Jumat, 11 Desember 2015

Keras, Cangkang Kepiting




Obrolan sepasang anak muda seumuran saya, perempuan (B) dan laki-laki (A) yang tanpa  sengaja kukuping karena tempat makan lesehan yang jarak antar mejanya sangat sempit. Menurutku diantara sepanjang obrolan mereka ada yang menarik ketika yang perempuan menceritakan seseorang, kuduga kekasihnya.


Si laki-laki baru saja melihat mungkin foto dari ponsel si perempuan.
A: Kupingnya piercing-an?
B: Tersenyum dan mengangguk.
A: Kamu serius ndak papa? Jilbabmu? Orang rumahmu?
B: Konservatif banget! Proses berjalan. Cuman piercing kan apa salahnya? Toh, bukankah semua orang bisa berubah?
A: Nah kan benar dugaanku.Menggeser piring berisi kepiting ke depan B. Digetok cangkangnya salah satu. Ini kayak kamu, keras!
B: Maksutnya?
A: Kamu masih mbak-mbak pemakan ego lauknya keras kepala goreng. Sak  pengenmu dewe! Kamu pingin dia berubah demi kebahagiaan kamu.
B: Ndak! Kebahagiaan dia.
A: Pakai tolok ukur kamu? Padahal every single people has their own fuck*n way to persuade his happiness. Taruhan pasti kamu nyuruh-nyuruh dia sholat, dia sedekah, dia ikut pengajian blablabla mungkin juga sampai melepas antingnya. Itu yang menurutmu pemikiran orang yang udah ndak konservatif, moderat dan kesisipan liberal, iya?
B: Sewajarnya kamu ingin orang yang kamu sayang sesuai dengan doa-doa kamu ke Tuhan kan? So what should I do if you were me?
A: Bukan kapasitasmu merubah-rubah orang. Kebahagiaan apalagi ibadah itu privasi banget. Urusan dia sama Tuhan, tahu?
B: Dia ndak keberatan kok, aku juga nda maksa.
A: Tapi kamu sakit kalau kamu tahu telepon bangunin subuhmu cuma diiyakan tanpa pernah dikerjakan?
B: Iyalah, kecewa dong sewajarnya manusia.
A: Kamu terus kecewa karena harapanmu tidak pernah kejadian. Dia lelah menjadi orang lain demi menuruti kamu. Lalu dimana nyamannya?


Lalu di mana nyamannya?

Akhirnya saya menuliskan ini, sebagai semacam pengingat mungkin. Bahwa nyatanya ketika berkaca saya pun masih sangat sering memaksakan banyak “kebahagiaan” versi saya pada orang lain.

Perempuan manapun tentu punya doa tersendiri tentang seperti apa laki-laki yang dia harapkan menjadi takdirnya. Sebagai perempuan ber-Tuhan tentu bersisihan jiwa dengan laki-laki yang dekat dengan Tuhan-Nya menjadi yang utama. Si B mungkin seperti saya, dia bisa sangat toleran dengan orang lain namun tidak dengan orang yang ia spesialkan, siapa yang tak ingin beribadah dengan khusyu bersama, mendidik anak dengan pemikiran sejalan, bersedekah tanpa di-ngrundeli , bergaul dengan tataran yang seimbang pada keduanya.

Jatuh cinta tidak pernah salah bukan? Saya cenderung percaya bahwa perasaan yang murni itu tidak bisa pilih-pilih. Rasa sayang yang dikaruniakan Tuhan bisa datang antara seorang perempuan berkerudung dan seorang preman, seorang penyanyi dangdut dengan aktivis HAM, seorang perjaka pada janda, antara dua sahabat, hingga bahkan antara yang laki-laki dengan sesama jenisnya, pun perempuan. Ah, saya tidak mau terlalu jauh. Baik, lalu bagaimana? Yang membedakan adalah cara menyikapi perasaan. Perasaan sayang dan rasa nyaman saling mengikat, harus ada, harus dipupuk bahkan mungkin diusahakan. Dan setiap perempuan maupun laki-laki punya hak penuh memilih pun menolak rasa sayang dari dan terhadap siapa yang harus disikapi.


Ndak cocok, ndak nyaman, tinggalkan?
Halow, lha mbok pikir segampang kuwi! Lungo teko, iki ati dudu terminal, bos!  :-)

Itulah sebab dunia ini mengenal diskusi dan kompromi. Diusahakan saja dulu. Yang paling tahu batas kapasitas adalah masing-masing pribadi. Jangan semua yang dekat diberi sikap. Tidak semua yang nyaman harus “disayang”. Bersikap itu perlu! Nyaman dan sayang  fluktuatif? Bisa jadi, karena nyaman pekara dukungan keadaan yang berjalan pula. Adalah tentang usaha membuat berkelanjutan (etdaah semacam going concern pada perusahaan go public! #elingkuliahGusti). Kalau usahaaaa terus mentok? Kejedot dong, sakit!  Hehe, batasnya adalah tentang saling menyakiti atau tidak. Kalau ada yang malah terluka, atau bahkan dua-duanya terluka, lha buat apa? Kompromi yang tak terbatas hanya komprominya Tuhan. Bukan begitu, mas? #eh





Tabik
Perempuan yang lagi ketagihan kopi Lampung :D


3 komentar:

  1. secuil curhatan hidup dari seorang wanita pecandu kopi pun malam. :) ya, namanya Geriel.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha atau sebenarnya saudari merasa terwakilkan #lhoh

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Yours: