Selasa, 03 Maret 2015

Biru Lembayung



Bila semua ini memang harus berhenti, adakah sesuatu yang patah dari masing-masing kita?
Patah yang membutuhkan waktu lama untuk membuatnya utuh kembali atau malah  tak akan pernah untuh sama sekali?


“Apa yang salah dengan melanjutkan semuanya?” katamu suatu malam usai pertengkaran kesekian.  .  “Aku bisa berubah.  Ini cuma salah paham. Cuma gara-gara hal kecil terus kamu abaikan yang lain?”
Aku hanya diam, pura-pura sibuk melukis cethe rokokmu dengan ampas kopiku. Dalam hati aku balik bertanya, “Apa yang selah dengan mengakhiri semuanya?”

--- --- ---

Percintaan menurutku masih selalu menarik, cerita roman selalu minta diberi perhatian. Tidak pernah aneh bagiku jika kau pernah meninggalkan aksi demonstrasi karena aku melarangmu pergi. Atau aku batal naik gunung karena kau cemburu dengan teman-temanku. Demi cinta, fiuuh..

Namaku Lembayung dan kau Biru. Percintaan kita memang bukan pelangi, tapi tentu bercorak, punya nyawa untuk meneruskan hidup hingga membagi cerita ke anak cucu. Kita melakukan banyak sekali hal yang mungkin suatu waktu akan tersenyum-senyum sendirian kala mengingatnya. Menulis kata-kata cinta di suatu kertas, memotretnya di tempat-tempat indah yang kita pijak, saling bergenggaman menembus kerumunan konser, memberi makan hewan-hewan di kebun binatang, berbagi heatset sambil membaca, membagi segelas es krim, menggambar rumah impian kita, bercakap-cakap dalam puisi,  hingga menulis imajinasi tentang  janda dan  duda yaitu kita bersama dua bocah lucu, anakku dan anakmu.
Biru. aku tahu ada cinta di matamu dan sedikitpun aku tak pernah meragu.  Kau bilang jatuh cinta pada pandangan pertama, dan aku sangat tidak percaya. Satu yang sangat kuingat, suatu sore ada pesan untukku,  berisi puisi yang langsung kudamprat tanpa basa-basi. Majas amburadul, padahal katamu sudah setengah mati membuatnya. Lalu, melekatlah di belakang namaku, Lembayung GALAK! Perempuan galak yang mungkin dititipkan Tuhan untuk mengajarimu kesabaran.





Lembayung tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Aku selalu memilih mencintai melalui proses, setelah mengenal, belajar memahami, dan telah menjalani. Terang-terangan kau bilang mau menunggu prosesku membangun hatiku sendiri untuk sebuah relationship. Rumit ya? Ah, Biru, betapa banyaknya hal yang ingin disuapkan Tuhan padamu, perempuan ini sudah galak, rumit lagi.

Proses dan waktu yang menumbuhkan rasa, cinta adalah simpul dari rasa-rasa itu, sedangkan setia menjaganya. Nah, Biru, aku mengijinkan diriku memasukkan dimensi waktuku pada proses yang mengandung kamu sebagai bahan bakunya. Walla.. cinta muncul sedang komitmen telah merekatkan,bukan lagi aku atau kamu, namun kita dan bagaimana. Kita cukup dewasa untuk memahami komitmen mengandung banyak sekali konsekuensi, kesetiaan pun selalu sukses kita susupkan. Lalu apalagi? Bukankah telingaku juga mendengar sendiri betapa banyak teman yang mendukung kita untuk terus bersama, bahkan ada beberapa yang iri dengan percintaan kita?

Aku bahagia Biru, caramu mencintai sempat menjadi sangat juara. Kau pun begitu, katamu, meskipun aku tahu ini gombal, “Kamu adalah perempuan yang selama  ini ada dalam doaku.” Seperti kita dipertemukan Tuhan sebagai jawaban atas beberapa doa kita masing-masing. Takut kehilangan dan (sangat) mencitai. Tidakkah percintaan ini seperti cerita novel metropop?

“Aku nggak mau kita pisah,” katamu yang selalu kuiyakan. Sama, pun itu pernah begitu kuat, “I really love you.”
Masalah itu bumbu katanya, orang-orang punya masalah yang jauh lebih rumit dari kita tentu saja. Perselingkuhan, restu orang tua, beda keyakinan, terpisah jarak, apalah semua itu ketika kita malah menjungkirbalikkan semuanya. Masalah kita sebenarnya apa sih, pernah kamu juga bertanya seperti itu kan? Biru yang pernah menjadi lelakiku, “Aku sangat mencintaimu.” Itu indah, namun ternyata tidak selamanya. Sialan, kita punya cara mendefinisikan kata “sangat” dengan sesuatu yang jauh berbeda. Kau tahu maksudku, aku bahagia dicintai dengan luar biasa, hanya saja… ah, perempuan ini hanya tidak bisa memahami apa yang menurutmu sangat benar. Kau tentu tak akan lupa bagaimana tangisku akhirnya ambrol semalaman untuk sesuatu yang kau bilang, “tidak sengaja”. Lalu ada jeda dimana aku berusaha melupakan tidak sengaja itu, aku hanya menjalani semua dengan seceria yang kubisa. Seandainya kau mau dengan kurang kerjaan membaca mataku. Ya Biru, di sana seharusnya ada muara yang ketika kau salami kau akan mengerti bagaimana cara membuat bibir melengkung senatural mungkin, otak merangkai lelucon, wajah berekspresi jenaka, dan sebagainya. Fhuuuh…. Jika sekarang aku memilih melepas bukan karena aku membencimu,semoga kau masih mau percaya aku sangat menyayangimu. Aku hanya takut jika bentengku sendiri jebol di waktu yang salah, aku tidak mau diantara kita ada yang berlarut-larut terluka. Kau sering membrondongku dengan pertanyaan ketika aku bilang, “Aku capek.” Terdengar sangat ABG mungkin. Aku sampai di titik lelah berusaha memulai dari awal, lelah berusaha membohongi diriku sendiri.

Ah sudah! Dan sekarang, sama sekali tidak berlarut-larut. Kita sama-sama sepakat bahwa dari sebuah kesempatan bersama akan ada dua pribadi yang lebih baik. Aku memilih melepas untuk menyempurnakan memaafkan. Perempuan galak ini juga egois ya? Sayangnya ini satu-satunya jalan Biru. Kita bersama tak akan ada artinya jika ada yang mengendap di hati satu sama lain. Tidak ada yang benar pun salah, mencintai dan dicintai adalah kodrat. Tuhan membersamai kita tanpa pernah melepas kesempatan untuk belajar. Manusia adalah mahkluk paling tidak terduga, setidaknya kau dan aku pernah saling belajar menembus ketidak terdugaan itu.

Kau pun demikian, lega saat kau bilang, “Masih banyak hal yang harus aku lakukan. Cita-cita, masa depan, aku harus mempersiapkan semuanya dengan jauh lebih matang.”


Masih banyak hal. Cara Tuhan membuka mata kita, mungkin kemarin kita sempat sedikit kejauhan bahagia. Yang kupahami bahwa kita telah menjadi pribadi yang berbeda adalah, ya kita sama-sama tahu ada air mata, namun sekuat hati tidak menunjukkannya. Jika yang terberat adalah meyakinkan hati sendiri, kita memilih melakukannya tanpa banyak bicara. Aku melanjutkan hidupku, kau pun juga, memang tidak seperti biasa, memang  ada yang retak, biar perasaan jadi urusan Tuhan saja dulu. Terimakasih telah saling membebaskan untuk mengobati luka kita sendiri-sendiri. Bahagia adalah melihatmu terus melangkah. 

Tidak ada yang mensaklekkan harus menjadi pelangi. Kita punya corak sendiri, kisah kita apalagi. ;)

2 komentar:

Yours: