Jumat, 09 September 2016

Mau Jadi Apa Kamu ?


Puji syukur badan saya terbiasa tidur dengan jadwal berantakan. Saya bukan tipe orang yang saklek harus pergi dan bangun tidur pukul tertentu, sangat sangat fleksibel. Beberapa hari terakhir ada kesibukan yang mengharuskan saya tidur hampir subuh. Pekerjaan berhubungan dengan kreatifitas tapi punya tenggat waktu itu kadang menyiksa tapi nagih. Di tengah jalan otak saya kadang mentok, dan biasanya ambil jeda sembari berharap muncul ide. Entah kenapa, saya sedang senang membaca tulisan-tulisan tentang parenting, atau segala hal yang berhubungan dengan ibu-anak. (Nggak! Bukan tanda saya akan segera berkeluarga dalam waktu dekat.) Di waktu jeda itulah sering kali saya gunakan untuk membaca beberapa tulisan yang sifatnya ringan namun masih valuable. Sampailah saya pada suatu tulisan di blog Falla Adinda tentang Belajar Melihat Anak secara Utuh
Saya baru saja menyelesaikan kuliah di bidang ilmu eksak, namun entah mengapa dulu jaman kuliah saya lebih sering glesotan di fakultas bahasa dan seni atau minimal punya banyak teman anak non eksak. Pernah suatu kali saat menonton pagelaran seni tari di kampus, iseng mengirim pesan singkat ke pacar (sekarang mantan) “Yang, kalau nanti kamu punya anak lulus SMA dan mau masuk seni tari dibolehin nggak?” Lalu kami terlibat obrolan panjang lebar yang bila dibaca orang sebenarnya hanya sampah. Dekat dengan saya memang harus siap tiba-tiba diajak nyampah. Lalu ada pula obrolan dengan seorang kawan yang kuliah mengambil jurusan Sastra Indonesia, “Nanti kalau punya anak jangan dimasukin sastra. Emak model kamu mana bisa nerima anaknya jualan es degan sambil jadi penyair idealis.” Dia mengatakannya sambil tertawa-tawa, tentu hanya candaan. Nah, sesaat sebelum menulis ini saya terpikir juga. Sudahkah saya tidak sekonservatif ibu yang masih menganggap kamu bisa belajar menari di sanggar, les musik, membaca novel kemudian mendiskusikannya, dan menulis puisi di manapun kapanpun tanpa harus memperdalam ilmu tersebut secara formal? Hei Nak, mau jadi apa kamu?
Lingkungan saya membesarkan saya masih dengan cara konservatif, mungkin mirip dengan penuturan Falla. Meskipun sering secara lisan mengungkapkan bahwa, “Kecerdasan anak itu masing-masing.” Praktiknya, tetap saja kamu cerdas/pintar ketika angka rangking kamu semakin sedikit. Tentu ini di luar pekara kecerdasan spiritual dan sosial. Hubungan dengan Tuhan dan orang lain Alhamdulillah masih selalu menjadi yang pertama. Kembali lagi ke kecerdasan keilmuan, tak jarang acara berkumpul saat liburan diwarnai dengan pertanyaan, “Mbak rangking berapa?” Berrrraat! Ya Nak, ibu faced that hardly and won’t it happen to you. Kamu tahu saat menulis ini pun ibu masih perempuan biasa-biasa saja banyak bodohnya yang sedang berburu pekerjaan tetap. Menemui banyak persyaratan di lowongan kerja yang berbunyi “Kecuali sasta, seni, sejarah, ilmu budaya,…….” Semua tahu belajar termasuk pada jenjang formal bertujuan lebih mulia dari sekadar bertemu kata-kata, “Jadi, kapan Anda bisa bergabung dengan kami,” saat diterima bekerja. Semoga seiring berjalannya waktu keyakinan di hati ibu untuk menghagai hakmu memilih semakin kuat. Jadi, perdebatan panjang tentang jurusan kuliah tidak akan pernah terulang. Berkembanglah sesuai apa yang kamu cintai. Ibu berusaha menanamkan di hati bahwa kecerdasan itu macam-macam bentuknya, tidak di mulut saja. Kamu berkewajiban selalu mengusahakan yang terbaik termasuk untuk orang lain, bukan tentang bahagiamu sendiri saja. Bertanggung jawab bahwa dengan pilihanmu hidupmu dan masa depanmu baik-baik saja. Sehingga, kamu berhak dihargai pilihannya hendak menjadi apa.



Much love
Ibumu di masa depan

(Dinihari setelah mendengar suara ronda)

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: