Seperti ada
malam yang selalu sama untukku dan untukmu, untuk kita. Bagiku menemukan kau
tersenyum di depan tenda yang telah berdiri adalah cairan infusku untuk hidup
sembilan puluh hari ke depan. Kau masih menjadi manusia terbaik untuk
menemaniku melihat bintang. Membalut hidupku yang tawar dan hampir beku, juga
tempatku menyandarkan setumpuk kepenatan saat aku terbenam dalam dekapmu dan
menceritakan segalanya.
Kau selalu
datang lebih awal, mendirikan tendamu yang sebenarnya juga tak pernah kita
pakai. Aku lebih suka duduk di luar dekat dengan perapian agar bisa terpuaskan
dahagaku menikmati bintang. Entah, kau juga memeng menyukai ini atau hanya
ingin menemaniku, peduli apa. Langit masih jingga saat aku datang, angin belum terlalu
menggigit. Aku duduk dan seperti biasa akan mengeluarkan beberapa benda dari
tasku, dua buah cangkir, beberapa sachet
gula, bubuk kopi, dan creamer.
“Sehat?” Selalu
itu pertanyaan pertama yang kau luncurkan.
“Iya. Kamu?”
Bibirmu melebar
pelan. Aku bersila di sampingmu, separuh dari yang orang-orang sebut dengan
ketenangan telah kugenggam. Adakah arus magnet pada tubuhmu yang menjadi
kutub-kutub, sedang setumpuk keresahan adalah bijih besinya. Seolah tiba-tiba
saja semuanya hilang, entah menempel atau tertelah cakramu. Aku diam, kau juga.
Hanya ada suara burung-burung yang kembali ke sarang. Pertemuan ini belum
dimulai, menunggu matahari benar-benar pergi bersama mata kita yang menerawang
mengantarkannya.
---
--- --- --- ---
Tanda bahwa
pertemuan ini dimulai adalah saat kau mengambil jaket dari ranselmu. Jaket
berwarna pink yang entah milik siapa,
tapi selalu kau bawakan untukku.
“Trimakasih,”
kataku. Lalu kau membantuku mengenakannya seperti seorang ayah sedang membantu
putri kecilnya. Selembar jaket akan memberiku kehangatan, tapi aku butuh lebih
dari itu. Maka tolong susupkan jemarimu diantara milikku dan aku akan mulai
berkicau menceritakan hidupku sembilan puluh hari yang telah berlalu.
“I am ready, now.”
Kau tersenyum
mendengarnya, merapatkanku pada rangkulanmu. Dan seperti malam-malam lain
setiap kita bertemu aku akan bercerita tentang segala hal. Dimulai dengan
hal-hal konyol yang kualami, yang saat menceritakannya aku akan tertawa sampai
mataku berair.
“Kamu tahu,
pagi terkonyol itu seminggu yang lalu. Bangun tidur seperti biasa malas-malasan
ke kamar mandi, nyawa belum terkumpul seratus persen. Aku ambil face wash, cuci muka. Mungkin karena
terbiasa di kamar mandiku ya, face wash
di sebelah kanan keran wastafel. Bentuknya gel, warna biru. Aku pakai cuci muka
seperti biasa.”
“Salah pakai face wash?”
“Bener banget. Dan kamu tahu apa yang aku
pakai? Sumpah itu bodoh. Gel rambut, bayangkan!”
“Gel rambut?”
“Iya, gel untuk
rambut-rambut biar spiky. Yang lebih
bodoh lagi adalah.. pikirku, kenapa face
wash-nya nggak berbusa, aku ambil lagi, lebih banyak.”
“Kamu pakai
lagi?”
Kau tertawa
sambil mengusap rambutku. “Dasar konyol. Memang baunya sama ya?”
“Waktu itu aku
sedang flu.”
Kusibakkan poni
yang menutupi dahiku. “Ini hasilnya.” Tawamu semakin kencang melihat jerawat
berdesakan di dahi. Aku pura-pura merajuk cemberut seperti abege. Kau berhenti
tertawa dan mengembalikan sibakan rambutku pada tempatnya. Lalu mata dan
bibirmu berkata. “Kamu tetap menarik.”
“Iya meskipun
jerawatan ya.”
“Jerawat bisa
diobati.”
“Tapi kan...,”
rajukku lagi dan kau meyakinkanku, “Jerawat bisa hilang, bisa datang. Wajahmu
bisa berubah kapan saja.”
“Lalu?”
“Cantik itu
kata sifat. Berati cantik itu relatif.”
“Aku relatif
apa?” pertanyaan ababil.
“Kamu menarik,
itu lebih dari cantik.”
Berarti tidak
cantik, aku menunduk.
“Sekali lagi,
cantik itu relatif, kepribadian itu mutlak.” Kau angkat wajahku, “Dan kamu
relatif cantik, juga sangat menarik. Percayalah!”
Aku tersipu,
melayang. Ini bukan kebodohan. Aku menggilai caramu meyakinkan bahwa aku
cantik. Terima kasih.
“Sejak kapan
kamu memakai gel rambut?”
Aku terkesiap,
tidak menyangka akan ditanyai hal itu. Salah topik, salah cerita. “Itu... gel
rambut Daniel,” jawabku sangat kaku.
“Oh...” Hanya
itu yang keluar dari mulutmu. Aku tidak dapat menemukan matamu. Adakah cemburu
di sana jika kau tahu aku bangun pagi dan mencuci muka di kamar mandi
kekasihku. Atau sebenarnya ‘oh’-mu juga karena kau tahu apa yang kulakukan
bersama Daniel malam sebelumnya.
Pertanyaan lain
darimu, memecah hening, menghilangkan ampas tentang ceritaku yang berbau
Daniel. Kau bercerita tentang hal-hal lucu dan tawa kembali pecah. Bergiliran
kita bercerita. Tentang pekerjaanku, tentang kantor barumu, tentang kucingku
yang baru dikebiri, tentang sendal gunungmu yang putus, tentang makanan yang
menurutmu wajib kucoba, tentang aplikasi yang harus ku-download, tentang film, tentang buku, apa saja yang bisa menemani
dua cangkir kopi di sebelah perapian. Sepanjang malam ini adalah milik kita.
Mataku tak bisa terpejam, entah karena harus memandang ke atas yang dijubeli
cahaya atau karena aku tak sanggup membuang sia-sia waktu bersamamu. Inilah
yang kusebut menikmati malam dengan sebaik-baiknya cara.
---
--- --- ---
Mau tak mau
harus menjadi rasional karena malam tidak akan sepanjang yang kuinginkan. Aku
menerima pergantian malam menuju pagi dengan lapang dada, karena dia yang akan
mengajarkan aku tentang kerinduan. Lalu, bibirku akan mengulang pertanyaan yang
sama seperti tiga bulan lalu. Pertanyaan sejenis juga selalu terlontar setahun
bahkan tiga tahun yang lalu saat kita pertama ditepertemukan di sini.
“Sampai kapan
kamu mau menemaniku menikmati bintang?” Dan kau juga tak pernah memberiku
jawaban. “Sampai bertemu sembilan puluh hari ke depan.” Kelopak matamu mengatup
mengakhiri malam kita. Pelukanku semakin erat, mencoba ikut terlelap.
Bagaimana
matahari menggelitik tidur singkat kita adalah satu romansa milik bukit ini.
Saat aku menggeliat dari pelukmu dan kau memberikan ciuman selamat pagi di
puncak kepalaku. Tolong, aku teradiksi
dengan ini. Tolong lakukan lagi! Hatiku selalu berteriak. Tapi kita harus
sama-sama bergerak. Kau kemasi tendamu sedang aku mengelapi cankir dengan tisu,
membungkusnya dengan plastik, lalu mengembalikannya ke dalam tas. Berkemas
tanpa berbicara, itulah yang selalu dihembuskan pagi. Usai semuanya kau akan
membimbingku turun bukit. Berdiri menunggu microbus terpagi yang lewat. Kita
naik, aku selalu duduk di dekat jendela, dan kau disampingku. Kau menggenggam
tanganku dan aku mengeratkannya. Bukankah ini sudah pagi ke sekian yang kita
lalui? Masih lekat di otakku saat malam itu aku menggigil kedinginan di warung
mi rebus tepat di seberang jalan sana. Kau tidak memandang aneh seperti
orang-orang terhadap pakaian kantor yang masih kukenakan. Aku juga akan selalu
ingat saat kau menawarkan jaketmu dan langsung kuiyakan. Obrolan hangat kita,
dihangatkan oleh selembar jaket yang kau pinjamkan. Selanjutnya kau tunjukkan
tempat terindah itu, bukit kita, untuk malam kita.
“Sudah sampai.”
Sebuah terminal
kecil tempat kita berpisah. Kita turun dari microbus. Ya, sudah sampai
penghabisan kenyamanan ini. Kau melepas tanganku, di sini kulepas juga jaket pink yang menghangatkanku semalam. Aku
harus ke barat dan kau ke timur. Aku pergi untuk pagiku yang lain, begitupun
kau. Tak butuh salam dan pelukan perpisahan, karena kita sama-sama tahu, masih
akan ada sepotong malam yang sama sembilan puluh hari lagi. Kau sibuk, aku
juga, kita punya belantara masing-masing. Dan biarkan kita saling mengenal
dalam belantara lain berupa sepotong malam yang disediakan bukit kita, malam
dan bebintang. Karena itu cukup, jangan lebih.
---
done ---
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: