Puji
syukur badan saya terbiasa tidur dengan jadwal berantakan. Saya bukan tipe
orang yang saklek harus pergi dan bangun tidur pukul tertentu, sangat sangat
fleksibel. Beberapa hari terakhir ada kesibukan yang mengharuskan saya tidur
hampir subuh. Pekerjaan berhubungan dengan kreatifitas tapi punya tenggat waktu
itu kadang menyiksa tapi nagih. Di tengah jalan otak saya kadang mentok, dan
biasanya ambil jeda sembari berharap muncul ide. Entah kenapa, saya sedang
senang membaca tulisan-tulisan tentang parenting, atau segala hal yang
berhubungan dengan ibu-anak. (Nggak! Bukan tanda saya akan segera berkeluarga
dalam waktu dekat.) Di waktu jeda itulah sering kali saya gunakan untuk membaca
beberapa tulisan yang sifatnya ringan namun masih valuable. Sampailah saya pada suatu tulisan di blog Falla Adinda
tentang Belajar Melihat Anak secara Utuh
Saya
baru saja menyelesaikan kuliah di bidang ilmu eksak, namun entah mengapa dulu
jaman kuliah saya lebih sering glesotan di fakultas bahasa dan seni atau
minimal punya banyak teman anak non eksak. Pernah suatu kali saat menonton
pagelaran seni tari di kampus, iseng mengirim pesan singkat ke pacar (sekarang
mantan) “Yang, kalau nanti kamu punya anak lulus SMA dan mau masuk seni tari
dibolehin nggak?” Lalu kami terlibat obrolan panjang lebar yang bila dibaca
orang sebenarnya hanya sampah. Dekat dengan saya memang harus siap tiba-tiba
diajak nyampah. Lalu ada pula obrolan dengan seorang kawan yang kuliah mengambil
jurusan Sastra Indonesia, “Nanti kalau punya anak jangan dimasukin sastra. Emak
model kamu mana bisa nerima anaknya jualan es degan sambil jadi penyair idealis.”
Dia mengatakannya sambil tertawa-tawa, tentu hanya candaan. Nah, sesaat sebelum
menulis ini saya terpikir juga. Sudahkah saya tidak sekonservatif ibu yang masih
menganggap kamu bisa belajar menari di sanggar, les musik, membaca novel
kemudian mendiskusikannya, dan menulis puisi di manapun kapanpun tanpa harus
memperdalam ilmu tersebut secara formal? Hei Nak, mau jadi apa kamu?
Lingkungan
saya membesarkan saya masih dengan cara konservatif, mungkin mirip dengan
penuturan Falla. Meskipun sering secara lisan mengungkapkan bahwa, “Kecerdasan
anak itu masing-masing.” Praktiknya, tetap saja kamu cerdas/pintar ketika angka rangking kamu semakin sedikit. Tentu ini di luar pekara kecerdasan spiritual
dan sosial. Hubungan dengan Tuhan dan orang lain Alhamdulillah masih selalu menjadi
yang pertama. Kembali lagi ke kecerdasan keilmuan, tak jarang acara berkumpul
saat liburan diwarnai dengan pertanyaan, “Mbak rangking berapa?” Berrrraat! Ya
Nak, ibu faced that hardly and won’t it happen to you. Kamu tahu saat menulis
ini pun ibu masih perempuan biasa-biasa saja banyak bodohnya yang sedang
berburu pekerjaan tetap. Menemui banyak persyaratan di lowongan kerja yang
berbunyi “Kecuali sasta, seni, sejarah, ilmu budaya,…….” Semua tahu belajar
termasuk pada jenjang formal bertujuan lebih mulia dari sekadar bertemu
kata-kata, “Jadi, kapan Anda bisa bergabung dengan kami,” saat diterima
bekerja. Semoga seiring berjalannya waktu keyakinan di hati ibu untuk menghagai
hakmu memilih semakin kuat. Jadi, perdebatan panjang tentang jurusan kuliah
tidak akan pernah terulang. Berkembanglah sesuai apa yang kamu cintai. Ibu
berusaha menanamkan di hati bahwa kecerdasan itu macam-macam bentuknya, tidak
di mulut saja. Kamu berkewajiban selalu mengusahakan yang terbaik termasuk
untuk orang lain, bukan tentang bahagiamu sendiri saja. Bertanggung jawab bahwa
dengan pilihanmu hidupmu dan masa depanmu baik-baik saja. Sehingga, kamu berhak
dihargai pilihannya hendak menjadi apa.
Much
love
Ibumu
di masa depan
(Dinihari
setelah mendengar suara ronda)
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: