Ada
berapa puluh ribu anak muda yang rebutan untuk numpang hidup sementara di
Jogjakarta setiap tahunnya? Mungkin bagimu merantau ke Jogja itu sepele, tapi
tidak buat saya. Di kampung, saya bisa sedikit sok-sok-an ketika pulang. Setidaknya embel-embel kota pelajar
lebih bisa bikin bangga. Kalau saja saya memilih kota metropolitan seperti
Jakarta atau Surabaya, tetangga-tetangga dengan seenak udelnya pasti bilang,
“Mbabu neng toko opo rumah tangga?” Matur
nuwun Gusti, Jogjakarta membuat kata-kata mereka berganti, “Wiiiih neng
Yogjo, akeh wong pinter. Panggonane golek ngelmu. Mugo-mugo mulyo uripmu, Nduk.” Jangan tanya
kenapa pikiran mereka sesepele itu? Orang-orang kampung! Bahkan jalan-jalan ke
Malioboro pun belum tentu semuanya pernah.
Lihatlah,
dandanan saya sekarang. Saya suka bergaya
kasual. Berbalut atasan tanpa lengan berbahan sifon lembut juga jaket jeans
warna biru pudar. Celannya juga jeans, hitam. Sedangkan sepatu kanvas biru tua tertali rapi. Dandanan saya
sempurna dengan cepol rambut agak tidak beraturan, melukis alis warna cokelat tua dan bibir merah gonjreng. Saya tidak
sangat cantik, masuk ukuran lumayan untuk anak kuliahan. Wajah kuning langsat
tanpa cacat, hidung yang lumayan mancung lebih terlihat ramping ketika ditenggeri
kaca mata berbingkai persegi. Satu lagi yang mambuat saya lebih percaya diri, mungkin
menurutmu norak, tapi yowis ben.
Ransel warna coklat tua kesayangan saya punya pin lumayan besar menempel di
bagian depannya bertuliskan, I Love UGM.
Kurang gadis Jogjakarta apa saya ini?
--- --- ---
Hari
ini saya pulang kampung, meninggalkan Jogja sebentar untuk sambang ayah ibu. Pulang dengan kereta api memang nyaman. Apalagi
beruntung kebagian tiket eksekutif, istirahat
bisa lebih lega. Musim liburan semester seperti ini Malioboro Ekspress hampir penuh.
Sedikit berdesakan saat mencari tempat duduk, seorang pramugari membantu.
“Silakan,”
katanya sambil mengantar kea rah kursi dengan nomor seperti yang tertera di
tiket.
Saya
bersebelahan dengan seorang laki-laki muda yang nampaknya ramah. Dia menawarkan,
“Mau dibantu taruh ransel di bagasi?” tanyanya. Saya menolak karena memang
hanya membawa sabuah ransel tidak terlalu besar, dipangku saja.
Dari
barang yang menempel di tubuhnya nampak laki-laki ini orang berada. Semakin
tampanlah tubuh tinggi tegapnya itu. Saat saya mulai duduk, sumpalan headset
ditelinga ia lepas. Beberapa percakapan ringan dilontarkan, basa-basi. Mau kemana? Libur semester? Kuliah di mana?
Sering pulang? Saya menjawab dengan ramah pertanyaan-pertanyaan itu. Dia
juga bercerita, dia kuliah di Depok, pulang kampung ke Madiun karena sedang
liburan semester.
“Mas
fakultas apa kalau boleh tau?” tanya saya.
“Teknik,
ambil arsitektur.” Senyumnya samar-samar memamerkan dua lesung pipit di pipi
kiri dan kanan. Alamak, manisnya!
“Kalau
kamu?”
“FIB.
Sastra Indonesia,”kata saya.
“Wow!
Keren!” matanya berbinar cokelat muda.
“Biasa
saja. Mas yang lebih wow!”
“Eh
ini serius! Cewek ambil sastra itu punya sisi seksi tersendiri. Jalan dengan
cuek bawa novel-novel tebal, baca puisi atau main teater, sampai yang praktik
jurnalistik, bagiku itu sih something.”
Laki-laki tampan dan kata-kata manis. Gusti!
“Anyway semester berapa?” tanyanya
melanjutkan.
“Dua,
Mas.”
Dia
tersenyum, “Maksudnya tiga ya? Ini masuk semester ganjil kan?”
Saya
tergagap, “Eh iya, maksudku tiga. Iya, tiga. Suka lupa,” kata saya
cengar-cengir.
“Kalau
Mas, semester berapa?” Tanganku mengambil sebotol teh rasa buah dari kantung samping ransel.
“Lima,
dik. Oya kita belum kenalan. Tantra.”
Kami
bersalaman.
“Sirin.”
“Sirin
Sunkar,” candanya, saya tertawa kecil. “Anak sastra semester awal ada semacam
bacaan wajib gitu juga nggak sih? So far
sudah baca karya siapa? Elliot, Makepeace Thackeray, Mary Shelley, dkk?”
Tiba-tiba
air teh tersangkut di tenggorokan. Malu, saya tersedak-sedak. “Itu sastra
internasional, sepertinya baru semester depan yang itu. Sekarang masih
novel-novel Indonesia. Mas suka baca juga ya?”
“Sedikit.
Sastra Indonesia misalnya karya siapa?”
“Pram,”
kali ini dengan suara pasti.
Selanjutnya,
saya sungguh bahagia. Obrolan kami seperti tidak pernah kehabisan bahan.
Perjalanan berjam-jam dengan kereta tidak terasa. Percakapan tentang Bumi
Manusia hingga Arok Dedes berlangsung cukup seru. Kami seimbang, saya bukan
ahli, pun Tantra. Untungnya dia sekadar mahasiswa arsitektur tulen yang membaca
karya sastra untuk kesenangan. Kalau toh sedikit mengkritik tidak detail, hanya
kulitnya saja. Sesekali jika sepertinya dia akan menanyakan sesuatu yang rumit
langsung saya belokkan ke hal lain. Makanan atau cuaca yang tidak bikin mumet kepala.
Saya juga sering balik bertanya tentang Depok, hal-hal standar seperti harga
sewa kos atau mall kesukaannya. Ah
sudah tampan, pintar, dan ramah lagi. Seandainya
ya Gusti!
“Dari
semua perempuan yang ada di Tetralogi Buru, kalau saja bisa kamu pingin jadi
siapa?”
“Annelies,”
sangat spontan bibir mengucap nama itu.
“Annelies? Serius?” Tantra seperti tidak
percaya.
Buru-buru
saya ralat, “Eh bukan. Bercanda, Mas. Ya mana mau saya mati muda begitu.
Cintanya harus kandas dengan cara yang tragis.”
“Lalu?”
“Kalau
tidak ingin jadi siapa-siapa saja gimana? Sepertinya kepribadian saya nggak nyampek kalau harus menjalani
hidup dengan alur perjuangan seperti mereka.”
Tantra
tersenyum, “Cewek kayak kamu mah tukang nongkrong di coffee shop, mana kuat hidup model Ang San Mei. Mungkin kalau gaya
hidup Annelies masih agak nyambung.”
Entah
kenapa, tawa dari mulut saya terdengar sumbang, “Iya mas, beli gincu impor
masih minta transferan ayah.” Kali ini Tantra tertawa terbahak-bahak.
“Jarang-jarang cewek blak-blakan begini,” sambungnya.
Hampir
masuk Solo, Tantra pamit ke gerbong restorasi. Dia sempat menawari apa mau
pesan makanan sekalian, tapi saya tolak. Pantat saya bergesar ke tempat
duduknya di dekat jendela. Apalagi kalau tidak melamun sambil memandang hampa
ke arah kaca. Kenapa tadi spontan bilang Annelies? Karena dia tokoh yang
diimajinasi saya paling cantik? Mungkin. Atau karena umurnya yang paling
mendekati. Permasalahan hidupnya juga pekara cinta, ya tentu saja beda dengan
percintaan saya yang sering gagal sebelum dimulai. Hanya saja, ada sesuatu yang
sepertinya membuat saya ingin seperti dia. Hanya sebagian, tapi entah apa itu
belum ketemu.
Tantra
ternyata meminta makanan diantar ke kursi kami. Dia juga membeli beberapa
bungkus makanan ringan untuk saya.“Semoga kamu bukan anoreksia yang makan
keripik kentangpun dihindari karena takut gendut,” katanya sambil tertawa
kecil.
“Aku
ndak separah itu, Mas,” sambungku.
“Tapi
diet juga?” dia tersenyum.
“Makan
apa saja, diimbangi olah raga.”
“Itu
lebih bagus. Nge-gym?”
“Yoga
sama belly dance.”
“Pantes
badanmu bagus.” Lesung pipitnya muncul lagi dengan sempurna.
“Makasih.”
Kali ini saya benar tersipu. Ya Gusti, ampun
diterusaken Gusti. Sampun cekap!
--- --- ---
“Rin…
Dik Sirin.”
Perlahan
mata saya terbuka. Oh nampaknya tadi ketiduran. Dan, sejak kapan selimut ini
berada di atas badan? Juga kursi recleaning
seat berubah posisinya? Gusti, jangan
bilang Tantra yang melakukannya.
“Rin,
sebentar lagi sudah masuk Madiun.”
Aku
belum sadar betul, “Em eh iya, mas.”
“Aku
harus turun.”
“Iya
mas,” saya menegakkan posisi duduk.
“Eng…”
Saya tahu dia mau bilang apa. “Boleh minta kontak kamu? Whatsapp, line,
whatever.” Gusti perasaan saya bilang dia
laki-laki baik. Perasaan saya bilang dia tidak begini sama sembarangan gadis.
Perasaan saya….
Hening.
“Rin?”
“Eh
iya mas?” Saya benci begini. “Maaf sebelumnya, Mas.” Ya Gusti, lagi-lagi raut muka yang berubah seperti itu. “Maaf mas, iphone
ketinggalan di kos waktu berangkat tadi.”
Tantra
berusaha tersenyum, tapi seperti ada yang sangat mengganjal pada matanya.
Seperti tidak percaya.
“Em,
anu… Begini saja.” Saya buru-buru mengambil kertas dan pulpen, “Mas tulis nomor
mas di sini. Nanti sekembalinya aku dari liburan kuhubungi.” Matanya berbinar
lagi.
“Dan
kamu liburan berapa bulan?” nadanya lemah.
“Oh
eh, iya. Begini saja, setibanya di rumah nanti gampanglah. Ada henvon nganggur
yang bisa kupakai berkabar.”
Senyumnya
terkembang sempurna. Tantra menulis nomor ponsel, email, dan akun beberapa
sosial media. Matanya seperti memohon saat bilang, “Segera hubungi ya Rin,
sesampainya kamu di rumah.”
Aku
tersenyum.
“Maaf
kalau kesannya agak maksa,” kali ini dia tersipu, “Eh, apa aku harus minta maaf
untuk merasa senang sepanjang Jogja-Madiun? Aku tidak mudah seakrab ini dengan
orang, em… ah sudahlah! Kalau diizinkan main ke rumah atau ke Jogja pasti…. Ya
aku akan semangat berangkat.” Dia membuang muka.
“Bisa
diatur,” saya tersenyum pura-pura setuju.
Tantra
membuka bagasi di atas kami kemudian menurunkan sebuah ransel. Sebentar lagi
akan sampai Stasiun Madiun. “Hati-hati ya.”
“Mas
juga.”
Bunyi
bising gesekan roda besi dan rel mulai terdengar. Malioboro Ekspress perlahan
meninggalkan stasiun Madiun. Saya melihat senyum manis Tantra yang tangannya
tak berhenti melambai. Gusti kenapa
sering kali begini. Kembali duduk di dekat jendela, ragu-ragu tangan saya
menombol sebuah ponsel Cina layar sentuh. Iphone tertinggal? Tertinggal di
pusat jual beli tepatnya. Tidak ada iphone, ponsel Cina saja tidak pernah diisi
paket data. Pangapunten Gusti,
pangapunten.
Hei
Mas Tantra, kalau saja tadi kubilang bahwa sepatu bermerk converse di kakiku
itu hasil berburu di Klitikhan bagaimana rupa senyummu? Misal tadi kamu tahu
bahwa saya bisa berjaket LEVI’s dan berkemeja branded hasil ngubek-ngubek lapak pakaian bekas Sunday
Morning, apa masih semanis itu perlakuanmu? Hari ini pertama kalinya saya naik
kereta eksekutif, itu juga hasil berburu tiket promo. Mujur nasib saya waktu
coba-coba di warnet. Transfer uangnya saja pinjam punya si empunya warnet. Apa
yang akan kamu lakukan jika tahu senyatanya saya sama sekali tidak terikat
dengan UGM? Pin yang bertengger manis
di atas ransel itu nemu waktu saya jalan-jalan di dekat Lembah UGM. Jika saja
sedari awal saya terang-terangan cerita tentang siapa saya, mungkinkah kamu
sampai memohon-mohon dihubungi?
Sekarang
di sisa perjalanan kereta menuju Kediri saya menjadi saya adanya. Seorang gadis
keras kepala asli Trenggalek yang enam tahun lalu nekat merantau ke Jogja. Nama saya Siti Marina, mungkin aneh di
telinga banyak orang kota, ndeso. Emak kasih nama itu memang gara-gara iklan hand body. Sesuka hati bisa saya ganti, Arina, Tarina,
Sisi, Tiana, bahkan Sirin seperti tadi. Tahu, saya lelah ditertawakan gara-gara
nama! Tadi saya nyeplos apa, ayah-ibu, transferan, apa lagi? Ya Alloh, emak
bapak saya petani miskin yang punya banyak anak karena takut KB. Boro-boro
transferan untuk gincu mahal, yang ada sayalah yang susah payah mengumpulkan
uang untuk dikirimkan. Gincu saya bukan NYX, merah gonjreng Fanbo, untung kamu
bukan laki-laki yang jeli dengan kosmetik.
Lalu
Gajah Mada, kalau ada yang mambu UGM adalah
tempat kerja saya. Ya, sama sekali saya bukan mahasiswi Sastra Indonesia. Saya
tahu tentang Pram karena membaca novel yang dengan nakal difoto copy beberapa
mahasiswa. Saya menggandakan satu untuk saya sendiri. Buku-buku yang menurut
saya menarik saya gandakan untuk jadi koleksi pribadi. Itulah kenapa saya bisa
sedikit-sedikit nyambung kalau mengobrol. Dan masih minat bertanya pekerjaan
saya apa? Ada sebuah kios alat tulis dan foto
copy di daerah Deresan. Saya menjaga toko sekaligus melayani orang-orang
yang foto copy, pagi hingga malam.
Satu-satunya olah raga saya adalah angkat-angkat kardus berisi foto kopian dan barang-barang alat tulis. Yoga atau belli dance, saya familiar
karena kata beberapa mahasiswi keduanya sedang sangat digandrungi.
Seperti
tadi bukan yang pertama kali. Bukan cuma di atas gerbong kereta. Tantra bukan
satu-satunya. Saya harus kemaki bilang
seleraku akan lelaki selalu tinggi. Bisa dikata hampir semua yang mendekati
selalu paling tidak mahasiswa. Perkenalan-perkenalan dengan beberapa diantara
mereka bisa mulus terjadi. Sayangnya hanya berhenti sampai satu hingga dua
hari. Saya sudah biasa menerbangkan diri sendiri lalu buru-buru turun karena
takut kalau terlalu tinggi akan jatuh dan sakit sekali.
Mas,
kalau saja benar bisa memilih mau jadi Annelies,
boleh kupotong saja takdir bagian kehidupan berkecukupan? Lalu kucomot pula
takdir Princes Van Kasiruta yang bangsawan itu. Juga tentu akan paripurna
dengan otak secerdas Ang San Mei. Ya
Gusti, betapa saya tidak tahu diri! Mas, mahasiswa tampan yang tidak jarang
bilang sayang. Haruskah saya ikut kejar paket C, kemudian terseok-seok membayar
kuliah untuk bisa duduk santai bareng kalian? Saya belum ada nyali abai
mengirim uang ke kampung untuk adik-adik. Apa iya untuk sekadar membaca karya
Pram atau George Orwell saya harus mampu sekritis kalian? Atau, sebenarnya saya
yang bebal hingga menjadi kritis terasa memusingkan. Saya hanya tahu membaca,
dan mungkin buta untuk banyak sisi lain. Bagaimana caranya, kalau tanpa merk
yang menempel ditubuh saya segalanya menjadi sebelah mata? Apa hanya perasaan
udik saya saja yang membentangkan jarak? Gaji saya sebulan untuk sepuluh gelas
kopi di tempat nongkrongmu pun tak cukup. Saya
tidak bisa serajin kalian menghadiri banyak kajian, membacapun
sesempatnya saja. Kadang baru dua halaman sudah ketiduran. Jika memang harus seberat itu, maka yowis ben lah saya berbahagia menjadi
Sirin. Biar saja lah saya belajar semampu saya begini. Lalu tentang beberapa
jam, beberapa hari, merasa diterima bahkan mungkin hingga mencinta, ah kadang
saya memang rumit. Toh, memang katanya
hidup itu pilihan. Sirin gadis Jogjakarta, yang bisa saja kau tambahi pemalas tapi maunya naik kelas di
belakang namanya.
-selesai-
Sumber gambar ilustrasi: thegirlwithbrokenwings.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: