Malam
Minggu. Seharusnya saya sedang duduk berdua dengan entah siapa membicarakan
film yang barusan ditonton atau tertawa lepas usai meributkan sneakers itu bisa
dipakai ke kawinan atau tidak sambil makan es krim. Hahaha. Nyatanya saya di
sini, di antara kotakan-kotakan permainan Time Zone, nyempil duduk momong
ponakan. Hampir setengah jam hanya
mengurut layar handphone, membaca beberapa artikel atau membalas satu dua pesan.
Sampai daya batrei melemah, dan apalagi kalau bukan bengong menunggu mereka
puas bermain. Namanya juga Time Zone pas
malam minggu, rame. Isinya remaja, anak-anak, dan tentu saja
emak-emaknya. Kebetulan kayu melingkar berlapis busa yang saya duduki dekat
dengan arena mandi bola. Bocah-bocah nan menggemaskan bermain di dalam, ada
yang nangis rebutan entah apa, selebihnya tertawa-tawa ramai. Lucu ya mereka.
Tingkat
kekurangkerjaan saya akan meningkat apabila sedang bengong. Hehehe dan suka
lebay. Ceritanya di sebelah saya duduk ada seorang ibu muda cantik (make up on
ya cyin) sedang bersusah payah merekam seorang anak laki-laki yang sedang
bermain Maximum Tune. “Adek sini liat kamera, “ bujuk ibu lembut. Si adek
sedang sangat serius, tidak bisa diganggu. Mungkin tinggal seperempat lap dia
akan menang, harus fokus! “Adek, sini liat mama!” bujuk ibunya lagi dan tetap
tidak digubris. Si ibu tidak kurang akal. “Yaudah, di foto aja kalau video
nggak mau. Sini liat mama bentar. Bentar aja, Adek!” Ibu ini mungkin sedikit
jengkel kali ya, tangannya maju memutar kepala si anak kemudian beberapa kali
flash dari kamera handphone menyala. Taraaaa anaknya ngambek. Marah-marah.
Merasa terganggu. Ya Alloh
kok miris ya melihat ibu dan anak ini ribut. Dan ternyata, ibu
tadi bukan satu-satunya yang (sedikit) ngoyo mengabadikan momen anak sedang
bermain. Pandangan saya beredar ke area Time Zone yang tidak terlalu luas. Ada
yang anak, bapak, emak bisa kompak ceria selfie, ada yang emaknya hebat candid,
dan yang lebih banyak sih semangat emak tidak diimbangi dengan kemauan anak untuk
difoto atau divideo.
Bagaimana
rasanya menjadi ibu? Bagaimana rasanya menjadi ibu muda dengan anak pertama
yang montok, berambut kriwil, menggemaskan, murah senyum, dan banyak tingkah? Dan
saya belum tahu jawabannya. Karena saya belum mengalami fase menjadi ibu muda,
jadi ocehan saya ini sangat asumtif. Mungkin, rasanya sangat excited. Bocah yang lucu, berjalan
seperti robot atau seperti mobil remote yang penuh batrai nubruk-nubruk,
tertawanya, tidur pulasnya, mengucapkan beberapa kata yang baru dibisa, makan
es krim sundae blepotan semuka,
bahkan mungkin sampai ngambek nangis jerit-jerit tetap punya sisi menggemaskan.
Anak-anak, apalagi anak sendiri, ibarat kata melebihi harta benda dan setara
dunia ya. Aaaaak jadi pingin bikin! Ngaco :p
Rasa
senang dan bangga adalah sesuatu yang sangat manusiawi bukan? Kesenangan dan
kebanggaan itu yang mungkin juga ingin dibagi ke sanak saudara, sahabat, atau
bahkan orang-orang yang sekadar kenal akun dan display picture. Pun saya, calon
ibu yang mengusaikan masa remaja di era Instagram, facebook, twitter, youtube
dan sekawannya sebagai sepersekian persen nafas hidup, kepincut juga dengan
cara pengabadian momen tersebut. Lucuuuuk
bang, nanti bikin ginian pakek drone ya bang. Halah.
Memotret
atau memvideokan anak-anak bukan sesuatu yang mudah. Mereka sulit diarahkan. “Dek
gini, dek!” “Dek gitu, dek!” “Kakak giginya keliatin!” “Sayang angkat tangannya
dadah!” “Nak angkat kakinya, Nak!”…. Mama
aku njlungup Ma! Ma udah Ma, aku
capek Ma! hahaha . Saya pernah stalking akun Instagram seseorang yang
upload video maupun foto anaknya mencapai seribu postingan lebih. Ada yang
videonya beruntutan satu dengan yang lain. Ketika pergi ke suatu tempat video
yang dibikin si ibu mulai persiapan ganti baju, berdoa masuk mobil, turun dari
mobil anaknya jalan dititah, sampai ke tempat tujuan, mau mulai makan, dan
ketika makan. Allohuakbar.. itung sendiri ya. “Tapi liat yang minta bikin
postingan lagi banyak kok. Liat anaknya juga seneng ketawa-ketawa gitu. Lucu!,”
hati saya berbantahan (alah lebayy). Ya maksudnya kadang pula kan anak-anak itu
bosen sih dikiter-kiterin gitu. Tapi ada juga yang katanya memang anaknya banci
kamera. Ya dunno ding.
Kadang
orang dewasa itu egois (saya banget), suka maksa-maksa. Bikin foto atau video
sah-sah saja asal masih dalam batas wajar. Wajar tidaknya bukan relatif,
saklek, menurut saya sih. Batasnya kenyamanan si anak. Ingat bagaimana Lady
Diana berantem sama wartawan yang ngglibetin Pangeran Harry? Yakalik semua ibu
pingin bikin anaknya nyaman kan. Naaah, kalau (ngoyo) motret sampai bikin anak
ngambek gitu kan sepertinya kurang baik. Ih
ni bocah tau apa sih tentang bahagianya punya anak sama iphone six. Hahaha
memang kan saya hobinya sok tahu hehe Engga ding. Menulis terkadang jadi rambu-rambu
bagi diri saya sendiri. Eh bocah, lu
pernah nulis gini loh, nggak inget?! Jadi ketika saya telah berada di
posisi itu, emak-emak, saya bisa
ingat bahwa memotret dan mem-video
itu harus senyamannya anak. Jangan lagi seperti apa yang pernah saya ngedumelin di blog. Meskipun entah pas saya punya anak
nanti apa Instagram masih digandrungi atau tidak.
Pada
intinya seorang ibu selalu ingin mengusahakan bahwa dekapannya adalah yang
memberi ketentraman tanpa batasan. Tempat pulang sehangat rahim. Kasih sayang
yang biasa namun terus tanpa putus. Ibu mana yang pingin anaknya nggak nyaman?
Retoris, ya nggak ada lah. Kalau pada akhirnya dibeberapa kasus malah terjadi
sebaliknya mungkin karena ada kesalah interaksi keduanya. Ada ibu yang keras,
ada yang mengikuti apa yang anak mau, ada yang feudal, ada yang liberal,
prakmatis, skeptis..kebablasen.
Misalkan,
ibu ingin langkah kaki pertama anak menjadi momen yang diketahui banyak orang. Itu
bentuk cintanya, kebanggannya karena punya anak yang sehat. Tapi si anak yang
belum bisa mengeluarkan pendapat kan tidak pernah memberi tahu mereka nyaman
tidak dibegitukan. “Nanti biar jadi kenang-kenangan.” Apakah kenangan harus sebanyak
itu? Personal mungkin ya. Pokonya Mama
jangan lebay videoin Adek. Adek capek Ma.
---
--- ---
“Mbaaaak,
temenin ngepam mbak! Aku ndak onok musue
mbak!” teriakan ponakan. Buyar seketika celotehan bengong di dalam kepala. Saya
menunduk menatap rok panjang warna biru tua dan sepasang sneakers yang
bertengger di telapak kaki. Calon emak-emak
masih doyan pakek rok sepatuan sneakers gini, dan masih diajakin ngepam! Kayaknya
iseh suwe bwaaaanget siapmu dadi ibu, mbak! Hahaha
Tabik
(calon)
emak anak-anakmu bang :p
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: