Kamis, 04 Agustus 2016

(me)lepas, se(lepas)nya lepas

                                                                                

“Tuhan mengabulkan doa saya,” ucap batin saya sesaat setelah membaca pesan whatsapp. Entah apa yang ada di otakmu, karena saya membacanya sebagai meminta izin. Kamu sedang mendekati perempuan, kemudian mengabarkannya.

Tentang ‘kita’ sejak beberapa tahun telah menjadi masa lalu? Sepenuhnya saya tahu ada yang berontak ketika semuanya usai, dulu. Pilihan saya ketika itu adalah tetap bersama kamu sebagai teman, sebagai saudara. Dan kamu mengiyakannya. Kamu memenuhi janji kepada ibu untuk menjaga saya selama jauh dari rumah. Saya tidak tahu bagaimana rasanya ketika saya sudah pernah bersama dengan orang lain setelah kamu, dan kita tetap (seolah-olah) saudara. Kita sempat tak bertegur sapa karena alasan, saya harus menghormati orang yang sedang bersama saya, sebab kamu sering kali tiba-tiba menyelonongkan rindu. Seperti yang kamu tahu tidak ada cukup keberanian untuk memainkan perasaan orang lain. Padahal dulunya jelas-jelas saya sendiri bilang bahwa kita saudara yang akan tetap menjaga silaturahmi. Biarlah saya cukup tahu diri.

Kemudian kami berakhir dengan sangat embuh yang membuat saya memilih menghabiskan beberapa malam hanya dengan melamun di gonta-ganti warung kopi. Kamu mengingatkan kembali bahwa kamu ada sebagai teman yang siap diajak mengobrol pekara nasi warteg yang naik harga hingga konflik Kendeng dan keruwetan hukumnya. Masih ingat berapa kali kita sama-sama saling mengingatkan, bahwa kita bukan sepasang abg balen? Dan masih ingat berapa kali mulut teman-teman kita mengompori untuk balen? Hahaha karena hanya kita yang paham yang sesimpel itu tidak pernah seindah dan semudah itu.

Pertemanan, atau persaudaraan kita memang membaik. Kamu layaknya kakak yang sering jengkel karena otak saya terlampau bebal mencerna jika kamu banyak bercerita tentang hukum atau politik. Dan akan girang, cepet nyaut, juga sok pinter kalau diajak rasan-rasan picisan. Hehehe begitulah. Kita lagi-lagi membagi buku, eh kamu ding yang membagi bukumu untuk saya. Buku-buku yang sengaja kamu hadiahkan atau yang saya pinjam kemudian tidak mau mengembalikan, dan selalu kamu iyakan. Maaf ya. Saya memang tidak seharusnya semanja itu, kamu juga sebaiknya tidak sedermawan itu.

Kita bergantian mentraktir kopi, sekadar menghabiskan malam hingga dini hari. Terkadang sibuk membaca buku, memainkan ponsel masing-masing, terkadang pula ribut hingga tertawa-tawa dengan segala rupa cerita. Sesekali kamu bertanya kenapa saya betah ‘sendiri’ dan saya membaliknya bukankah kamu yang lebih betah ‘sendiri’. Kamu beberapa kali hampir dekat dengan perempuan, dan entah apa kamu selalu melaporkannya kepada saya. Sebisa mungkin saya mendukung usaha percintaan kamu. Tapi nyatanya, tak berhasil-berhasil juga. Kamu benar bodoh, kalau sudah hampir dapat tiba-tiba malah kamu tinggal nggak karuan. Dan itu tidak hanya sekali. Sungguh kemaki!

Lambat laun saya tidak nyaman, beberapa teman mulai mengingatkan saya. “Jangan tarik ulur! Kalau sudah ikhlas pisah ya jangan dibayang-bayangi terus!” Atau perkataan ibu saya yang srampangan, “Nek ngglibet wae piye ndeknen arep move on.” Ooh jadi saya punya andil cukup besar pada kegagalan kamu jatuh cinta! Betapa! Saya semakin menyadari ini ketika saya pamit akan pulang kampung kamu berusaha mengelus kepala saya, dengan pandangan yang tidak biasa. Saya menghindar. Kemudian, tiba-tiba di tengah ketawa-ketiwi kamu mengingatkan saya melalui sepotong lagu, “Percayalah hati lebih dari ini pernah kita lalui…” Hey, tidak bisa terus begini, bukan? Matamu hampir menjelaskan segalanya, sekuat apapun kamu mengelak, saya tahu.

Maka setelah tadi pagi whatsappmu berlanjut dengan pertanyaan apa tidak apa-apa jika kamu datang ke sidang skripsi dan wisuda saya dengan kekasih barumu atau calon kekasih baru tepatnya, ah masa bodoh! Saya menyadari dua hal. Ini yang seperti saya selalu sarankan, bahwa kamu harus berjanji akan tampak bahagia meskipun nanti bisa saja setelah saya pulang kampung kita tidak bertemu lagi. Kamu harus telah memiliki perempuan yang benar-benar kamu cintai. Yang kedua, sudah cukup saya terus berada sedekat ini dengan kamu. Saya putuskan untuk bilang, “Cara melepas yang paling baik adalah dengan tidak ikut campur sama sekali (lagi) di hidup kamu.” Kamu heran menemu saya berkata begitu. Kamu meyakinkan dirimu sendiri melalui pertanyaan dan penjelasan bahwa kita tidak harus sampai begini. Hey, ketauhilah, perempuan manapun tidak ada yang akan baik-baik saja kalau kamu mencintainya tapi kita masih sedekat sekarang. Dan saya sebagai perempuan amat mengerti itu. Biar benar-benar sempurna kita saling lepas.

Kamu dulu pernah memilih saya dan telah banyak belajar setelahnya. Maka saya yakin pilihanmu untuk kali ini tentu jauh lebih baik. Saya yakin dia akan lebih baik mensupport kamu mencapai banyak hal yang sedang kamu usahakan dan pintakan ke Tuhan. Kamu akan punya perempuan yang mencintai kamu dengan lebih baik pula. Kalian akan saling melengkapi keseharian dengan segala cara yang tentu saja bukan urusan saya.

Berbahagialah, sesuai porsinya. Jangan sampai lena, kamu masih punya mimpi sekolah ke Belanda, bukan? Tentu tidak hanya kamu yang akan bangga bila ini kesampaian. Perempuanmu, keluargamu, teman-temanmu, almamatermu…. dan saya. Saya tahu, kebanggaan bagimu hanya urusan kesekian. Biar! Saya menantang kamu mewujudkan itu, saya akan ikut bangga di manapun nantinya berada. Abaikan saja orang-orang yang menyepelekan. Atau kamu mau memakainya sebagai pelecut semangat? Terserah sih, yang perlu kamu tahu banyak pula orang-orang yang mengaminkan mimpimu dan sekalipun tidak pernah menganggapnya sepele, termasuk saya. Bekerja keraslah, belajar, segera selesaikan kuliah dan kejar skor IELTS, minimal! Atau TOFL-mu harus jauuuh di atas saya! Memang kadang pesan-pesan saya tidak ada keren-kerennya ya, nggak intelek, yaaaa begituan tanpa saya ingatkan kamu sudah tahu. Hehehe. Betapa bahagianya terus belajar sampai sejauh itu kan, tantangan yang menghidupi hidup! Peduli amat dengan filosofi belajar bisa di mana saja. Aih kan saya belum-belum ngiler setengah iri begini. Makannya wujudkan ya! Remember, you have promised it! Semoga kuat ikhtiarmu, nggak belok-belok yang kadang saya suka nggak nyerna apa maunya.

Satu lagi jika tulisan tidak berbobot semacam ini saya masukkan ke blog setelah sebelumnya kamu baca (dan memang semua postingan blog saya nggak berbobot bahaha), engg-- apa saya tampak kekanakan, tukang drama dan berlebihan? Kamu mau bilang begitu, ya hakmu. Ini bentuk penghargaan saya atas kehadiran kamu di hidup saya. Dan untuk menghargai orang saya tidak malu disebut kekanakan, tukang drama, dan lebay hanya karena mengkisahkan kisah saya sendiri tentang kamu. Sudah tahu dari dulu kan kalau saya keras kepala? Memang!

Sudah ya. Salam untuk perempuanmu. Sekalian titip peluk lewat dia untuk ponakanmu yang lucu dan gantengnya mintak ampun. Hehehe.





Dini hari usai menyiapkan berkas ujian skripsi.
Penuh kasih,

G.




Gambar ilustrasi adalah foto milik @m_akbar_kafi

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: