Jumat, 04 Desember 2015

Tujuh




Satu. Kamu adalah kebahagiaan yang sangking bahagianya hingga saya ‘umpati’ tanpa pretensi, tanpa amarah.
Dua. Kamu memabukkan, tapi tidak membuat saya kehilangan akal kewarasan.
Tiga. Kamu adalah yang membuat bayak hal terterobos dengan persetan.
Empat. Kamu menerbangkan saya seperti fly saat menghisap ganja padahal kamu tahu saya tidak punya sayap.
Lima. Kamu tidak pernah bersalah.
Enam. Kamu yang membuat saya tahu arti menyerah.
Tujuh.

Peri bersayap kecil. Tadi saya mengeja namanya hingga lupa diri seperti bahagia usai menenggak vodka. Saya mabuk, iya.

Suatu hari saya pergi ke bar mencari bahagia niatnya. Saya bahagia, mabuk, lupa diri. Kemudian pulang, tersandung, jatuh berdebam, diguyur hujan hingga sadar. Kemudian refleks mengumpat keras-keras. Kurang ajar benar bibir, tidak waras benar otak, jika sepanjang umpatan yang mampu dikeluarkannya hanya namamu dan “sayangku”. Jika kamu sudi membangun imaji begitulah fragmen kita, fragmen saya oh ya.

Satu. Kamu adalah kebahagiaan yang sangking bahagianya hingga saya ‘umpati’ tanpa pretensi, tanpa amarah.

Tidak ada jeda antara menjadi laki-laki kalut dan menjadi seperti raja di surga. Saya bisa berlimpah bahagia hanya dengan mendengar gumamanmu mengikuti Ari Lasso menyanyi di panggung.  Saya tidak berharap pindah ke area festival konser biar bisa menggandeng tanganmu atau memelukmu dari belakang. Senyummu di bawah lighting remang-remang saya nikmati saat kita bersampingan, saya telah sangat berterimakasih. Betapa semesta memberikan ketenangan secara perlahan. Saya ingin melihat senyum kamu sesering video call ABG LDR, tapi saya tahu itu hanya ingin. Karena kebutuhan saya yang didengar semesta adalah melihat senyummu malah meredakan segala yang berdentuman untuk memiliki kamu. Sedangkan milik-kepemilikan terkesan sangat komersil. Saya menyangi kamu, dan saya kecanduan melihat kamu bahagia. Itu saja setahu saya. “Mas, aku seneng banget. Trimakasih ya,” teriakmu timbul tenggelam diantara dentum drum untuk intro lagu. “Seneng!”

Dua. Kamu memabukkan, tapi tidak membuat saya kehilangan akal kewarasan.

Saya tidak sama sekali lupa diri, saya sadar sesadar-sadarnya bahwa saya menjerembabkan diri saya sendiri dengan suka rela pada candu, bernama kamu.

Lelaki macam apa saya, peduli amat. Tetiba kalut, tetiba ingin bertemu, seberserakan rindu, tak tahu. “Kamu kayak bukan kamu!” Telinga saya tidak tuli, gamblang kata-kata seperti itu masuk lubangnya. Saya tidak dibutakan pun ditulikan, hanya menjadi pandai saja mengesampingkan perkataan teman-teman. Kamu tahu sayangku, membaca pesan-pesan BBM-mu membuat hidup seperti selalu terburu-buru. Kapan saya bisa menggeber kendaraan hingga segera sampai kotamu? Saya butuh bertemu, sumpah apa ketahuilah saya tersiksa. “Maaf ya. Aku lagi banyak kerjaan, kamu ke sini aku ndak bisa menemani.” Tuhan bilang apa, mungkin kalau kita bertemu saya akan tergesa dan malah kamu yang tersiksa. Mungkin Tuhan menguji sabar saya yang pas-pasan kadarnya. Mungkin Tuhan mau saya berproses untuk mendewasa. Apalah sulitnya menghargai pekerjaanmu untuk menunda bertemu. Mukin…. “Mungkin bukan dia yang terbaik, Bro. Kamu tidak bisa terus seperti ini.” Asyalan, teman-temanku nyerocos begitu.

Tiga. Kamu adalah yang membuat bayak hal terterobos dengan persetan.

Adalah teguk kopi terakhir pada cangkir kedua. Usai membaca pesan whatsapp di ponsel, saya berdiri membayar dengan beberapa lembar rupiah kemudian pergi. Saya kembali ke kota saya, pekerjaan sudah menanti. Di seberang jalan sana, hanya beberapa hasta kamu sedang menunggu pergantian sift. Sedang duduk melamun siapa tahu ada panggilan pasien, bisa juga sedang memeriksa ibu-ibu tua yang menjadi tenang setelah kamu senyumi, atau mengecek jahitan seorang balita dengan wajah tabah yang membuat orang tuanya percaya bahwa putranya akan baik-baik saja. Seharusnya saya berlari membeli sekotak makan siang, menyusuri bau kreolin dan menemanimu makan siang di ruangan. Tak butuh kamu tahu betapa setiap pagi saya hobi menembus dingin kotamu kemudian menghangatkan diri dengan kopi di warung kumuh dekat tempatmu bekerja. Awalnya begitu,awalnya saya sudah bahagia dengan berada dekat denganmu saja tanpa perlu kamu tahu. Tapi, rasa ini ngelunjak, senormalnya manusia. Ternyata saya lebih bahagia jika kamu tshu bunga yang kusuruh seorang teman antarkan ke tempat tinggalmu adalah pemberian saya. Lebih merasa hidup ketika kamu tahu saya sepenuhnya mencemaskan sehatmu yang bekerja di lingkungan dengan banyak penyakit. Lebih bersemangat ketika pagi dan mendengar kamu menyemangati saya dengan ceria. Lebih rindu jika mendengar manjamu. Apa saya berlebihan?

Empat. Kamu menerbangkan saya seperti fly saat menghisap ganja padahal kamu tahu saya tidak punya sayap.

Jangan jatuh cinta. Tapi jangan menjauh. Jangan berhenti membuat senang. Tapi jangan mengukir harap. Jangan abaikan saya. Jangan menuntut balik kebahagian.

Lima. Kamu tidak pernah bersalah.

Tuhan kelebihan murah hati saat jatah pesona dibagikan di rahim ibumu. Anugrah. Dan kamu tidak pernah salah.

Enam. Kamu yang membuat saya tahu arti menyerah.

Orang lain menyerah setelah lelah. Kenapa saya tidak? Ini bukan tiba-tiba, suatu pagi saya tahu kamu telah lebih bahagia jika tanpa saya. Dunia hening dua puluh detik. Saya disadarkan! Sebenarnya apa mau saya selama ini? Memiliki kamu? Bodoh! Itu bukan saya! Itu bukan saya! Kamu butuh bahagia, dan belum tentu butuh saya disisi kamu selalu. “Iya, dia mas. Belum lama kok mas. Aku bahagia, Alhamdulillah.” Samasekali aku tidak ingin berhenti, tapi aku menyerah. Tuhan, jika ini mau-Mu.

Saya tahu ternyata menyerah adalah bercakap dengan Tuhan, semacam “Hey ternyata mauku tidak bisa dipaksa seperti menjejalkan durian kemulut temanku yang jijik. Berarti kalau dipaksa kan menjijikkan ya. Yuk nego lah, Mau-Nya Tuhan apa?”

Aku sudah jungkir balik sepenuh hidup setengah mati. Lalu menyerah di pelukan Tuhan. Aku menyayangimu Peri Bersayap Kecil.

Tujuh. Saya menceritakan kisah ini kepada perempuan sok tau dan sok tua, mantan gebetan sahabat saya karena dia selalu kurang kerjaan menulis apa saja dengan perjanjian lima cup sbux (saja) saat dia pulang kampung nanti.


Dan Hey nanti kalau kamu punya anak…. Nak, kisah papamu anak cinta banget ya. Biar endingnya tidak karuan begitu, biar dituntaskan sendiri. Tante Geriel nda pernah cinta-cintaan semodel itu. Taunya ngributin sepele-sepele semacam mantan tiri, janji-janji gulali, alis, cantik-cantikan, langsing dan behel gigi :P










2 komentar:

Yours: