Rabu, 21 September 2016

Kamu Tidak Wajib Percaya, Saya Tidak Wajib Membuktikan


Hai, saya baru saja menghabiskan kopi dingin dan sedang malas untuk memejamkan mata. Akhir-akhir ini seolah saya terlalu bergantung kepada kopi. Selama di rumah, suplai kopi melimpah. Karena tahu saya harus begadang menyelesaikan pekerjaan ibu seringkali menyeduh segelas tambahan untuk saya kemudian disimpan di kulkas. Tengah malam biasa saya minum selagi dingin. Kopi juga yang selalu mencairkan obrolan di rumah kami. Tadi sore, saya dan ibu mengobrolkan banyak hal tentang kebiasaan saya ngopi sewaktu di Semarang. Ibu tahu saya sedang rindu ke luar rumah untuk “ngopi” yang padahal tidak selalu minum kopi, bisa nyoklat, ngejus, ngeronde, ngewedang, dan lain sebagainya. Tapi, ada satu topik obrolan yang agak…. nyleneh diantara kami. Waktu membahas kebiasaan saya kalau ngopi sampai hampir pagi dan dengan siapa saya pergi. Ya, biasanya memang ngopi ditemani teman laki-laki, entah itu pacar kalau pas punya (ya saya berkerudung tapi masih pacaran), atau teman biasa, bisa berdua, bisa rame-rame. Ngobrol… ngobrol..  jam pulang, teman laki-laki, kluyuran… Dan sampailah pada pertanyaan,

“Saman jik perawan ora sih?” Kamu masih perawan nggak sih?

Pertanyaan macam ini bukan pertama kalinya saya dengar. Biasanya yang menanyakan begini teman laki-laki. Awalnya ditanya seperti ini saya risih. Ada yang membumbung di otak saya, masih sepenting itukah? Jelas beda kalau yang menanyakan ibu. Jaman yang sudah beda dengan masa mudanya pasti membuatnya begitu khawatir. Ibu lahir dan menua di sebuah kota kecil, Kediri. Masih konservatif dan ndeso, sama seperti saya. Berjarak sepuluh jam perjalanan dengan putri tunggalnya selama lebih kurang empat tahun tentu menimbulkan banyak sekali "Duh Gusti jangan-jangan." Kami sangat dekat, bahkan seperti sepasang teman. Jadi pertanyaan-pertanyaan yang blak-blakan seperti itu sudah biasa. Kenapa keperawanan harus dikhawatirkan? Ibu percaya bahwa anak gadis yang menjaga keperawanan sampai menikah akan membawa barokah pada kehidupan masa depan si anak, menolong orang tuanya di akhirat dan menjadi kebaikan bagi keluarganya. Itu pendapat ibu, dan sah-sah saja.

Saya mengacungi jempol kepada orang-orang yang nggak setengah-setengah dalam segala hal. Pernah suatu ketika ada seorang kawan yang bilang, nanti kalau dapat istri harus yang perawan. Padahal seminggu sebelumnya dengan gamblang dia bercerita tentang pengalaman-pengalaman ranjangnya. Ya Tuhan, janganlah macam begini! Kalau sudah melazimkan dengan prilakumu sendiri ya jangan setengah-setengah! Saya sedih mendengarnya. Tapi banyak juga orang-orang yang sebaliknya. Karena mereka berbuat maka tidak masalah juga kalau orang lain berbuat, termasuk pasangannya kelak.

Sayangnya ketika banyak yang menganggap lazim, “memiliki pacar sekaligus teman tidur” sering pula disamaratakan ke semua orang. Terutama teman laki-laki, sangat sering jika mereka bertanya masalah ini dan saya jawab sejujurnya mereka tidak percaya. Entahlah. Lambat laun saya terbiasa dan mulai menambahkan, “Kamu tidak wajib percaya, dan saya tidak wajib membuktikan,” untuk menjawabnya. Menghilangkan tabu untuk obrolan masalah seks bukan berarti perempuan itu bisa diajak seks sembarangan. Beberapa laki-laki memang masih kolot. Misalnya ketika saya tahu cara menghitung masa subur dipikir saya sering memanfaatkannya biar tidak kebobolan. Ketika saya paham bagaimana posisi istri setelah senggama bila ingin anak laki-laki dipikir saya sudah pernah melakukannya. Atau hal sepele semacam nanas muda biasa digunakan untuk mengatasi telat datang bulan, kondom bisa ditiup tujuh kali lebih besar dari balon biasa, cara menghilangkan cupang, darah saat malam pertama karena ketegangan area sekitar vagina bukan melulu selaput dara robek, atau tentang diagram garis libido perempuan dan laki-laki….. dipikir I am learning by doing! Lha Mbahmu! Mereka lupa bahwa belajar bukan saja pekara membawa buku tebal pengantar ekonomi atau berdiskusi tentang PKI. Guru adalah yang berseragam korpri dan dosen-dosen. Sangat lucu ya!

Saya kurang bisa mencerna pendapat ibu bahwa keperawanan adalah yang utama dan hampir segalanya saat kamu menikah dan melakoni malam pertama. Ibu mungkin lupa bahwa ada rumah tangga yang baik-baik saja meskipun MBA misalnya. Berhubungan seksual tanpa menikah memang haram di mata Tuhan, di mata agama. Kadang saya juga ingatkan kalau punya teman macam begini. Tapi tentang agama dan Tuhan, lha kalau mereka tidak percaya Tuhan apa lagi agama, bagaimana bisa takut? Lah njuk kepiye lan ngopo!

Saya pribadi sebenarnya masih katrok dan nggumunan. Tiap kali ada teman, yang nggak tahu kenapa hampir selalu menceritakan yang beginian dengan sangat gamblang (Menganggap saya emak-emak modern yang siap mendengar segala cerita anak-anak urban) saya masih nggumun. Masih sama ketika saya tahu hal seperti ini waktu jaman SMP atau SMA. Masih Ya Alloh Ya Gusti Ya Pengeran. Namun sekarang seringkali saya simpan dalam hati. Kalau masih percaya Tuhan dan agama ya berarti ada kewajiban untuk saling mengingatkan bahwa ini salah. Kalau tidak? Engg---

Nah, ngobrol pekara ini dengan teman laki-laki lebih enak (subjektif, persepsi saya), mereka blak-blakan. Saya menghargai waktu mereka mau membuka diri, dan selalu mendengarkannya dengan seksama. Ada yang masih mensakralkan, ada yang sudah sego jangan. Ada seorang kawan yang pernah membawa  hal ini bukan ke masalah agama, melainkan tanggung jawab. Jadi dari obrolan itu kalau ditanya mengapa masih ada laki-laki dan perempuan mempertahankan keperawanan dan keperjakaan? Adalah menyangkut kesiapannya untuk bertanggung jawab. Ketika sudah siap mempertanggungjawabkannya di mata Tuhan bagi yang ber-Tuhan, di depan orang tua, dan terhadap diri sendiri yang utama, ya sah-sah saja melakukan hubungan seksual. Sejauh ini saya pribadi akan berani bertanggung jawab ketika sudah menikah secara agama dan negara. Saya percaya Tuhan dan agama. Maka harus menambah itu pula dalam daftar tanggung jawab. Dan lagi-lagi itu pilihan. Tanggung jawab bisa berupa nggak bingung cari klinik aborsi kalau kebobolan, nggak meninggalkan dalam kondisi satu pihak tersakiti, nggak nuntut keperawanan perempuan padahal sendirinya udah nggak perjaka, nggak melakukan yang tidak disukai pasangan saat berhubungan badan, saling mengerti dengan komitmen yang disepakati, dan banyak yang lain.

Oya terakhir, usai saya mendengar cerita tentang petualangan orang tentang seks di luar nikah biasanya saya selalu bilang. “Someday ketika kamu bertemu pasangan baru yang sholeh/sholehah, yang tidak pernah terbersit dalam pikirannya untuk seks sebelum menikah, hargailah pilihannya. Tolong dihargai dengan sama-sama saling menjaga.”

Ya saya tahu having sex itu atas dasar suka sama suka, mau sama mau. And totally different with rape cases. Tapi mau sama mau juga bisa dihindari bila sama-sama mengingatkan. “Yang, kamar kosnya jangan ditutup ya. Yang, booking hotelnya dua kamar. Yang, kalau di mobil pas istirahat, berhenti lama, jokku gausah dikebawahin. Yang, kalau karaoke rame-rame aja. Yang, kapan nikah? (#Eh!) Daaaaaaaaan sebagainya.” Allohualam. Tuhan Memberkati.


Penuh kasih,
Ghe

(sembari mencium deadline)


picture source: https://www.pexels.com/photo/love-couple-sunset-sunrise-40525/

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: