Kembali
kuteliti bayangan yang muncul di cermin. Wajahnya masih Gendis Kinanthi, bibir
tipis sedikit cokelat karena asap rokok, tulang pipi yang tirus tapi kokoh,
mata belo yang sering sinis, semuanya masih Gendis. Melirik sedikit ke arah jam
dinding, enam pagi. Sepagi ini aku pasti masih memeluk Juan dengan lelap sampai
nanti sekitar satu jam berikutnya bibir Juan membangunkanku denggan
sentuhannya.
“Morning, Ma cheire,” dia duduk di tepian
tempat tidur, sudah rapi, lengkap dengan senyum cerahnya. Duh... Darling aku
kangen!
Kuputar keran
wastafel, airnya yang dingin telah sampai dipermukaan wajah, kembali aku
termenung. Aku masih bisa merasakan dinginnya air. Aku masih waras meskipun
takdir benar-benar membuatku tak mengerti.
Tuh kan, baru dibicarakan dia
sudah muncul. Tampilan yang selalu membuatku tersenyum, apalagi t-shirt dengan
tulisan Juan cinta Gendis,
namanya berputar-putar, The Only my JUAN.
“Morning, Ma chire,” suaranya tetap
jernih. “Miss you much, Hunny. Sumpah
kangen berat nih”
Huft....
“Sayang?”
“Me too, Love.”
“Katanya bantal
di sampingku, my lips need your kiss.”
“Hahaha....
kayak ABG aja. Pakai skype mau?”
“Konyol ah!
Kasian bibir kamu dong Sayangku, harus nempel-nempel ke LCD.”
Aku diam.
“Hun?”
“Hmm..”
“Ini terlalu lama.
How long I must be crazy of you?”
“Sabar ya...”
“Gendis,nduk...”
itu suara ibuku.
“Darling, udah
dulu ya telvonnya. Sorry for everything.”
“I always apologize you, with love. Miss you.
Juan mencintaimu, Gendis Kinanthi”
“Thanks, Love. Miss you too. Gendis juga
cinta kamu, Juan Raka Pramana.”
Klik.
Tut..tut..tut
Semoga kamu
benar-benar selalu memaafkan aku, Juan.
Menghirup bau
sedap malam dan melati yang menusuk, aku berjalan ke kamar ibuku. Rumah besar
ini benar-bena sibuk, hampir semua orang memiliki bagian masing-masing untuk
dikerjakan. Belum sampai tanganku menggapai gagangnya, pintu sudah dibuka ibuku
dari dalam. “Lama sekali kamu ini,” omelnya seperti biasa. Aku berlalu
menyalami perias yang sudah menunggu.
“Sudah siap,
mbak?” tanya si ibu-ibu gemuk, wajahku hanya pasrah.
Mulailah dua
orang ini beraksi, si ibu-ibu dan satu asistennya. Dimulai dari tarik-menarik
rambutku tersayang. Uwh, sakit... sambil sesekali meringis kesakitan,
kupejamkan mataku. Ada Juan di sana, sedang menyuapkan es krim ke mulutku,
sedang merangkulku dari belakang sambil menatap ke luar apartemen kami, sedang
berteriak menyatakan cintanya di tengah konser, sedang....
“Aww, sakit!”
“Maaf, mbak.
Tahan bentar ya.”
Huduh..
penjambakan legal ini namanya. Tarik-sasak-hairspray.
Setelah penjambakan
wajahku mulai dirias, termasuk juga dilukis lootho. Waktunya tidak terlalu
lama. Jadi penasaran, what happen ya?
Ibu perias juga membantuku berganti pakaian, kebaya model kutu baru, simpel
tapi anggun. Aku berjalan ke toilet untuk berkaca. Tuhan.... untuk pertama
kalinya dalam hidupku, aku merasa terharu atas diriku sendiri. Semua yang
diimpikan ayah ibuku, kakak-kakakku, dan keinginanku sendiri yang kadang jauh
tenggelam. Air mata yang menetes begitu saja segera kuseka, sadar make up ini
tak boleh belepotan. Bring your life to
the real, Gendis!
Kupandangi
ponsel yang ada digenggaman. Tanganku gemetar saat melepas ponsel dari
chasingnya, sebenarnya ini juga tujuanku masuk toilet. Nafasku menyesak,
mengambil benda kecil ini seperti mencabut satu nyawa.
“Mbak Gendis..”
suara yang membuatku gugup. Refleks langsung
kucabut sim card, cepat saja benda kecil itu meluncur ke mulut kloset
setelah kujatuhkan. Sambil membuka pintu toilet tanganku yang lain memencet
keran untuk mengguyurnya. Hari ini aku akan memenuhi takdirku, menikah dan
hidup dalam kepastian.
Pintu kamar
terbuka.
“Gendis, cantik
banget!”
Semua mendekat
dan bergantian memberi pelukan, ibu, ayah, kakak, om, tante, sepupu, semuanya.
Sepertinya baru sekali ini aku membuat mereka sebahagia ini. Semoga ini awal
yang baik.
-ooo-ooo-ooo-
Andai tahu
rasanya harus berjalan ke masjid tempat akad seperti ini, aku pasti minta akad
di rumah saja. Tubuhku ringan seperti terbang, kaki seperti tidak berpijak. Uwh... aku datang, Mas! Masjidnya sudah
kelihatan.
“Jangan
lama-lama ya, Ma cheire. You always
take my breath away, all of yours, Sayangku.” Lalu pelukan erat Juan, lalu
ciuman panjangnya, lalu tubuhnya, lalu...
Aku sudah
sampai di anak tangga masjid. Calon suamiku menjemput di anak tangga ke tiga,
membimbingku masuk masih dengan senyum teduhnya yang seakan menjungkir balikkan
kehidupanku. Kembali air mataku jatuh,
kali ini tak bisa lagi ditahan. Membayangkan semua hal yang sudah berlalu.
Tentang Juan yang amat kucintai. Perkenalanku dengannya melalui teman kuliah
yang juga sepupunya. Satu tahun berpacaran jarak jauh, aku di sini sementara
dia juga menyelesaikan kuliah di Melbern. Kami lulus di tahun yang sama, dibanding
aku, dengan ijazah luar negeri dan link dari keluarganya Juan kebih mudah
menemukan pekerjaan. Setelah sempat nganggur sekitar tiga bulan akhirnya aku
diterima bekerja di satu perusahaan asing di kota A, aku harus merantau. Entah
bagaimana caranya tiba-tiba Juan juga bekerja di kota yang sama, inilah jalan
yang kami tapaki bersama. Jauh dari rumah, apalagi, keputusan yang ujungnya tak
terpikirkan terutama olehku, hidup bersama. Sepertinya hidupku dan Juan terlalu
indah untuk diketahui, tanpa terikat, tak ada orang lain yang mengetahui
termasuk keluarga.
Tiga tahun itu,
seolah semua mengalir lancar. Senin
sampai Jumat kami sama-sama bekerja, berangkat pagi-pulang sore, malamnya
menghabiskan waktu berdua. Saat weekend seperti kebanyakan pasangan lain,
jalan-jalan, nonton, dugem, atau belanja. Entah apa, tapi rasanya cara
mencintai Juan itu berbeda, simpel tapi romantis. Saat aku punya masalah dia
biarkan aku sendiri, dia hanya diam melihatku menghabiskan rokok menthol
berbatang-batang. Jika aku sudah bisa menguasai diriku sendiri dia baru datang
memberikan pelukan terhangatnya. Membiarkan aku menangis dibahunya sambil menceritakan
semuanya. Dia menjadi pendengar yang baik sambil terus mengelus rambutku. Setelah
tangisku reda, dia baru bicara memberikan prespektifnya. Hal-hal seperti itu
membuatku merasa beruntung memilikinya. Dia paham betul kapan saat harus be my
boy and be my man. My boy? Kesannya kekanak-kanakan, tapi tak pernah
membosankan. Kami sering kejar-kejaran di dalam apartemen hanya rebutan cup
cake, atau kesenanganku digendong di punggungnya. Juan...momen-momen indah itu.
Hingga aku
tiba-tiba disadarkan Tuhan melalui tetangga apartemen. Sebut saja namanya Dira,
dia menjalani kehidupan yang sejenis denganku dan Juan, bedanya suaminya seorang
WNA berkebangsaan Italy. Mereka hidup bersama hampir empat tahun. Menurut
cerita Dira permasalahan bermula dari
hal kecil saja, tapi tiba-tiba membesar dan tak terkendali. Dua bulan
setelah itu si suami kembali ke negara asalnya karena masa kerja di Indonesia
telah habis. Tanpa sepengetahuan Dira si suami pergi begitu saja, apesnya Dira
baru tahu pula bahwa dia tengah mengandung buah cinta mereka. Dengan cepat
kehidupannya ini berbalik seratus delapan puluh derajat, dia ditolak
mentah-mentah oleh keluarganya, gajinya
sebagai seorang receptionist mengharuskan dia menerima apertemen mewah selama
empat tahun berganti dengan kontrakan sempit. Dira menceritakan semuanya saat
menawarkan beberapa properti bekas apartemennya.
Cerita Dira
makin menguatkan tekatku minta dinikahi Juan, bisa saja aku dicampakkan seperti
nasib Dira. Sebelum-sebelumnya aku juga selalu berusa membicarakan pernikahan
tapi obrolan kami tak pernah sampai pada satu keputusan.
“When you will
marry me my Juan?” tanyaku satu waktu.
Dia menatapku
dengan penuh keheranan. “Apa yang kamu cari dari sekedar kata-kata itu? Kamu
kurang bahagia sekarang?”
“Aku bahagia,
sangat. Karena itu..” lansung dipotong kata-kata itu, “Karena itu apa lagi yang
perlu dipermasalahkan, Ma cheire? Ikatan itu selalu memunculakan masalah!”
“Tapi ikatan
membawa kepastian, sesuatu yang tidak kamu berikan selama ini. I love you much. But scaring about future and
destine it’s never wrong even.”
Semuanya
membuatku lelah. Juan, apa susahnya sih?
“Andri Ardian
bin Raharja, aku nikahkan engkau dengan putriku Gendis Kianthi binti Suryana
Hadi dengan maskawin seperangkat alat sholat dan logam mulia seberat dua puluh
tiga gram dibayar tunai.”
“Saya terima
nikahnya Gendis Kinanthi binti Suryana Hadi dengan maskawin tersebut, tunai.”
Blapz .....
semua gelap
Aku
sedang duduk di pojok sebuah cafe, diam melamun. Baru bertengkar dengan Juan
dan terus memikirkan cerita Dira. “Keluarga saya bahkan mengutuk perbuatan
saya. Saya seolah baru sadar dimana saya tinggal, Indonesia bukan LN, apalagi
orang tua saya yang pemikirannya masih kolot,” kata-katanya seperti
berterbangan disekeliling telinga.
“Kinan?”
seseorang menyapaku. Merasa terusik seperti biasa tampang jutek yang
kusuguhkan.
“Sampai
kapan sih kamu punya tampang jutek seperti itu? Aku saja bosen ngelihatnya.”
Laki-laki itu tersenyum.
Lama-kelamaan
semuanya kabur, perlahan berganti.
Aku
bersandar di jok depan sebuah mobil.
“Kamu
ingat, kelas satu SMA nembak kamu di belakang sekolah?” Aku tersenyum dan
mengangguk.
“Lucu
ya,” dia mengambil sesuatu dari dashboad. “Sekarang aku lakuin lagi.” Sebuah
kotak kecil berwarna cokelat pelitur dibuka perlahan. Dia menatapku dengan amat
serius. “Will you marry me?”
Blapz...
aku berada di tempat berbeda.
Duduk
di ruang kelurga, di depanku ayah dan ibu.
“Dua
puluh sembilan tahun, nduk! Mau nunggu sampai kapan lagi? Kakak-kakakmu menikah
umur dua tiga, kamu kapan?”
Ibu
ikut menyambung, “Jangan kamu terfokus sama karier sampai melupakan lainnya.
Kariermu itu sudah kebih dari cukup, kurang apa lagi?”
Hilang...
“Kinan,
kita sudah bukan ABG tujuh belas tahun lagi. Cinta tidak akan pernah berarti
apapun tanpa komitmen dan keseriusan. Kaseriusanku ... menikahimu.”
Tiba-tiba
berganti dengan wajah Juan.
“Kamu
berubah, Ma cheire. Jalan pikiranmu mulai primitif.”
“Apa
maksut kamu primitif? Keinginan menikah itu primitif?”
Dia
diam
“Be
a man please, Darling!”
“Masih
banyak jalan lain to show how far I become your man. Apa cuma cara itu, Ma
cheire? Tidak..”
“Buat
aku, iya. A man naver scare with a small think, comitment.”
“Huft...
Ma cheire, jalan pikiran kita...”
“Mulai
nggak searah lagi? Kamu mau ngomong gitu?”
“But,
I do love you. I swear.”
Tiba-tiba
aku berada di tengah-tangah ayah ibuku lagi, dan ada laki-laki itu lagi. Ya,
ada Andri.
“Bapak
Suryana, perkenalkan saya Andri teman dekat putri bapak. Saya mencintai Gendis,
sangat. Dan saya pertanggung jawabkan rasa cinta itu dengan melamar Gendis
untuk saya peristri.”
Tiba-tiba
terdengar suara-suara bersautan.
“I
do love you.”
“Melamar
Gendis untuk saya peristri.”
“Jalan
pikiran kamu mulai primitif.”
“Komitmen
dan keseriusan.”
“Ikatan
itu selalu membawa masalah.”
Suara
Juan dan Ardian bergantian menggaung berulang-ulang, bersaut-sautan. Ingin
berteriak, tapi ada sesuatu menyekatnya di tenggorokan. Terasa kepalaku begitu
penuh, berat, sakit sekali. Aku seperti dikepung suara yang makin keras dengan
kata-kata yang masih sama. Nafasku tersengal-sengal. Semua gelap, aku takut.
“Kinan,
sayang. Kinan, bangun, sayang.”
Sayup-sayap
muncul suara bersama seberkas cahaya. Kehangatan mengalir perlahan setelah
kurasakan ada jari-jari yang menggenggam tanganku. Cahayanya mulai menyebar.
“Sayang.. bangun..” kepalaku masih berdenyut, tapi ada udara halus yang seakan
meniup wajahku. Mataku terbuka.
“Kinan..”
Senyum Andri yang tampak begitu lega meski gurat kecemasan masih amat
kelihatan.
“Mas,”
suaraku timbul tenggelam.
Dia
mencium keningku. “Iya, sayang, aku di sini.”
Aku
berusaha duduk, “I do love you,” bisikku sambil menghambur ke peluknya.
Didekapnya tubuhku erat, tangannya membelai rambutku. Di peluknya aku menangis
sejadi-jadinya. Benarkah dia kodohku? Aku tidak mengerti jodoh itu siapa.
Apakah orang yang menikahi kita itu sudah pasti jodoh kita? Apakah jodoh itu
berarti komitmen dan kepastian pernikahan?
-ooo-ooo-ooo-
Perempuan
manapun ingin mendapatkan laki-laki impiannya.
Perempuan
manapun menginginkan kepastian.
-done-
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: