Kamis, 06 Agustus 2015

Tidak Ada Tulisan Mesum di Dahi Saya





Maaf sebelumya, saat menceritakan ulang  cerita ini kegeraman seolah masih menempel pada benak saya. Jadi terkesan sepotong-potong dan sangat emosional.


Selamat siang yang terik, bapak muda di jok bus keras nan sempit tepat di sebelah saya. Siapa nama sampean pun saya tak tahu, kita hanya dua dari puluhan penumpang bus jurusan Solo-Surabaya, saya ingin terlelap dan sampean entah apa motifnya terus-menerus mengajak ngobrol.  Saya bisa sangat ramah dengan sesama penumpang, namun bisa juga sangat acuh. Pertanyaan basa-basi tidak terlalu panjang, saya sedang irit bicara, kebetulan siang itu saya sedang puasa dan dini hari sebelumnya hanya makan saur ala kadarnya, ya gerah dan lemas.

---

Masih belum rabun semoga mata sampean betapa merah padam muka saya, mati-matian menahan muntahan caci maki. Betapa getir senyum saya menyatroni wajah sampean yang sangat mesum itu.
 “Sudahlah, mahasiswi jaman sekarang. Nggak usah munafik! Bedak mahal, baju bermerek, nongkrong sama jalan-jalan itu butuh uang,” dia hanya berani berbisik.  Kenapa tidak dilantangkan saja pak, biar kalau ternyata saya ini benar-banar ‘jualan’ sekalian dipromosikan.
“Kamu semester berapa? Pacar saya seumuranmu, kuliah juga di Surabaya.”
Pacar ya, ooh.. saya menangkap maksutnya, “Istri cuma satu?” sambung saya.
“Prinsipku menikah sekali seumur hidup.” Ooh manis sekali.
Masih dengan suara yang sangat lirih si bapak menceritakan kehidupan rumah tangganya. Masalahnya dengan istri, anaknya yang masih delapan tahun, pacarnya yang mahasiswi, demi apaaaaa saya kenal saja tidak, lengkap kap ceritanya. Sampai pekara bagaimana kenal pacarnya, bagaimana gajinya untuk menyenangkan pacarnya, bagaimana ternyata dia juga digoda teman-teman pacarnya. For God sake, itu sangat pribadi dan ini bus, please!
“Enak ya jadi cewek cantik, kayak pacar saya itu.”
“Iyo pak, dodol ora kulakan,” sekata-kata saja. Jualan tanpa kulakan.
Si bapak terkekeh, “Lha kamu gimana? Alah uwis talah, Sudahlah,  jilbapan juga ora menjamin, aku bisa mbaca kamu itu cewek kayak apa. Enggak usah malu-malu, wong enak kok. Pacarmu mesti betah sama kamu ya gara-gara mbok kasih, kan?”
...........
Time to speak up, “Jadi gini pak, lak aku iso tuku wedak, iso tuku klambi ana merek e, iso nokrong, iso dolan-dolan kui mergo duite wong tuaku. Aku yo tak rewangi kerjo freelance lak week end. Oke akeh mbak-mbak sing pek penak e dodolan barang enak sing ora kulakan, akeh mahasiswi awean,  tapi ora kabeh wong wedok koyok simpenane sampean. Sepurane sampean kemeruh nilai wong wedok, gek gowo-gowo jilbab barang!”
Jadi begini, pak. Kalau saya mampu membeli bedak, baju bermerk, nongkrong, hingga jalan-jalan itu karena uang orang tua. Saya juga mau kerja part time tiap week end. Oke, banyak mbak-mbak yang ambil gampangnya jualan sesuatu yang tanpa kulakan, banyak mahasiswi yang ‘suka memberi’, tapi tidak semua perempuan seperti simpanan Anda. Maaf, Anda sok tahu menilai perempuan, mana bawa-bawa jilbab lagi!
Tahu apa yang dilakukan si bapak? Menempelkan telunjuk ke bibirnya, berbisik, “Uwis ojo banter-banter. Uwis.”  Sudah jangan keras-keras. Sudah. Sengaja. Saya keraskan suara saya, biar penumpang lain di bis ini tahu ada laki-laki dengan pemikiran sangat tolol sedang duduk di sebelah saya, meskipun saya ragu dia masih punya malu atau tidak.

---

Wahai siapapun engkau lelaki atau perempuan, sejatinya sesuatu yang salah namun telah menjadi umum menurut kalian dan kelompok kalian akan tetap salah adanya.  Ketahuilah, derajat kemesuman itu bisa disimpan rapi, jika kalian umbar adalah kesalahan ada pada kalian. Objek seksual itu tetap kalian yang mengimajinasikan, bukan? Seseorang dengan pakaian dan tingkah laku sopan pun tetap menjadi objek kalian, generalisasi dan underestimate kalian memang kebodohan yang saya tidak mengerti, karna maaf tidak ada tulisan mesum di dahi saya.
---


Mari sama-sama mengingat bahwa jika diartikan pelecehan seksual berarti perbuatan penghinaan atau memandang rendah seseorang karena berlatar atau dengan alasan yang berkaitan dengan seks, jenis kelamin, atau aktivitas antara laki-laki dan perempuan (KBBI, 1990)
Categories:

3 komentar:

  1. Geril tulisannya bener2 menarik. It's totally cool !

    BalasHapus
  2. Waah trimakasih, Binti. Happy to know you like it :)

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Yours: