Rabu, 10 Juli 2013

Membungkus Sepotong Malam

Seperti ada malam yang selalu sama untukku dan untukmu, untuk kita. Bagiku menemukan kau tersenyum di depan tenda yang telah berdiri adalah cairan infusku untuk hidup sembilan puluh hari ke depan. Kau masih menjadi manusia terbaik untuk menemaniku melihat bintang. Membalut hidupku yang tawar dan hampir beku, juga tempatku menyandarkan setumpuk kepenatan saat aku terbenam dalam dekapmu dan menceritakan segalanya.
Kau selalu datang lebih awal, mendirikan tendamu yang sebenarnya juga tak pernah kita pakai. Aku lebih suka duduk di luar dekat dengan perapian agar bisa terpuaskan dahagaku menikmati bintang. Entah, kau juga memeng menyukai ini atau hanya ingin menemaniku, peduli apa. Langit masih jingga saat aku datang, angin belum terlalu menggigit. Aku duduk dan seperti biasa akan mengeluarkan beberapa benda dari tasku, dua buah cangkir, beberapa sachet gula, bubuk kopi, dan creamer.
“Sehat?” Selalu itu pertanyaan pertama yang kau luncurkan.
“Iya. Kamu?”
Bibirmu melebar pelan. Aku bersila di sampingmu, separuh dari yang orang-orang sebut dengan ketenangan telah kugenggam. Adakah arus magnet pada tubuhmu yang menjadi kutub-kutub, sedang setumpuk keresahan adalah bijih besinya. Seolah tiba-tiba saja semuanya hilang, entah menempel atau tertelah cakramu. Aku diam, kau juga. Hanya ada suara burung-burung yang kembali ke sarang. Pertemuan ini belum dimulai, menunggu matahari benar-benar pergi bersama mata kita yang menerawang mengantarkannya.
--- --- --- --- ---
Tanda bahwa pertemuan ini dimulai adalah saat kau mengambil jaket dari ranselmu. Jaket berwarna pink yang entah milik siapa, tapi selalu kau bawakan untukku.
“Trimakasih,” kataku. Lalu kau membantuku mengenakannya seperti seorang ayah sedang membantu putri kecilnya. Selembar jaket akan memberiku kehangatan, tapi aku butuh lebih dari itu. Maka tolong susupkan jemarimu diantara milikku dan aku akan mulai berkicau menceritakan hidupku sembilan puluh hari yang telah berlalu.
“I am ready, now.”
Kau tersenyum mendengarnya, merapatkanku pada rangkulanmu. Dan seperti malam-malam lain setiap kita bertemu aku akan bercerita tentang segala hal. Dimulai dengan hal-hal konyol yang kualami, yang saat menceritakannya aku akan tertawa sampai mataku berair.
“Kamu tahu, pagi terkonyol itu seminggu yang lalu. Bangun tidur seperti biasa malas-malasan ke kamar mandi, nyawa belum terkumpul seratus persen. Aku ambil face wash, cuci muka. Mungkin karena terbiasa di kamar mandiku ya, face wash di sebelah kanan keran wastafel. Bentuknya gel, warna biru. Aku pakai cuci muka seperti biasa.”
“Salah pakai face wash?”
Bener banget. Dan kamu tahu apa yang aku pakai? Sumpah itu bodoh. Gel rambut, bayangkan!”
“Gel rambut?”
“Iya, gel untuk rambut-rambut biar spiky. Yang lebih bodoh lagi adalah.. pikirku, kenapa face wash-nya nggak berbusa, aku ambil lagi, lebih banyak.”
“Kamu pakai lagi?”
Kau tertawa sambil mengusap rambutku. “Dasar konyol. Memang baunya sama ya?”
“Waktu itu aku sedang flu.”
Kusibakkan poni yang menutupi dahiku. “Ini hasilnya.” Tawamu semakin kencang melihat jerawat berdesakan di dahi. Aku pura-pura merajuk cemberut seperti abege. Kau berhenti tertawa dan mengembalikan sibakan rambutku pada tempatnya. Lalu mata dan bibirmu berkata. “Kamu tetap menarik.”
“Iya meskipun jerawatan ya.”
“Jerawat bisa diobati.”
“Tapi kan...,” rajukku lagi dan kau meyakinkanku, “Jerawat bisa hilang, bisa datang. Wajahmu bisa berubah kapan saja.”
“Lalu?”
“Cantik itu kata sifat. Berati cantik itu relatif.”
“Aku relatif apa?” pertanyaan ababil.
“Kamu menarik, itu lebih dari cantik.”
Berarti tidak cantik, aku menunduk.
“Sekali lagi, cantik itu relatif, kepribadian itu mutlak.” Kau angkat wajahku, “Dan kamu relatif cantik, juga sangat menarik. Percayalah!”
Aku tersipu, melayang. Ini bukan kebodohan. Aku menggilai caramu meyakinkan bahwa aku cantik. Terima kasih.
“Sejak kapan kamu memakai gel rambut?”
Aku terkesiap, tidak menyangka akan ditanyai hal itu. Salah topik, salah cerita. “Itu... gel rambut Daniel,” jawabku sangat kaku.
“Oh...” Hanya itu yang keluar dari mulutmu. Aku tidak dapat menemukan matamu. Adakah cemburu di sana jika kau tahu aku bangun pagi dan mencuci muka di kamar mandi kekasihku. Atau sebenarnya ‘oh’-mu juga karena kau tahu apa yang kulakukan bersama Daniel malam sebelumnya.
Pertanyaan lain darimu, memecah hening, menghilangkan ampas tentang ceritaku yang berbau Daniel. Kau bercerita tentang hal-hal lucu dan tawa kembali pecah. Bergiliran kita bercerita. Tentang pekerjaanku, tentang kantor barumu, tentang kucingku yang baru dikebiri, tentang sendal gunungmu yang putus, tentang makanan yang menurutmu wajib kucoba, tentang aplikasi yang harus ku-download, tentang film, tentang buku, apa saja yang bisa menemani dua cangkir kopi di sebelah perapian. Sepanjang malam ini adalah milik kita. Mataku tak bisa terpejam, entah karena harus memandang ke atas yang dijubeli cahaya atau karena aku tak sanggup membuang sia-sia waktu bersamamu. Inilah yang kusebut menikmati malam dengan sebaik-baiknya cara.

--- --- --- ---

Mau tak mau harus menjadi rasional karena malam tidak akan sepanjang yang kuinginkan. Aku menerima pergantian malam menuju pagi dengan lapang dada, karena dia yang akan mengajarkan aku tentang kerinduan. Lalu, bibirku akan mengulang pertanyaan yang sama seperti tiga bulan lalu. Pertanyaan sejenis juga selalu terlontar setahun bahkan tiga tahun yang lalu saat kita pertama ditepertemukan di sini.
“Sampai kapan kamu mau menemaniku menikmati bintang?” Dan kau juga tak pernah memberiku jawaban. “Sampai bertemu sembilan puluh hari ke depan.” Kelopak matamu mengatup mengakhiri malam kita. Pelukanku semakin erat, mencoba ikut terlelap.
Bagaimana matahari menggelitik tidur singkat kita adalah satu romansa milik bukit ini. Saat aku menggeliat dari pelukmu dan kau memberikan ciuman selamat pagi di puncak kepalaku. Tolong, aku teradiksi dengan ini. Tolong lakukan lagi! Hatiku selalu berteriak. Tapi kita harus sama-sama bergerak. Kau kemasi tendamu sedang aku mengelapi cankir dengan tisu, membungkusnya dengan plastik, lalu mengembalikannya ke dalam tas. Berkemas tanpa berbicara, itulah yang selalu dihembuskan pagi. Usai semuanya kau akan membimbingku turun bukit. Berdiri menunggu microbus terpagi yang lewat. Kita naik, aku selalu duduk di dekat jendela, dan kau disampingku. Kau menggenggam tanganku dan aku mengeratkannya. Bukankah ini sudah pagi ke sekian yang kita lalui? Masih lekat di otakku saat malam itu aku menggigil kedinginan di warung mi rebus tepat di seberang jalan sana. Kau tidak memandang aneh seperti orang-orang terhadap pakaian kantor yang masih kukenakan. Aku juga akan selalu ingat saat kau menawarkan jaketmu dan langsung kuiyakan. Obrolan hangat kita, dihangatkan oleh selembar jaket yang kau pinjamkan. Selanjutnya kau tunjukkan tempat terindah itu, bukit kita, untuk malam kita.
“Sudah sampai.”
Sebuah terminal kecil tempat kita berpisah. Kita turun dari microbus. Ya, sudah sampai penghabisan kenyamanan ini. Kau melepas tanganku, di sini kulepas juga jaket pink yang menghangatkanku semalam. Aku harus ke barat dan kau ke timur. Aku pergi untuk pagiku yang lain, begitupun kau. Tak butuh salam dan pelukan perpisahan, karena kita sama-sama tahu, masih akan ada sepotong malam yang sama sembilan puluh hari lagi. Kau sibuk, aku juga, kita punya belantara masing-masing. Dan biarkan kita saling mengenal dalam belantara lain berupa sepotong malam yang disediakan bukit kita, malam dan bebintang. Karena itu cukup, jangan lebih.

--- done ---
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: