Rabu, 08 Juni 2016

Ngalor-ngidul





Sam bertanya, “Farah, kenapa orang-orang memanggil saya sambil menunjuk-nunjuk ke arah saya mereka bilang, ‘Hei bule bulee!’ Apa bule itu berarti monyet atau tarzan begitu?”

“Hahahaha… No, Sam. Enggak. Bule itu foreigner, bahasa Indonesianya. Semacam slang.”

“Oiya, orang-orang juga sering mengajak saya berfoto, Farah. Kenapa?”

“Oh really? That’s because you are handsome, Sam.”

“I don’t think so,” dia tersenyum kecut.

Kali itu minggu keduanya di Indonesia. Usai berselancar di Batu Karas dia mendaki Merapi. Di atas bis yang kami tumpangi laki-laki berkebangsaan Belgia ini hendak ke Banyuwangi, nanti turun di Surabaya sebelum melanjutkan perjalanan dengan kereta. Saya setengah sadar setengah mengantuk saat kondektur bis Safari menepuk ringan lengan kiri saya. “Nok, ndaiso boso Inggris? Kae jal takoni meh neng ndi?” Bahasa Inggris saya sebenarnya sama saja, standard. Selesai menanyai dia hendak kemana dan bilang berapa uang yang harus dibayar saya tidur lagi.

Hampir tiba di Solo ketika kondektur bilang, “Mbok dibarengi wae iku, melasi.”
“Oh enggih pak.” … “You wanna go with me? I won’t  go to Surabaya, but we use the same bus.”

Usai turun dari bis Safari saya dan Sam langsung naik bis Eka. Kamipun mengobrol diantara kantuk saya yang parah. Kadang baru ngobrol bentar udah merem dengan sendirinya. Atau, saya biasa mengganjal mata dengan cara nyemil jajan. Nah kalau jajannya habis biasanya saya tidur lagi hahaha (nyium jok bis itu saya kek dininabobo, selalu!).

“Farah, are you moslem?” tanyanya memecah hening saat saya sibuk makan kacang rebus.

“Hm? Yes I am. Why?” Nggak biasanya bule ngurus agama orang!

“Is that a must for using em.. what you call that, above your head?”

“Oh this is kerudung. In Qur’an I find it, that a girl should use this.”

“Emm..”

 “You wanna ask me, but why other moslem girl doesn’t use this?”

“Kamu bisa baca pikiran ya hehe.”

“Kamu mungkin lihat Queen Rania tak pakai kerudung juga kan, padahal dia muslim. Yes I know Sam.”

“So why?”

“When somebody choose a religion it’s absolutely a private scope, right? The way they understand also depans on them. Dan tafsir perintah Tuhan itu sangat bermacam-macam di dunia ini, alirannya atau mashab. Setiap orang punya hak untuk memilih dia ikut yang mana.”

“Berarti agamamu sebebas itu?”

“No! Nggak bebas. Tetap ada ketentuan surga-neraka, kalau nda nurut perintah Tuhan ya masuk neraka. Nah, people should understand about religion consensus at the very first place. Kalau surga neraka itu hal kesekian tentang their relationship with his God, and he believes ibadah have somany ways. So, what we can do? Masing-masing sih.”

“Termasuk ketika mereka memilih untuk membunuh orang seperti ISIS?”

Saya diam sejenak. Takut salah ngomong, dengan modal otak dan Bahasa Inggris dibawah garis kemiskinan. “I am not sure that ISIS is truly moslem. Tuhan dan agama kami mencintai damai, Sam.”

“Banyak refugee yang sangat menderita, Farah. Aku bekerja di lembaga sosial untuk anak-anak, pekerjaanku termasuk mengurus anak-anak mereka.”

“Yes, Sam, I know that. Is that too much kalau kubilang mereka termasuk golongan yang salah menafsirkan perintah Tuhan?”
“I don’t exactly know.”

“But, actually… konflik gila itu bukan semata-mata karena agama. Coba cek kekayaan negara-negara tempat konflik itu. Have you though about, ada ‘some body’ dibelakang itu semua yang ingin negara itu porak-poranda lalu mereka bisa masuk dan diam-diam menguasai nantinya. Dan agama dijadikan alat untuk make their dream comes true.”

“Some country. Or maybe..”

“Or maybe a partnership. Hehe…”

“I am sorry Farah if I have been hurting you by underestimating your religion. Because you know in my country, they are really defferent with you.”

“Sam, you should see! Mayoritas orang di sini muslim, kondektur yang tadi kasih kembalian ke kamu, ojek yang anter kamu ke terminal, ibu-ibu yang senyum ke kamu. Mereka ramah kan, even saya mau duduk di sebelah kamu, shake your hand, ngobrol, bahkan berbagi makanan. Islam doesn’t only have one face. Dan sebenarnya yang dimaui Tuhan kami ya yang seperti ini. Kami juga nggak nyaman dengan islamicphobia. If you don’t mind, try to see from many sides.”

Dia diam.

“I hope you can read some good books. And also, orang-orang Islam yang kamu kenal membaik cara pikirnya.”

“I hope so, Farah.”
……
Kami mengobrolkan banyak hal lagi termasuk apa saya punya pacar, apa saya seperti perempuan India yang kebanyakan dijodohkan, termasuk keterkejutannya ketika saya bilang sudah memikirkan tentang pernikahan dan mendidik anak di umur saya yang menurutnya “Koe ki esih rolikur taun ndukkkk!” Dan tentu saja, semua itu sebelum saya tiba-tiba tertidur. Lagi! Hehehe….

Saya pikir semua bule seperti yang SELALU diwanti-wantikan guru Bahasa Inggris. “Mereka nggak suka ditanya hal-hal yang pribadi, agama, umur, status, blablabla” Helaaaw seharusnya pertanyaan itu emang nggak ditanyakan termasuk ke mereka yang bukan bule. Tapi njuk ini orang seratus lapan puluh drajat banget. Kayaknya baru kali ini ada bule begini.

Terus… ngg—yagitulah gabisa pukul rata. Sama kan kayak kita (eh, saya) nggak bisa juga dipukul rata keislamannya dengan yang lain. Kalokmah saya dipukul rata, eh maksudnya disamakan dengan Dian Pelangi yang cantik sholehah idaman lelaki itu ya sayaaaaa…. Ya saya nggak mau! Wong bakul susu tulang-belulang setengah bakul ngaaanu…. (stofirullah). Manusia macam-macam pikirnya, macam-macam pula yang memanfaatkan pikirnya. Alhamdulillah masih punya pikir, kak! Mari digunakan berpikir, biar nggak kayak lempung yang berkali-kali diumpati, “Bebal kali!” itu saya ding hehehehe.


Sumber gambar: ebilogi.com

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: