidak nyaman, beberapa teman mulai mengingatkan saya. “Jangan tarik ulur! Kalau sudah ikhlas pisah ya jangan dibayang-bayangi terus!” Atau perkataan ibu saya yang srampangan, “Nek ngglibet wae piye ndeknen arep move on.” Ooh jadi saya punya andil cukup besar pada kegagalan kamu jatuh cinta! Betapa! Saya semakin menyadari ini ketika saya pamit akan pulang kampung kamu berusaha mengelus kepala saya, dengan pandangan yang tidak biasa. Saya menghindar. Kemudian, tiba-tiba di tengah ketawa-ketiwi kamu mengingatkan saya melalui sepotong lagu, “Percayalah hati lebih dari ini pernah kita lalui…” Hey, tidak bisa terus begini, bukan? Matamu hampir menjelaskan segalanya, sekuat apapun kamu mengelak, saya tahu.

Maka setelah tadi pagi whatsappmu berlanjut dengan pertanyaan apa tidak apa-apa jika kamu datang ke sidang skripsi dan wisuda saya dengan kekasih barumu atau calon kekasih baru tepatnya, ah masa bodoh! Saya menyadari dua hal. Ini yang seperti saya selalu sarankan, bahwa kamu harus berjanji akan tampak bahagia meskipun nanti bisa saja setelah saya pulang kampung kita tidak bertemu lagi. Kamu harus telah memiliki perempuan yang benar-benar kamu cintai. Yang kedua, sudah cukup saya terus berada sedekat ini dengan kamu. Saya putuskan untuk bilang, “Cara melepas yang paling baik adalah dengan tidak ikut campur sama sekali (lagi) di hidup kamu.” Kamu heran menemu saya berkata begitu. Kamu meyakinkan dirimu sendiri melalui pertanyaan dan penjelasan bahwa kita tidak harus sampai begini. Hey, ketauhilah, perempuan manapun tidak ada yang akan baik-baik saja kalau kamu mencintainya tapi kita masih sedekat sekarang. Dan saya sebagai perempuan amat mengerti itu. Biar benar-benar sempurna kita saling lepas.

Kamu dulu pernah memilih saya dan telah banyak belajar setelahnya. Maka saya yakin pilihanmu untuk kali ini tentu jauh lebih baik. Saya yakin dia akan lebih baik mensupport kamu mencapai banyak hal yang sedang kamu usahakan dan pintakan ke Tuhan. Kamu akan punya perempuan yang mencintai kamu dengan lebih baik pula. Kalian akan saling melengkapi keseharian dengan segala cara yang tentu saja bukan urusan saya.

Berbahagialah, sesuai porsinya. Jangan sampai lena, kamu masih punya mimpi sekolah ke Belanda, bukan? Tentu tidak hanya kamu yang akan bangga bila ini kesampaian. Perempuanmu, keluargamu, teman-temanmu, almamatermu…. dan saya. Saya tahu, kebanggaan bagimu hanya urusan kesekian. Biar! Saya menantang kamu mewujudkan itu, saya akan ikut bangga di manapun nantinya berada. Abaikan saja orang-orang yang menyepelekan. Atau kamu mau memakainya sebagai pelecut semangat? Terserah sih, yang perlu kamu tahu banyak pula orang-orang yang mengaminkan mimpimu dan sekalipun tidak pernah menganggapnya sepele, termasuk saya. Bekerja keraslah, belajar, segera selesaikan kuliah dan kejar skor IELTS, minimal! Atau TOFL-mu harus jauuuh di atas saya! Memang kadang pesan-pesan saya tidak ada keren-kerennya ya, nggak intelek, yaaaa begituan tanpa saya ingatkan kamu sudah tahu. Hehehe. Betapa bahagianya terus belajar sampai sejauh itu kan, tantangan yang menghidupi hidup! Peduli amat dengan filosofi belajar bisa di mana saja. Aih kan saya belum-belum ngiler setengah iri begini. Makannya wujudkan ya! Remember, you have promised it! Semoga kuat ikhtiarmu, nggak belok-belok yang kadang saya suka nggak nyerna apa maunya.

Satu lagi jika tulisan tidak berbobot semacam ini saya masukkan ke blog setelah sebelumnya kamu baca (dan memang semua postingan blog saya nggak berbobot bahaha), engg-- apa saya tampak kekanakan, tukang drama dan berlebihan? Kamu mau bilang begitu, ya hakmu. Ini bentuk penghargaan saya atas kehadiran kamu di hidup saya. Dan untuk menghargai orang saya tidak malu disebut kekanakan, tukang drama, dan lebay hanya karena mengkisahkan kisah saya sendiri tentang kamu. Sudah tahu dari dulu kan kalau saya keras kepala? Memang!

Sudah ya. Salam untuk perempuanmu. Sekalian titip peluk lewat dia untuk ponakanmu yang lucu dan gantengnya mintak ampun. Hehehe.





Dini hari usai menyiapkan berkas ujian skripsi.
Penuh kasih,

G.




Gambar ilustrasi adalah foto milik @m_akbar_kafi

Rabu, 08 Juni 2016

Ngalor-ngidul





Sam bertanya, “Farah, kenapa orang-orang memanggil saya sambil menunjuk-nunjuk ke arah saya mereka bilang, ‘Hei bule bulee!’ Apa bule itu berarti monyet atau tarzan begitu?”

“Hahahaha… No, Sam. Enggak. Bule itu foreigner, bahasa Indonesianya. Semacam slang.”

“Oiya, orang-orang juga sering mengajak saya berfoto, Farah. Kenapa?”

“Oh really? That’s because you are handsome, Sam.”

“I don’t think so,” dia tersenyum kecut.

Kali itu minggu keduanya di Indonesia. Usai berselancar di Batu Karas dia mendaki Merapi. Di atas bis yang kami tumpangi laki-laki berkebangsaan Belgia ini hendak ke Banyuwangi, nanti turun di Surabaya sebelum melanjutkan perjalanan dengan kereta. Saya setengah sadar setengah mengantuk saat kondektur bis Safari menepuk ringan lengan kiri saya. “Nok, ndaiso boso Inggris? Kae jal takoni meh neng ndi?” Bahasa Inggris saya sebenarnya sama saja, standard. Selesai menanyai dia hendak kemana dan bilang berapa uang yang harus dibayar saya tidur lagi.

Hampir tiba di Solo ketika kondektur bilang, “Mbok dibarengi wae iku, melasi.”
“Oh enggih pak.” … “You wanna go with me? I won’t  go to Surabaya, but we use the same bus.”

Usai turun dari bis Safari saya dan Sam langsung naik bis Eka. Kamipun mengobrol diantara kantuk saya yang parah. Kadang baru ngobrol bentar udah merem dengan sendirinya. Atau, saya biasa mengganjal mata dengan cara nyemil jajan. Nah kalau jajannya habis biasanya saya tidur lagi hahaha (nyium jok bis itu saya kek dininabobo, selalu!).

“Farah, are you moslem?” tanyanya memecah hening saat saya sibuk makan kacang rebus.

“Hm? Yes I am. Why?” Nggak biasanya bule ngurus agama orang!

“Is that a must for using em.. what you call that, above your head?”

“Oh this is kerudung. In Qur’an I find it, that a girl should use this.”

“Emm..”

 “You wanna ask me, but why other moslem girl doesn’t use this?”

“Kamu bisa baca pikiran ya hehe.”

“Kamu mungkin lihat Queen Rania tak pakai kerudung juga kan, padahal dia muslim. Yes I know Sam.”

“So why?”

“When somebody choose a religion it’s absolutely a private scope, right? The way they understand also depans on them. Dan tafsir perintah Tuhan itu sangat bermacam-macam di dunia ini, alirannya atau mashab. Setiap orang punya hak untuk memilih dia ikut yang mana.”

“Berarti agamamu sebebas itu?”

“No! Nggak bebas. Tetap ada ketentuan surga-neraka, kalau nda nurut perintah Tuhan ya masuk neraka. Nah, people should understand about religion consensus at the very first place. Kalau surga neraka itu hal kesekian tentang their relationship with his God, and he believes ibadah have somany ways. So, what we can do? Masing-masing sih.”

“Termasuk ketika mereka memilih untuk membunuh orang seperti ISIS?”

Saya diam sejenak. Takut salah ngomong, dengan modal otak dan Bahasa Inggris dibawah garis kemiskinan. “I am not sure that ISIS is truly moslem. Tuhan dan agama kami mencintai damai, Sam.”

“Banyak refugee yang sangat menderita, Farah. Aku bekerja di lembaga sosial untuk anak-anak, pekerjaanku termasuk mengurus anak-anak mereka.”

“Yes, Sam, I know that. Is that too much kalau kubilang mereka termasuk golongan yang salah menafsirkan perintah Tuhan?”
“I don’t exactly know.”

“But, actually… konflik gila itu bukan semata-mata karena agama. Coba cek kekayaan negara-negara tempat konflik itu. Have you though about, ada ‘some body’ dibelakang itu semua yang ingin negara itu porak-poranda lalu mereka bisa masuk dan diam-diam menguasai nantinya. Dan agama dijadikan alat untuk make their dream comes true.”

“Some country. Or maybe..”

“Or maybe a partnership. Hehe…”

“I am sorry Farah if I have been hurting you by underestimating your religion. Because you know in my country, they are really defferent with you.”

“Sam, you should see! Mayoritas orang di sini muslim, kondektur yang tadi kasih kembalian ke kamu, ojek yang anter kamu ke terminal, ibu-ibu yang senyum ke kamu. Mereka ramah kan, even saya mau duduk di sebelah kamu, shake your hand, ngobrol, bahkan berbagi makanan. Islam doesn’t only have one face. Dan sebenarnya yang dimaui Tuhan kami ya yang seperti ini. Kami juga nggak nyaman dengan islamicphobia. If you don’t mind, try to see from many sides.”

Dia diam.

“I hope you can read some good books. And also, orang-orang Islam yang kamu kenal membaik cara pikirnya.”

“I hope so, Farah.”
……
Kami mengobrolkan banyak hal lagi termasuk apa saya punya pacar, apa saya seperti perempuan India yang kebanyakan dijodohkan, termasuk keterkejutannya ketika saya bilang sudah memikirkan tentang pernikahan dan mendidik anak di umur saya yang menurutnya “Koe ki esih rolikur taun ndukkkk!” Dan tentu saja, semua itu sebelum saya tiba-tiba tertidur. Lagi! Hehehe….

Saya pikir semua bule seperti yang SELALU diwanti-wantikan guru Bahasa Inggris. “Mereka nggak suka ditanya hal-hal yang pribadi, agama, umur, status, blablabla” Helaaaw seharusnya pertanyaan itu emang nggak ditanyakan termasuk ke mereka yang bukan bule. Tapi njuk ini orang seratus lapan puluh drajat banget. Kayaknya baru kali ini ada bule begini.

Terus… ngg—yagitulah gabisa pukul rata. Sama kan kayak kita (eh, saya) nggak bisa juga dipukul rata keislamannya dengan yang lain. Kalokmah saya dipukul rata, eh maksudnya disamakan dengan Dian Pelangi yang cantik sholehah idaman lelaki itu ya sayaaaaa…. Ya saya nggak mau! Wong bakul susu tulang-belulang setengah bakul ngaaanu…. (stofirullah). Manusia macam-macam pikirnya, macam-macam pula yang memanfaatkan pikirnya. Alhamdulillah masih punya pikir, kak! Mari digunakan berpikir, biar nggak kayak lempung yang berkali-kali diumpati, “Bebal kali!” itu saya ding hehehehe.


Sumber gambar: ebilogi.com

Selasa, 07 Juni 2016

Kalau Ibumu Tahu





Kalau ibumu tahu malam itu dan malam-malam yang lain, aku pergi dijemput teman-teman yang biasanya laki-laki, mendatangi gigs, mendekat ke panggung, ikut bernyanyi sampai serak sambil diamankan dari terjangan orang-orang yang moshing.

Kalau ibumu tahu,

Aku pulang lewat tengah malam, berpeluh dan kelaparan. Aku masih kadang-kadang ngopi atau makan di warung burjo sambil mengobrolkan banyak hal yang mungkin menurut orang-orang tua tak ada penting-pentingnya. Lalu pulang ke kos-kosan dengan kunci gembok yang kuduplikat sendiri biar bisa pulang sesuka hati.

Kalau ibumu tahu,

Aku suka skena lokal yang kadang bikin orang tua pusing mendengar musiknya, juga beberapa yang setengah mati bikin ngantuk dan dianggap mendengung seperti tawon. Aku dicap urakan karena datang bergerombol ke konser mereka atau sekadar memutar musiknya berulang-ulang di kamarku. Dan kusebut itulah sewajarnya anak muda.

Kalau ibumu tahu,

Aku tidak sealim perempuan berkerudung menutup dada yang senyumnya membuatmu seketika pingin melamarnya. Kalem dan manut yang terus mau bilang iya tanpa tapi, meski hatinya tersiksa. Aku masih sering mengumpat (sedang kuperbaiki), tertawa ngakak, dan bahkan tidak serajin harapan ibumu menyisipi percakapan dengan ayat Al-Quran.

Kalau ibumu tahu, lalu dia bilang, “Carilah yang sudah dewasa dan sholehah!”

Ketauhilah setiap orang mendefinisikan dewasa dan sholehah itu dengan berbagai macam cara, sebaiknya tak usah kau bantah!

Boleh minta tolong, bisikkan pada ibumu! Aku masih sholat Isya sebelum berangkat ke gigs (iya pamer ibadah :p), aku melukis alis, memoles eye liner tebal dan bergincu, kadang-kadang. Kerudungku masih menempel, dan aku tidak masuk ke lingkaran moshing, juga tidak nge-beer! Aku masih bisa basa krama inggil, pakai kebaya ke kondangan sepupu-sepupu, sedang giat belajar mengaji (ampun! ibadah diriya'in!!) dan berdandan, tentu juga tak lupa mencoba memasak. Oiya, pasti terus belajar tentang mendidik anak.

Kalau ibumu tidak tahu, beri tahu saja. Aku tidak akan pernah sekurang ajar itu membuat perempuan yang akan kuhormati dengan cinta kecewa.



Tabik,
Calon mantu ibumu.

Tengah malam usai dikabari Captain Jack mau bubar :’(


Sumber gambar: https://www.facebook.com/captainjackband/