Minggu, 17 April 2016

Gadis Jogjakarta



Ada berapa puluh ribu anak muda yang rebutan untuk numpang hidup sementara di Jogjakarta setiap tahunnya? Mungkin bagimu merantau ke Jogja itu sepele, tapi tidak buat saya. Di kampung, saya bisa sedikit sok-sok-an ketika pulang. Setidaknya embel-embel kota pelajar lebih bisa bikin bangga. Kalau saja saya memilih kota metropolitan seperti Jakarta atau Surabaya, tetangga-tetangga dengan seenak udelnya pasti bilang, “Mbabu neng toko opo rumah tangga?” Matur nuwun Gusti, Jogjakarta membuat kata-kata mereka berganti, “Wiiiih neng Yogjo, akeh wong pinter. Panggonane golek ngelmu.  Mugo-mugo mulyo uripmu, Nduk.” Jangan tanya kenapa pikiran mereka sesepele itu? Orang-orang kampung! Bahkan jalan-jalan ke Malioboro pun belum tentu semuanya pernah.
Lihatlah, dandanan saya sekarang.  Saya suka bergaya kasual. Berbalut atasan tanpa lengan berbahan sifon lembut juga jaket jeans warna biru pudar. Celannya juga jeans, hitam. Sedangkan sepatu  kanvas biru tua tertali rapi. Dandanan saya sempurna dengan cepol rambut agak tidak beraturan, melukis alis warna cokelat  tua dan bibir merah gonjreng. Saya tidak sangat cantik, masuk ukuran lumayan untuk anak kuliahan. Wajah kuning langsat tanpa cacat, hidung yang lumayan mancung lebih terlihat ramping ketika ditenggeri kaca mata berbingkai persegi. Satu lagi yang mambuat saya lebih percaya diri, mungkin menurutmu norak, tapi yowis ben. Ransel warna coklat tua kesayangan saya punya pin lumayan besar menempel di bagian depannya bertuliskan, I Love UGM. Kurang gadis Jogjakarta apa saya ini?
--- --- ---
Hari ini saya pulang kampung, meninggalkan Jogja sebentar untuk sambang ayah ibu. Pulang dengan kereta api memang nyaman. Apalagi beruntung  kebagian tiket eksekutif, istirahat bisa lebih lega. Musim liburan semester seperti ini Malioboro Ekspress hampir penuh. Sedikit berdesakan saat mencari tempat duduk, seorang pramugari membantu.
“Silakan,” katanya sambil mengantar kea rah kursi dengan nomor seperti yang tertera di tiket.
Saya bersebelahan dengan seorang laki-laki muda yang nampaknya ramah. Dia menawarkan, “Mau dibantu taruh ransel di bagasi?” tanyanya. Saya menolak karena memang hanya membawa sabuah ransel tidak terlalu besar, dipangku saja.
Dari barang yang menempel di tubuhnya nampak laki-laki ini orang berada. Semakin tampanlah tubuh tinggi tegapnya itu. Saat saya mulai duduk, sumpalan headset ditelinga ia lepas. Beberapa percakapan ringan dilontarkan, basa-basi. Mau kemana? Libur semester? Kuliah di mana? Sering pulang? Saya menjawab dengan ramah pertanyaan-pertanyaan itu. Dia juga bercerita, dia kuliah di Depok, pulang kampung ke Madiun karena sedang liburan semester.
“Mas fakultas apa kalau boleh tau?” tanya saya.
“Teknik, ambil arsitektur.” Senyumnya samar-samar memamerkan dua lesung pipit di pipi kiri dan kanan. Alamak, manisnya!
“Kalau kamu?”
“FIB. Sastra Indonesia,”kata saya.
“Wow! Keren!” matanya berbinar cokelat muda.
“Biasa saja. Mas yang lebih wow!”
“Eh ini serius! Cewek ambil sastra itu punya sisi seksi tersendiri. Jalan dengan cuek bawa novel-novel tebal, baca puisi atau main teater, sampai yang praktik jurnalistik, bagiku itu sih something.” Laki-laki tampan dan kata-kata manis. Gusti!Anyway semester berapa?” tanyanya melanjutkan.
“Dua, Mas.”
Dia tersenyum, “Maksudnya tiga ya? Ini masuk semester ganjil kan?”
Saya tergagap, “Eh iya, maksudku tiga. Iya, tiga. Suka lupa,” kata saya cengar-cengir.
“Kalau Mas, semester berapa?” Tanganku mengambil sebotol  teh rasa buah dari kantung samping ransel.
“Lima, dik. Oya kita belum kenalan. Tantra.”
Kami bersalaman.
“Sirin.”
“Sirin Sunkar,” candanya, saya tertawa kecil. “Anak sastra semester awal ada semacam bacaan wajib gitu juga nggak sih? So far sudah baca karya siapa? Elliot, Makepeace Thackeray, Mary Shelley, dkk?”
Tiba-tiba air teh tersangkut di tenggorokan. Malu, saya tersedak-sedak. “Itu sastra internasional, sepertinya baru semester depan yang itu. Sekarang masih novel-novel Indonesia. Mas suka baca juga ya?”
“Sedikit. Sastra Indonesia misalnya karya siapa?”
“Pram,” kali ini dengan suara pasti.
Selanjutnya, saya sungguh bahagia. Obrolan kami seperti tidak pernah kehabisan bahan. Perjalanan berjam-jam dengan kereta tidak terasa. Percakapan tentang Bumi Manusia hingga Arok Dedes berlangsung cukup seru. Kami seimbang, saya bukan ahli, pun Tantra. Untungnya dia sekadar mahasiswa arsitektur tulen yang membaca karya sastra untuk kesenangan. Kalau toh sedikit mengkritik tidak detail, hanya kulitnya saja. Sesekali jika sepertinya dia akan menanyakan sesuatu yang rumit langsung saya belokkan ke hal lain. Makanan atau cuaca yang tidak bikin mumet kepala. Saya juga sering balik bertanya tentang Depok, hal-hal standar seperti harga sewa kos atau mall kesukaannya. Ah sudah tampan, pintar, dan ramah lagi. Seandainya ya Gusti!
“Dari semua perempuan yang ada di Tetralogi Buru, kalau saja bisa kamu pingin jadi siapa?”
“Annelies,” sangat spontan bibir mengucap nama itu.
 “Annelies? Serius?” Tantra seperti tidak percaya.
Buru-buru saya ralat, “Eh bukan. Bercanda, Mas. Ya mana mau saya mati muda begitu. Cintanya harus kandas dengan cara yang tragis.”
“Lalu?”
“Kalau tidak ingin jadi siapa-siapa saja gimana? Sepertinya kepribadian saya nggak nyampek kalau harus menjalani hidup dengan alur perjuangan seperti mereka.”
Tantra tersenyum, “Cewek kayak kamu mah tukang nongkrong di coffee shop, mana kuat hidup model Ang San Mei. Mungkin kalau gaya hidup Annelies masih agak nyambung.”
Entah kenapa, tawa dari mulut saya terdengar sumbang, “Iya mas, beli gincu impor masih minta transferan ayah.” Kali ini Tantra tertawa terbahak-bahak. “Jarang-jarang cewek blak-blakan begini,” sambungnya.
Hampir masuk Solo, Tantra pamit ke gerbong restorasi. Dia sempat menawari apa mau pesan makanan sekalian, tapi saya tolak. Pantat saya bergesar ke tempat duduknya di dekat jendela. Apalagi kalau tidak melamun sambil memandang hampa ke arah kaca. Kenapa tadi spontan bilang Annelies? Karena dia tokoh yang diimajinasi saya paling cantik? Mungkin. Atau karena umurnya yang paling mendekati. Permasalahan hidupnya juga pekara cinta, ya tentu saja beda dengan percintaan saya yang sering gagal sebelum dimulai. Hanya saja, ada sesuatu yang sepertinya membuat saya ingin seperti dia. Hanya sebagian, tapi entah apa itu belum ketemu.
Tantra ternyata meminta makanan diantar ke kursi kami. Dia juga membeli beberapa bungkus makanan ringan untuk saya.“Semoga kamu bukan anoreksia yang makan keripik kentangpun dihindari karena takut gendut,” katanya sambil tertawa kecil.
“Aku ndak separah itu, Mas,” sambungku.
“Tapi diet juga?” dia tersenyum.
“Makan apa saja, diimbangi olah raga.”
“Itu lebih bagus. Nge-gym?”
“Yoga sama belly dance.”
“Pantes badanmu bagus.” Lesung pipitnya muncul lagi dengan sempurna.
“Makasih.” Kali ini saya benar tersipu. Ya Gusti, ampun diterusaken Gusti. Sampun cekap!

--- --- ---

“Rin… Dik Sirin.”
Perlahan mata saya terbuka. Oh nampaknya tadi ketiduran. Dan, sejak kapan selimut ini berada di atas badan? Juga kursi recleaning seat berubah posisinya? Gusti, jangan bilang Tantra yang melakukannya.
“Rin, sebentar lagi sudah masuk Madiun.”
Aku belum sadar betul, “Em eh iya, mas.”
“Aku harus turun.”
“Iya mas,” saya menegakkan posisi duduk.
“Eng…” Saya tahu dia mau bilang apa. “Boleh minta kontak kamu? Whatsapp, line, whatever.” Gusti perasaan saya bilang dia laki-laki baik. Perasaan saya bilang dia tidak begini sama sembarangan gadis. Perasaan saya….
Hening.
“Rin?”
“Eh iya mas?” Saya benci begini. “Maaf sebelumnya, Mas.” Ya Gusti, lagi-lagi raut muka yang berubah seperti itu. “Maaf mas, iphone ketinggalan di kos waktu berangkat tadi.”
Tantra berusaha tersenyum, tapi seperti ada yang sangat mengganjal pada matanya. Seperti tidak percaya.
“Em, anu… Begini saja.” Saya buru-buru mengambil kertas dan pulpen, “Mas tulis nomor mas di sini. Nanti sekembalinya aku dari liburan kuhubungi.” Matanya berbinar lagi.
“Dan kamu liburan berapa bulan?” nadanya lemah.
“Oh eh, iya. Begini saja, setibanya di rumah nanti gampanglah. Ada henvon nganggur yang bisa kupakai berkabar.”
Senyumnya terkembang sempurna. Tantra menulis nomor ponsel, email, dan akun beberapa sosial media. Matanya seperti memohon saat bilang, “Segera hubungi ya Rin, sesampainya kamu di rumah.”
Aku tersenyum.
“Maaf kalau kesannya agak maksa,” kali ini dia tersipu, “Eh, apa aku harus minta maaf untuk merasa senang sepanjang Jogja-Madiun? Aku tidak mudah seakrab ini dengan orang, em… ah sudahlah! Kalau diizinkan main ke rumah atau ke Jogja pasti…. Ya aku akan semangat berangkat.” Dia membuang muka.
“Bisa diatur,” saya tersenyum pura-pura setuju.
Tantra membuka bagasi di atas kami kemudian menurunkan sebuah ransel. Sebentar lagi akan sampai Stasiun Madiun. “Hati-hati ya.”
“Mas juga.”
Bunyi bising gesekan roda besi dan rel mulai terdengar. Malioboro Ekspress perlahan meninggalkan stasiun Madiun. Saya melihat senyum manis Tantra yang tangannya tak berhenti melambai. Gusti kenapa sering kali begini. Kembali duduk di dekat jendela, ragu-ragu tangan saya menombol sebuah ponsel Cina layar sentuh. Iphone tertinggal? Tertinggal di pusat jual beli tepatnya. Tidak ada iphone, ponsel Cina saja tidak pernah diisi paket data. Pangapunten Gusti, pangapunten.
Hei Mas Tantra, kalau saja tadi kubilang bahwa sepatu bermerk converse di kakiku itu hasil berburu di Klitikhan bagaimana rupa senyummu? Misal tadi kamu tahu bahwa saya bisa berjaket LEVI’s dan berkemeja branded hasil ngubek-ngubek lapak pakaian bekas Sunday Morning, apa masih semanis itu perlakuanmu? Hari ini pertama kalinya saya naik kereta eksekutif, itu juga hasil berburu tiket promo. Mujur nasib saya waktu coba-coba di warnet. Transfer uangnya saja pinjam punya si empunya warnet. Apa yang akan kamu lakukan jika tahu senyatanya saya sama sekali tidak terikat dengan UGM? Pin yang bertengger manis di atas ransel itu nemu waktu saya jalan-jalan di dekat Lembah UGM. Jika saja sedari awal saya terang-terangan cerita tentang siapa saya, mungkinkah kamu sampai memohon-mohon dihubungi?  
Sekarang di sisa perjalanan kereta menuju Kediri saya menjadi saya adanya. Seorang gadis keras kepala asli Trenggalek yang enam tahun lalu nekat merantau ke Jogja.  Nama saya Siti Marina, mungkin aneh di telinga banyak orang kota, ndeso. Emak kasih nama itu memang gara-gara iklan hand body.  Sesuka hati bisa saya ganti, Arina, Tarina, Sisi, Tiana, bahkan Sirin seperti tadi. Tahu, saya lelah ditertawakan gara-gara nama! Tadi saya nyeplos apa, ayah-ibu, transferan, apa lagi? Ya Alloh, emak bapak saya petani miskin yang punya banyak anak karena takut KB. Boro-boro transferan untuk gincu mahal, yang ada sayalah yang susah payah mengumpulkan uang untuk dikirimkan. Gincu saya bukan NYX, merah gonjreng Fanbo, untung kamu bukan laki-laki yang jeli dengan kosmetik.
Lalu Gajah Mada, kalau ada yang mambu UGM adalah tempat kerja saya. Ya, sama sekali saya bukan mahasiswi Sastra Indonesia. Saya tahu tentang Pram karena membaca novel yang dengan nakal difoto copy beberapa mahasiswa. Saya menggandakan satu untuk saya sendiri. Buku-buku yang menurut saya menarik saya gandakan untuk jadi koleksi pribadi. Itulah kenapa saya bisa sedikit-sedikit nyambung kalau mengobrol. Dan masih minat bertanya pekerjaan saya apa? Ada sebuah kios alat tulis dan foto copy di daerah Deresan. Saya menjaga toko sekaligus melayani orang-orang yang foto copy, pagi hingga malam. Satu-satunya olah raga saya adalah angkat-angkat kardus berisi foto kopian dan barang-barang alat  tulis. Yoga atau belli dance, saya familiar karena kata beberapa mahasiswi keduanya sedang sangat digandrungi.
Seperti tadi bukan yang pertama kali. Bukan cuma di atas gerbong kereta. Tantra bukan satu-satunya. Saya harus kemaki bilang seleraku akan lelaki selalu tinggi. Bisa dikata hampir semua yang mendekati selalu paling tidak mahasiswa. Perkenalan-perkenalan dengan beberapa diantara mereka bisa mulus terjadi. Sayangnya hanya berhenti sampai satu hingga dua hari. Saya sudah biasa menerbangkan diri sendiri lalu buru-buru turun karena takut kalau terlalu tinggi akan jatuh dan sakit sekali.
Mas, kalau saja benar bisa  memilih mau jadi Annelies, boleh kupotong saja takdir bagian kehidupan berkecukupan? Lalu kucomot pula takdir Princes Van Kasiruta yang bangsawan itu. Juga tentu akan paripurna dengan otak secerdas Ang San Mei. Ya Gusti, betapa saya tidak tahu diri! Mas, mahasiswa tampan yang tidak jarang bilang sayang. Haruskah saya ikut kejar paket C, kemudian terseok-seok membayar kuliah untuk bisa duduk santai bareng kalian? Saya belum ada nyali abai mengirim uang ke kampung untuk adik-adik. Apa iya untuk sekadar membaca karya Pram atau George Orwell saya harus mampu sekritis kalian? Atau, sebenarnya saya yang bebal hingga menjadi kritis terasa memusingkan. Saya hanya tahu membaca, dan mungkin buta untuk banyak sisi lain. Bagaimana caranya, kalau tanpa merk yang menempel ditubuh saya segalanya menjadi sebelah mata? Apa hanya perasaan udik saya saja yang membentangkan jarak? Gaji saya sebulan untuk sepuluh gelas kopi di tempat nongkrongmu pun tak cukup. Saya  tidak bisa serajin kalian menghadiri banyak kajian, membacapun sesempatnya saja. Kadang baru dua halaman sudah ketiduran.  Jika memang harus seberat itu, maka yowis ben lah saya berbahagia menjadi Sirin. Biar saja lah saya belajar semampu saya begini. Lalu tentang beberapa jam, beberapa hari, merasa diterima bahkan mungkin hingga mencinta, ah kadang saya memang rumit.  Toh, memang katanya hidup itu pilihan. Sirin gadis Jogjakarta, yang bisa saja kau tambahi pemalas tapi maunya naik kelas di belakang namanya.

-selesai-







Sumber gambar ilustrasi: thegirlwithbrokenwings.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: