Hai,
saya baru saja menghabiskan kopi dingin dan sedang malas untuk memejamkan mata.
Akhir-akhir ini seolah saya terlalu bergantung kepada kopi. Selama di rumah,
suplai kopi melimpah. Karena tahu saya harus begadang menyelesaikan pekerjaan
ibu seringkali menyeduh segelas tambahan untuk saya kemudian disimpan di kulkas.
Tengah malam biasa saya minum selagi dingin. Kopi juga yang selalu mencairkan
obrolan di rumah kami. Tadi sore, saya dan ibu mengobrolkan banyak hal tentang
kebiasaan saya ngopi sewaktu di Semarang. Ibu tahu saya sedang rindu ke luar
rumah untuk “ngopi” yang padahal tidak selalu minum kopi, bisa nyoklat, ngejus,
ngeronde, ngewedang, dan lain sebagainya. Tapi, ada satu topik obrolan yang
agak…. nyleneh diantara kami. Waktu membahas kebiasaan saya kalau ngopi sampai
hampir pagi dan dengan siapa saya pergi. Ya, biasanya memang ngopi ditemani
teman laki-laki, entah itu pacar kalau pas punya (ya saya berkerudung tapi masih pacaran), atau teman biasa, bisa
berdua, bisa rame-rame. Ngobrol… ngobrol..
jam pulang, teman laki-laki, kluyuran… Dan sampailah pada pertanyaan,
“Saman
jik perawan ora sih?” Kamu masih perawan
nggak sih?
Pertanyaan
macam ini bukan pertama kalinya saya dengar. Biasanya yang menanyakan begini
teman laki-laki. Awalnya ditanya seperti ini saya risih. Ada yang membumbung di
otak saya, masih sepenting itukah? Jelas beda kalau yang menanyakan ibu. Jaman yang sudah beda dengan
masa mudanya pasti membuatnya begitu khawatir. Ibu lahir dan menua di sebuah kota
kecil, Kediri. Masih konservatif dan ndeso, sama seperti saya. Berjarak sepuluh
jam perjalanan dengan putri tunggalnya selama lebih kurang empat tahun tentu menimbulkan
banyak sekali "Duh Gusti jangan-jangan." Kami sangat dekat, bahkan seperti sepasang teman. Jadi pertanyaan-pertanyaan yang blak-blakan seperti itu sudah biasa. Kenapa keperawanan harus dikhawatirkan? Ibu percaya
bahwa anak gadis yang menjaga keperawanan sampai menikah akan membawa barokah pada kehidupan masa depan si
anak, menolong orang tuanya di akhirat dan menjadi kebaikan bagi keluarganya. Itu
pendapat ibu, dan sah-sah saja.
Saya
mengacungi jempol kepada orang-orang yang nggak setengah-setengah dalam segala
hal. Pernah suatu ketika ada seorang kawan yang bilang, nanti kalau dapat istri
harus yang perawan. Padahal seminggu sebelumnya dengan gamblang dia bercerita tentang
pengalaman-pengalaman ranjangnya. Ya Tuhan, janganlah macam begini! Kalau sudah
melazimkan dengan prilakumu sendiri ya jangan setengah-setengah! Saya sedih
mendengarnya. Tapi banyak juga orang-orang yang sebaliknya. Karena mereka berbuat
maka tidak masalah juga kalau orang lain berbuat, termasuk pasangannya kelak.
Sayangnya
ketika banyak yang menganggap lazim, “memiliki pacar sekaligus teman tidur”
sering pula disamaratakan ke semua orang. Terutama teman laki-laki, sangat
sering jika mereka bertanya masalah ini dan saya jawab sejujurnya mereka tidak
percaya. Entahlah. Lambat laun saya
terbiasa dan mulai menambahkan, “Kamu tidak wajib percaya, dan saya tidak wajib
membuktikan,” untuk menjawabnya. Menghilangkan tabu untuk obrolan masalah seks bukan berarti perempuan itu bisa diajak seks sembarangan. Beberapa laki-laki
memang masih kolot. Misalnya ketika saya tahu cara menghitung masa subur
dipikir saya sering memanfaatkannya biar tidak kebobolan. Ketika saya paham
bagaimana posisi istri setelah senggama bila ingin anak laki-laki dipikir saya
sudah pernah melakukannya. Atau hal sepele semacam nanas muda biasa digunakan
untuk mengatasi telat datang bulan, kondom bisa ditiup tujuh kali lebih besar
dari balon biasa, cara menghilangkan cupang, darah saat malam pertama karena
ketegangan area sekitar vagina bukan melulu selaput dara robek, atau tentang diagram
garis libido perempuan dan laki-laki….. dipikir I am learning by doing! Lha
Mbahmu! Mereka lupa bahwa belajar bukan saja pekara membawa buku tebal
pengantar ekonomi atau berdiskusi tentang PKI. Guru adalah yang berseragam
korpri dan dosen-dosen. Sangat lucu ya!
Saya
kurang bisa mencerna pendapat ibu bahwa keperawanan adalah yang utama dan
hampir segalanya saat kamu menikah dan melakoni malam pertama. Ibu mungkin lupa
bahwa ada rumah tangga yang baik-baik saja meskipun MBA misalnya. Berhubungan
seksual tanpa menikah memang haram di mata Tuhan, di mata agama. Kadang saya
juga ingatkan kalau punya teman macam begini. Tapi tentang agama dan Tuhan, lha
kalau mereka tidak percaya Tuhan apa lagi agama, bagaimana bisa takut? Lah njuk
kepiye lan ngopo!
Saya
pribadi sebenarnya masih katrok dan nggumunan. Tiap kali ada teman, yang nggak
tahu kenapa hampir selalu menceritakan yang beginian dengan sangat gamblang
(Menganggap saya emak-emak modern yang siap mendengar segala cerita anak-anak urban) saya
masih nggumun. Masih sama ketika saya tahu hal seperti ini waktu jaman SMP atau
SMA. Masih Ya Alloh Ya Gusti Ya Pengeran. Namun sekarang seringkali saya simpan
dalam hati. Kalau masih percaya Tuhan dan agama ya berarti ada kewajiban untuk
saling mengingatkan bahwa ini salah. Kalau tidak? Engg---
Nah,
ngobrol pekara ini dengan teman laki-laki lebih enak (subjektif, persepsi
saya), mereka blak-blakan. Saya menghargai waktu mereka mau membuka diri, dan
selalu mendengarkannya dengan seksama. Ada yang masih mensakralkan, ada yang
sudah sego jangan. Ada seorang kawan
yang pernah membawa hal ini bukan ke
masalah agama, melainkan tanggung jawab. Jadi dari obrolan itu kalau ditanya
mengapa masih ada laki-laki dan perempuan mempertahankan keperawanan dan
keperjakaan? Adalah menyangkut kesiapannya untuk bertanggung jawab. Ketika sudah siap mempertanggungjawabkannya di mata Tuhan bagi yang
ber-Tuhan, di depan orang tua, dan terhadap diri sendiri yang utama, ya sah-sah
saja melakukan hubungan seksual. Sejauh ini saya pribadi akan berani
bertanggung jawab ketika sudah menikah secara agama dan negara. Saya percaya
Tuhan dan agama. Maka harus menambah itu pula dalam daftar tanggung jawab. Dan lagi-lagi
itu pilihan. Tanggung jawab bisa berupa nggak bingung cari klinik aborsi kalau
kebobolan, nggak meninggalkan dalam kondisi satu pihak tersakiti, nggak nuntut
keperawanan perempuan padahal sendirinya udah nggak perjaka, nggak melakukan
yang tidak disukai pasangan saat berhubungan badan, saling mengerti dengan
komitmen yang disepakati, dan banyak yang lain.
Oya
terakhir, usai saya mendengar cerita tentang petualangan orang tentang seks di
luar nikah biasanya saya selalu bilang. “Someday ketika kamu bertemu pasangan
baru yang sholeh/sholehah, yang tidak pernah terbersit dalam pikirannya
untuk seks sebelum menikah, hargailah pilihannya. Tolong dihargai dengan
sama-sama saling menjaga.”
Ya saya
tahu having sex itu atas dasar suka sama suka, mau sama mau. And totally
different with rape cases. Tapi mau sama mau juga bisa dihindari bila sama-sama
mengingatkan. “Yang, kamar kosnya jangan ditutup ya. Yang, booking hotelnya dua
kamar. Yang, kalau di mobil pas istirahat, berhenti lama, jokku gausah dikebawahin. Yang,
kalau karaoke rame-rame aja. Yang, kapan nikah? (#Eh!) Daaaaaaaaan sebagainya.” Allohualam.
Tuhan Memberkati.
Penuh
kasih,
Ghe
(sembari
mencium deadline)
picture source: https://www.pexels.com/photo/love-couple-sunset-sunrise-40525/
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: