Bila semua ini memang harus berhenti,
adakah sesuatu yang patah dari masing-masing kita?
Patah yang membutuhkan waktu lama
untuk membuatnya utuh kembali atau malah
tak akan pernah untuh sama sekali?
“Apa yang salah dengan melanjutkan semuanya?”
katamu suatu malam usai pertengkaran kesekian. . “Aku
bisa berubah. Ini cuma salah paham. Cuma
gara-gara hal kecil terus kamu abaikan yang lain?”
Aku hanya diam, pura-pura sibuk
melukis cethe rokokmu dengan ampas
kopiku. Dalam hati aku balik bertanya, “Apa yang selah dengan mengakhiri
semuanya?”
--- --- ---
Percintaan menurutku masih selalu
menarik, cerita roman selalu minta diberi perhatian. Tidak pernah aneh bagiku
jika kau pernah meninggalkan aksi demonstrasi karena aku melarangmu pergi. Atau
aku batal naik gunung karena kau cemburu dengan teman-temanku. Demi cinta,
fiuuh..
Namaku Lembayung dan kau Biru.
Percintaan kita memang bukan pelangi, tapi tentu bercorak, punya nyawa untuk
meneruskan hidup hingga membagi cerita ke anak cucu. Kita melakukan banyak
sekali hal yang mungkin suatu waktu akan tersenyum-senyum sendirian kala
mengingatnya. Menulis kata-kata cinta di suatu kertas, memotretnya di
tempat-tempat indah yang kita pijak, saling bergenggaman menembus kerumunan
konser, memberi makan hewan-hewan di kebun binatang, berbagi heatset sambil membaca, membagi segelas
es krim, menggambar rumah impian kita, bercakap-cakap dalam puisi, hingga menulis imajinasi tentang janda dan duda yaitu kita bersama dua bocah lucu, anakku
dan anakmu.
Biru. aku tahu ada cinta di matamu dan
sedikitpun aku tak pernah meragu. Kau
bilang jatuh cinta pada pandangan pertama, dan aku sangat tidak percaya. Satu
yang sangat kuingat, suatu sore ada pesan untukku, berisi puisi yang langsung kudamprat tanpa
basa-basi. Majas amburadul, padahal katamu sudah setengah mati membuatnya.
Lalu, melekatlah di belakang namaku, Lembayung GALAK! Perempuan galak yang
mungkin dititipkan Tuhan untuk mengajarimu kesabaran.
Lembayung tidak percaya cinta pada
pandangan pertama. Aku selalu memilih mencintai melalui proses, setelah
mengenal, belajar memahami, dan telah menjalani. Terang-terangan kau bilang mau
menunggu prosesku membangun hatiku sendiri untuk sebuah relationship. Rumit ya? Ah, Biru, betapa banyaknya hal yang ingin
disuapkan Tuhan padamu, perempuan ini sudah galak, rumit lagi.
Proses dan waktu yang menumbuhkan
rasa, cinta adalah simpul dari rasa-rasa itu, sedangkan setia menjaganya. Nah,
Biru, aku mengijinkan diriku memasukkan dimensi waktuku pada proses yang
mengandung kamu sebagai bahan bakunya. Walla..
cinta muncul sedang komitmen telah merekatkan,bukan lagi aku atau kamu, namun
kita dan bagaimana. Kita cukup dewasa untuk memahami komitmen mengandung banyak
sekali konsekuensi, kesetiaan pun selalu sukses kita susupkan. Lalu apalagi?
Bukankah telingaku juga mendengar sendiri betapa banyak teman yang mendukung
kita untuk terus bersama, bahkan ada beberapa yang iri dengan percintaan kita?
Aku bahagia Biru, caramu mencintai
sempat menjadi sangat juara. Kau pun begitu, katamu, meskipun aku tahu ini
gombal, “Kamu adalah perempuan yang selama
ini ada dalam doaku.” Seperti kita dipertemukan Tuhan sebagai jawaban
atas beberapa doa kita masing-masing. Takut kehilangan dan (sangat) mencitai.
Tidakkah percintaan ini seperti cerita novel metropop?
“Aku nggak mau kita pisah,” katamu yang selalu kuiyakan. Sama, pun itu
pernah begitu kuat, “I really love you.”
Masalah itu bumbu katanya, orang-orang
punya masalah yang jauh lebih rumit dari kita tentu saja. Perselingkuhan, restu
orang tua, beda keyakinan, terpisah jarak, apalah semua itu ketika kita malah
menjungkirbalikkan semuanya. Masalah kita sebenarnya apa sih, pernah kamu juga
bertanya seperti itu kan? Biru yang pernah menjadi lelakiku, “Aku sangat mencintaimu.” Itu indah,
namun ternyata tidak selamanya. Sialan, kita punya cara mendefinisikan kata
“sangat” dengan sesuatu yang jauh berbeda. Kau tahu maksudku, aku bahagia
dicintai dengan luar biasa, hanya saja… ah, perempuan ini hanya tidak bisa
memahami apa yang menurutmu sangat benar. Kau tentu tak akan lupa bagaimana
tangisku akhirnya ambrol semalaman untuk sesuatu yang kau bilang, “tidak
sengaja”. Lalu ada jeda dimana aku berusaha melupakan tidak sengaja itu, aku hanya menjalani semua dengan seceria yang
kubisa. Seandainya kau mau dengan kurang kerjaan membaca mataku. Ya Biru, di
sana seharusnya ada muara yang ketika kau salami kau akan mengerti bagaimana cara
membuat bibir melengkung senatural mungkin, otak merangkai lelucon, wajah
berekspresi jenaka, dan sebagainya. Fhuuuh…. Jika sekarang aku memilih melepas
bukan karena aku membencimu,semoga kau masih mau percaya aku sangat
menyayangimu. Aku hanya takut jika bentengku sendiri jebol di waktu yang salah,
aku tidak mau diantara kita ada yang berlarut-larut terluka. Kau sering
membrondongku dengan pertanyaan ketika aku bilang, “Aku capek.” Terdengar
sangat ABG mungkin. Aku sampai di titik lelah berusaha memulai dari awal, lelah
berusaha membohongi diriku sendiri.
Ah sudah! Dan sekarang, sama sekali
tidak berlarut-larut. Kita sama-sama sepakat bahwa dari sebuah kesempatan
bersama akan ada dua pribadi yang lebih baik. Aku memilih melepas untuk
menyempurnakan memaafkan. Perempuan galak ini juga egois ya? Sayangnya ini
satu-satunya jalan Biru. Kita bersama tak akan ada artinya jika ada yang mengendap
di hati satu sama lain. Tidak ada yang benar pun salah, mencintai dan dicintai
adalah kodrat. Tuhan membersamai kita tanpa pernah melepas kesempatan untuk
belajar. Manusia adalah mahkluk paling tidak terduga, setidaknya kau dan aku
pernah saling belajar menembus ketidak terdugaan itu.
Kau pun demikian, lega saat kau
bilang, “Masih banyak hal yang harus aku lakukan. Cita-cita, masa depan, aku
harus mempersiapkan semuanya dengan jauh lebih matang.”
Masih banyak hal. Cara Tuhan membuka
mata kita, mungkin kemarin kita sempat sedikit kejauhan bahagia. Yang kupahami bahwa kita telah menjadi pribadi
yang berbeda adalah, ya kita sama-sama tahu ada air mata, namun sekuat hati
tidak menunjukkannya. Jika yang terberat adalah meyakinkan hati sendiri, kita
memilih melakukannya tanpa banyak bicara. Aku melanjutkan hidupku, kau pun
juga, memang tidak seperti biasa, memang
ada yang retak, biar perasaan jadi urusan Tuhan saja dulu. Terimakasih
telah saling membebaskan untuk mengobati luka kita sendiri-sendiri. Bahagia
adalah melihatmu terus melangkah.
Tidak ada yang mensaklekkan harus menjadi pelangi. Kita punya corak sendiri, kisah kita apalagi. ;)
Tidak ada yang mensaklekkan harus menjadi pelangi. Kita punya corak sendiri, kisah kita apalagi. ;)
kata2nya ngeri, hehe
BalasHapusmau ngelucu kek kamu ga mampuuu mas :(
Hapus