Obrolan
sepasang anak muda seumuran saya, perempuan (B) dan laki-laki (A) yang tanpa sengaja kukuping karena tempat makan lesehan yang
jarak antar mejanya sangat sempit. Menurutku diantara sepanjang obrolan mereka
ada yang menarik ketika yang perempuan menceritakan seseorang, kuduga
kekasihnya.
Si laki-laki
baru saja melihat mungkin foto dari ponsel si perempuan.
A: Kupingnya
piercing-an?
B: Tersenyum dan mengangguk.
A:
Kamu serius ndak papa? Jilbabmu? Orang rumahmu?
B: Konservatif
banget! Proses berjalan. Cuman piercing
kan apa salahnya? Toh, bukankah semua orang bisa berubah?
A:
Nah kan benar dugaanku.Menggeser piring
berisi kepiting ke depan B. Digetok cangkangnya salah satu. Ini kayak kamu,
keras!
B:
Maksutnya?
A:
Kamu masih mbak-mbak pemakan ego lauknya keras kepala goreng. Sak
pengenmu dewe! Kamu pingin dia berubah demi kebahagiaan kamu.
B:
Ndak! Kebahagiaan dia.
A:
Pakai tolok ukur kamu? Padahal every
single people has their own fuck*n way to persuade his happiness. Taruhan
pasti kamu nyuruh-nyuruh dia sholat, dia sedekah, dia ikut pengajian blablabla
mungkin juga sampai melepas antingnya. Itu yang menurutmu pemikiran orang yang
udah ndak konservatif, moderat dan kesisipan liberal, iya?
B: Sewajarnya
kamu ingin orang yang kamu sayang sesuai dengan doa-doa kamu ke Tuhan kan? So what should I do if you were me?
A:
Bukan kapasitasmu merubah-rubah orang. Kebahagiaan apalagi ibadah itu privasi
banget. Urusan dia sama Tuhan, tahu?
B: Dia
ndak keberatan kok, aku juga nda maksa.
A:
Tapi kamu sakit kalau kamu tahu telepon bangunin subuhmu cuma diiyakan tanpa
pernah dikerjakan?
B:
Iyalah, kecewa dong sewajarnya manusia.
A: Kamu
terus kecewa karena harapanmu tidak pernah kejadian. Dia lelah menjadi orang
lain demi menuruti kamu. Lalu dimana nyamannya?
Lalu
di mana nyamannya?
Akhirnya
saya menuliskan ini, sebagai semacam pengingat mungkin. Bahwa nyatanya ketika
berkaca saya pun masih sangat sering memaksakan banyak “kebahagiaan” versi saya
pada orang lain.
Perempuan
manapun tentu punya doa tersendiri tentang seperti apa laki-laki yang dia
harapkan menjadi takdirnya. Sebagai perempuan ber-Tuhan tentu bersisihan jiwa
dengan laki-laki yang dekat dengan Tuhan-Nya menjadi yang utama. Si B mungkin
seperti saya, dia bisa sangat toleran dengan orang lain namun tidak dengan
orang yang ia spesialkan, siapa yang tak ingin beribadah dengan khusyu bersama,
mendidik anak dengan pemikiran sejalan, bersedekah tanpa di-ngrundeli , bergaul dengan tataran yang
seimbang pada keduanya.
Jatuh
cinta tidak pernah salah bukan? Saya cenderung percaya bahwa perasaan yang
murni itu tidak bisa pilih-pilih. Rasa sayang yang dikaruniakan Tuhan bisa
datang antara seorang perempuan berkerudung dan seorang preman, seorang
penyanyi dangdut dengan aktivis HAM, seorang perjaka pada janda, antara dua
sahabat, hingga bahkan antara yang laki-laki dengan sesama jenisnya, pun
perempuan. Ah, saya tidak mau terlalu jauh. Baik, lalu bagaimana? Yang membedakan
adalah cara menyikapi perasaan. Perasaan sayang dan rasa nyaman saling
mengikat, harus ada, harus dipupuk bahkan mungkin diusahakan. Dan setiap
perempuan maupun laki-laki punya hak penuh memilih pun menolak rasa sayang dari
dan terhadap siapa yang harus disikapi.
Ndak cocok, ndak nyaman, tinggalkan?
Halow,
lha mbok pikir segampang kuwi! Lungo teko, iki ati dudu terminal, bos! :-)
Itulah
sebab dunia ini mengenal diskusi dan kompromi. Diusahakan saja dulu. Yang paling
tahu batas kapasitas adalah masing-masing pribadi. Jangan semua yang dekat diberi
sikap. Tidak semua yang nyaman harus “disayang”. Bersikap itu perlu! Nyaman dan
sayang fluktuatif? Bisa jadi, karena
nyaman pekara dukungan keadaan yang berjalan pula. Adalah tentang usaha membuat
berkelanjutan (etdaah semacam going concern pada perusahaan go public!
#elingkuliahGusti). Kalau usahaaaa terus mentok? Kejedot dong, sakit! Hehe, batasnya adalah tentang saling menyakiti
atau tidak. Kalau ada yang malah terluka, atau bahkan dua-duanya terluka, lha
buat apa? Kompromi yang tak terbatas hanya komprominya Tuhan. Bukan begitu,
mas? #eh
Tabik
Perempuan
yang lagi ketagihan kopi Lampung :D
secuil curhatan hidup dari seorang wanita pecandu kopi pun malam. :) ya, namanya Geriel.
BalasHapusHahaha atau sebenarnya saudari merasa terwakilkan #lhoh
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus