“Tuhan mengabulkan doa saya,” ucap
batin saya sesaat setelah membaca pesan whatsapp. Entah apa yang ada di otakmu,
karena saya membacanya sebagai meminta izin. Kamu sedang mendekati perempuan,
kemudian mengabarkannya.
Tentang ‘kita’ sejak beberapa tahun telah
menjadi masa lalu? Sepenuhnya saya tahu ada yang berontak ketika semuanya usai,
dulu. Pilihan saya ketika itu adalah tetap bersama kamu sebagai teman, sebagai
saudara. Dan kamu mengiyakannya. Kamu memenuhi janji kepada ibu untuk menjaga
saya selama jauh dari rumah. Saya tidak tahu bagaimana rasanya ketika saya
sudah pernah bersama dengan orang lain setelah kamu, dan kita tetap
(seolah-olah) saudara. Kita sempat tak bertegur sapa karena alasan, saya harus
menghormati orang yang sedang bersama saya, sebab kamu sering kali tiba-tiba
menyelonongkan rindu. Seperti yang kamu tahu tidak ada cukup keberanian untuk
memainkan perasaan orang lain. Padahal dulunya jelas-jelas saya sendiri bilang
bahwa kita saudara yang akan tetap menjaga silaturahmi. Biarlah saya cukup tahu
diri.
Kemudian kami berakhir dengan sangat embuh yang membuat saya memilih
menghabiskan beberapa malam hanya dengan melamun di gonta-ganti warung kopi.
Kamu mengingatkan kembali bahwa kamu ada sebagai teman yang siap diajak
mengobrol pekara nasi warteg yang naik harga hingga konflik Kendeng dan
keruwetan hukumnya. Masih ingat berapa kali kita sama-sama saling mengingatkan,
bahwa kita bukan sepasang abg balen?
Dan masih ingat berapa kali mulut teman-teman kita mengompori untuk balen? Hahaha karena hanya kita yang
paham yang sesimpel itu tidak pernah seindah dan semudah itu.
Pertemanan, atau persaudaraan kita
memang membaik. Kamu layaknya kakak yang sering jengkel karena otak saya
terlampau bebal mencerna jika kamu banyak bercerita tentang hukum atau politik.
Dan akan girang, cepet nyaut, juga sok pinter kalau diajak rasan-rasan picisan.
Hehehe begitulah. Kita lagi-lagi membagi buku, eh kamu ding yang membagi bukumu
untuk saya. Buku-buku yang sengaja kamu hadiahkan atau yang saya pinjam
kemudian tidak mau mengembalikan, dan selalu kamu iyakan. Maaf ya. Saya memang
tidak seharusnya semanja itu, kamu juga sebaiknya tidak sedermawan itu.
Kita bergantian mentraktir kopi,
sekadar menghabiskan malam hingga dini hari. Terkadang sibuk membaca buku,
memainkan ponsel masing-masing, terkadang pula ribut hingga tertawa-tawa dengan
segala rupa cerita. Sesekali kamu bertanya kenapa saya betah ‘sendiri’ dan saya
membaliknya bukankah kamu yang lebih betah ‘sendiri’. Kamu beberapa kali hampir
dekat dengan perempuan, dan entah apa kamu selalu melaporkannya kepada saya.
Sebisa mungkin saya mendukung usaha percintaan kamu. Tapi nyatanya, tak
berhasil-berhasil juga. Kamu benar bodoh, kalau sudah hampir dapat tiba-tiba
malah kamu tinggal nggak karuan. Dan
itu tidak hanya sekali. Sungguh kemaki!
Lambat laun saya tidak nyaman,
beberapa teman mulai mengingatkan saya. “Jangan tarik ulur! Kalau sudah ikhlas
pisah ya jangan dibayang-bayangi terus!” Atau perkataan ibu saya yang
srampangan, “Nek ngglibet wae piye ndeknen arep move on.” Ooh jadi saya punya
andil cukup besar pada kegagalan kamu jatuh cinta! Betapa! Saya semakin
menyadari ini ketika saya pamit akan pulang kampung kamu berusaha mengelus
kepala saya, dengan pandangan yang tidak biasa. Saya menghindar. Kemudian,
tiba-tiba di tengah ketawa-ketiwi kamu mengingatkan saya melalui sepotong lagu,
“Percayalah hati lebih dari ini pernah kita lalui…” Hey, tidak bisa terus
begini, bukan? Matamu hampir menjelaskan segalanya, sekuat apapun kamu
mengelak, saya tahu.
Maka setelah tadi pagi whatsappmu
berlanjut dengan pertanyaan apa tidak apa-apa jika kamu datang ke sidang
skripsi dan wisuda saya dengan kekasih barumu atau calon kekasih baru tepatnya,
ah masa bodoh! Saya menyadari dua hal. Ini yang seperti saya selalu sarankan,
bahwa kamu harus berjanji akan tampak bahagia meskipun nanti bisa saja setelah
saya pulang kampung kita tidak bertemu lagi. Kamu harus telah memiliki
perempuan yang benar-benar kamu cintai. Yang kedua, sudah cukup saya terus
berada sedekat ini dengan kamu. Saya putuskan untuk bilang, “Cara melepas yang
paling baik adalah dengan tidak ikut campur sama sekali (lagi) di hidup kamu.”
Kamu heran menemu saya berkata begitu. Kamu meyakinkan dirimu sendiri melalui
pertanyaan dan penjelasan bahwa kita tidak harus sampai begini. Hey,
ketauhilah, perempuan manapun tidak ada yang akan baik-baik saja kalau kamu
mencintainya tapi kita masih sedekat sekarang. Dan saya sebagai perempuan amat
mengerti itu. Biar benar-benar sempurna kita saling lepas.
Kamu dulu pernah memilih saya dan telah
banyak belajar setelahnya. Maka saya yakin pilihanmu untuk kali ini tentu jauh
lebih baik. Saya yakin dia akan lebih baik mensupport kamu mencapai banyak hal
yang sedang kamu usahakan dan pintakan ke Tuhan. Kamu akan punya perempuan yang
mencintai kamu dengan lebih baik pula. Kalian akan saling melengkapi keseharian
dengan segala cara yang tentu saja bukan urusan saya.
Berbahagialah, sesuai porsinya. Jangan
sampai lena, kamu masih punya mimpi sekolah ke Belanda, bukan? Tentu tidak
hanya kamu yang akan bangga bila ini kesampaian. Perempuanmu, keluargamu,
teman-temanmu, almamatermu…. dan saya. Saya tahu, kebanggaan bagimu hanya
urusan kesekian. Biar! Saya menantang kamu mewujudkan itu, saya akan ikut
bangga di manapun nantinya berada. Abaikan saja orang-orang yang menyepelekan.
Atau kamu mau memakainya sebagai pelecut semangat? Terserah sih, yang perlu
kamu tahu banyak pula orang-orang yang mengaminkan mimpimu dan sekalipun tidak
pernah menganggapnya sepele, termasuk saya. Bekerja keraslah, belajar, segera selesaikan
kuliah dan kejar skor IELTS, minimal! Atau TOFL-mu harus jauuuh di atas saya!
Memang kadang pesan-pesan saya tidak ada keren-kerennya ya, nggak intelek, yaaaa begituan tanpa saya ingatkan kamu sudah tahu.
Hehehe. Betapa bahagianya terus belajar sampai sejauh itu kan, tantangan yang
menghidupi hidup! Peduli amat dengan filosofi belajar bisa di mana saja. Aih
kan saya belum-belum ngiler setengah iri begini. Makannya wujudkan ya!
Remember, you have promised it! Semoga kuat ikhtiarmu, nggak belok-belok yang kadang saya suka nggak nyerna apa maunya.
Satu lagi jika tulisan tidak berbobot
semacam ini saya masukkan ke blog setelah sebelumnya kamu baca (dan memang
semua postingan blog saya nggak berbobot bahaha), engg-- apa saya tampak
kekanakan, tukang drama dan berlebihan? Kamu mau bilang begitu, ya hakmu. Ini
bentuk penghargaan saya atas kehadiran kamu di hidup saya. Dan untuk menghargai
orang saya tidak malu disebut kekanakan, tukang drama, dan lebay hanya karena
mengkisahkan kisah saya sendiri tentang kamu. Sudah tahu dari dulu kan kalau
saya keras kepala? Memang!
Sudah ya. Salam untuk perempuanmu. Sekalian
titip peluk lewat dia untuk ponakanmu yang lucu dan gantengnya mintak ampun.
Hehehe.
Dini hari usai menyiapkan berkas ujian
skripsi.
Penuh kasih,
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: