Rabu, 10 Juli 2013

Jodoh untuk Gendis

Kembali kuteliti bayangan yang muncul di cermin. Wajahnya masih Gendis Kinanthi, bibir tipis sedikit cokelat karena asap rokok, tulang pipi yang tirus tapi kokoh, mata belo yang sering sinis, semuanya masih Gendis. Melirik sedikit ke arah jam dinding, enam pagi. Sepagi ini aku pasti masih memeluk Juan dengan lelap sampai nanti sekitar satu jam berikutnya bibir Juan membangunkanku denggan sentuhannya.
“Morning, Ma cheire,” dia duduk di tepian tempat tidur, sudah rapi, lengkap dengan senyum cerahnya. Duh... Darling aku kangen!
Kuputar keran wastafel, airnya yang dingin telah sampai dipermukaan wajah, kembali aku termenung. Aku masih bisa merasakan dinginnya air. Aku masih waras meskipun takdir benar-benar membuatku tak mengerti.
Tuh kan, baru dibicarakan dia sudah muncul. Tampilan yang selalu membuatku tersenyum, apalagi t-shirt dengan tulisan Juan cinta Gendis, namanya berputar-putar, The Only my JUAN.
“Morning, Ma chire,” suaranya tetap jernih. “Miss you much, Hunny. Sumpah kangen berat nih”
Huft....
“Sayang?”
Me too, Love.”
“Katanya bantal di sampingku, my lips need your kiss.”
“Hahaha.... kayak ABG aja. Pakai skype mau?”
“Konyol ah! Kasian bibir kamu dong Sayangku, harus nempel-nempel  ke LCD.”
Aku diam.
“Hun?”
“Hmm..”
“Ini terlalu lama. How long I must be crazy of you?”
“Sabar ya...”

“Gendis,nduk...” itu suara ibuku.

“Darling, udah dulu ya telvonnya. Sorry for everything.”
I always apologize you, with love. Miss you. Juan mencintaimu, Gendis Kinanthi”
Thanks, Love. Miss you too. Gendis juga cinta kamu, Juan Raka Pramana.”

Klik. Tut..tut..tut
Semoga kamu benar-benar selalu memaafkan aku, Juan.

Menghirup bau sedap malam dan melati yang menusuk, aku berjalan ke kamar ibuku. Rumah besar ini benar-bena sibuk, hampir semua orang memiliki bagian masing-masing untuk dikerjakan. Belum sampai tanganku menggapai gagangnya, pintu sudah dibuka ibuku dari dalam. “Lama sekali kamu ini,” omelnya seperti biasa. Aku berlalu menyalami perias yang sudah menunggu.
“Sudah siap, mbak?” tanya si ibu-ibu gemuk, wajahku hanya pasrah.
Mulailah dua orang ini beraksi, si ibu-ibu dan satu asistennya. Dimulai dari tarik-menarik rambutku tersayang. Uwh, sakit... sambil sesekali meringis kesakitan, kupejamkan mataku. Ada Juan di sana, sedang menyuapkan es krim ke mulutku, sedang merangkulku dari belakang sambil menatap ke luar apartemen kami, sedang berteriak menyatakan cintanya di tengah konser, sedang....
“Aww, sakit!”
“Maaf, mbak. Tahan bentar ya.”
Huduh.. penjambakan legal ini namanya. Tarik-sasak-hairspray.
Setelah penjambakan wajahku mulai dirias, termasuk juga dilukis lootho. Waktunya tidak terlalu lama. Jadi penasaran, what happen ya? Ibu perias juga membantuku berganti pakaian, kebaya model kutu baru, simpel tapi anggun. Aku berjalan ke toilet untuk berkaca. Tuhan.... untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa terharu atas diriku sendiri. Semua yang diimpikan ayah ibuku, kakak-kakakku, dan keinginanku sendiri yang kadang jauh tenggelam. Air mata yang menetes begitu saja segera kuseka, sadar make up ini tak boleh belepotan. Bring your life to the real, Gendis!
Kupandangi ponsel yang ada digenggaman. Tanganku gemetar saat melepas ponsel dari chasingnya, sebenarnya ini juga tujuanku masuk toilet. Nafasku menyesak, mengambil benda kecil ini seperti mencabut satu nyawa.
“Mbak Gendis..” suara yang membuatku gugup. Refleks langsung  kucabut sim card, cepat saja benda kecil itu meluncur ke mulut kloset setelah kujatuhkan. Sambil membuka pintu toilet tanganku yang lain memencet keran untuk mengguyurnya. Hari ini aku akan memenuhi takdirku, menikah dan hidup dalam kepastian.
Pintu kamar terbuka.
“Gendis, cantik banget!”
Semua mendekat dan bergantian memberi pelukan, ibu, ayah, kakak, om, tante, sepupu, semuanya. Sepertinya baru sekali ini aku membuat mereka sebahagia ini. Semoga ini awal yang baik.

-ooo-ooo-ooo-

Andai tahu rasanya harus berjalan ke masjid tempat akad seperti ini, aku pasti minta akad di rumah saja. Tubuhku ringan seperti terbang, kaki seperti tidak berpijak. Uwh... aku datang, Mas! Masjidnya sudah kelihatan.

“Jangan lama-lama ya, Ma cheire. You always take my breath away, all of yours, Sayangku.” Lalu pelukan erat Juan, lalu ciuman panjangnya, lalu tubuhnya, lalu...

Aku sudah sampai di anak tangga masjid. Calon suamiku menjemput di anak tangga ke tiga, membimbingku masuk masih dengan senyum teduhnya yang seakan menjungkir balikkan kehidupanku. Kembali  air mataku jatuh, kali ini tak bisa lagi ditahan. Membayangkan semua hal yang sudah berlalu. Tentang Juan yang amat kucintai. Perkenalanku dengannya melalui teman kuliah yang juga sepupunya. Satu tahun berpacaran jarak jauh, aku di sini sementara dia juga menyelesaikan kuliah di Melbern. Kami lulus di tahun yang sama, dibanding aku, dengan ijazah luar negeri dan link dari keluarganya Juan kebih mudah menemukan pekerjaan. Setelah sempat nganggur sekitar tiga bulan akhirnya aku diterima bekerja di satu perusahaan asing di kota A, aku harus merantau. Entah bagaimana caranya tiba-tiba Juan juga bekerja di kota yang sama, inilah jalan yang kami tapaki bersama. Jauh dari rumah, apalagi, keputusan yang ujungnya tak terpikirkan terutama olehku, hidup bersama. Sepertinya hidupku dan Juan terlalu indah untuk diketahui, tanpa terikat, tak ada orang lain yang mengetahui termasuk keluarga.
Tiga tahun itu, seolah  semua mengalir lancar. Senin sampai Jumat kami sama-sama bekerja, berangkat pagi-pulang sore, malamnya menghabiskan waktu berdua. Saat weekend seperti kebanyakan pasangan lain, jalan-jalan, nonton, dugem, atau belanja. Entah apa, tapi rasanya cara mencintai Juan itu berbeda, simpel tapi romantis. Saat aku punya masalah dia biarkan aku sendiri, dia hanya diam melihatku menghabiskan rokok menthol berbatang-batang. Jika aku sudah bisa menguasai diriku sendiri dia baru datang memberikan pelukan terhangatnya. Membiarkan aku menangis dibahunya sambil menceritakan semuanya. Dia menjadi pendengar yang baik sambil terus mengelus rambutku. Setelah tangisku reda, dia baru bicara memberikan prespektifnya. Hal-hal seperti itu membuatku merasa beruntung memilikinya. Dia paham betul kapan saat harus be my boy and be my man. My boy? Kesannya kekanak-kanakan, tapi tak pernah membosankan. Kami sering kejar-kejaran di dalam apartemen hanya rebutan cup cake, atau kesenanganku digendong di punggungnya. Juan...momen-momen indah itu.
Hingga aku tiba-tiba disadarkan Tuhan melalui tetangga apartemen. Sebut saja namanya Dira, dia menjalani kehidupan yang sejenis denganku dan Juan, bedanya suaminya seorang WNA berkebangsaan Italy. Mereka hidup bersama hampir empat tahun. Menurut cerita Dira permasalahan bermula dari  hal kecil saja, tapi tiba-tiba membesar dan tak terkendali. Dua bulan setelah itu si suami kembali ke negara asalnya karena masa kerja di Indonesia telah habis. Tanpa sepengetahuan Dira si suami pergi begitu saja, apesnya Dira baru tahu pula bahwa dia tengah mengandung buah cinta mereka. Dengan cepat kehidupannya ini berbalik seratus delapan puluh derajat, dia ditolak mentah-mentah oleh keluarganya,  gajinya sebagai seorang receptionist mengharuskan dia menerima apertemen mewah selama empat tahun berganti dengan kontrakan sempit. Dira menceritakan semuanya saat menawarkan beberapa properti bekas apartemennya.
Cerita Dira makin menguatkan tekatku minta dinikahi Juan, bisa saja aku dicampakkan seperti nasib Dira. Sebelum-sebelumnya aku juga selalu berusa membicarakan pernikahan tapi obrolan kami tak pernah sampai pada satu keputusan.
“When you will marry me my Juan?” tanyaku satu waktu.
Dia menatapku dengan penuh keheranan. “Apa yang kamu cari dari sekedar kata-kata itu? Kamu kurang bahagia sekarang?”
“Aku bahagia, sangat. Karena itu..” lansung dipotong kata-kata itu, “Karena itu apa lagi yang perlu dipermasalahkan, Ma cheire? Ikatan itu selalu memunculakan masalah!”
“Tapi ikatan membawa kepastian, sesuatu yang tidak kamu berikan selama ini.  I love you much. But scaring about future and destine it’s never wrong even.”
Semuanya membuatku lelah. Juan, apa susahnya sih?

“Andri Ardian bin Raharja, aku nikahkan engkau dengan putriku Gendis Kianthi binti Suryana Hadi dengan maskawin seperangkat alat sholat dan logam mulia seberat dua puluh tiga gram dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Gendis Kinanthi binti Suryana Hadi dengan maskawin tersebut, tunai.”

Blapz ..... semua gelap

Aku sedang duduk di pojok sebuah cafe, diam melamun. Baru bertengkar dengan Juan dan terus memikirkan cerita Dira. “Keluarga saya bahkan mengutuk perbuatan saya. Saya seolah baru sadar dimana saya tinggal, Indonesia bukan LN, apalagi orang tua saya yang pemikirannya masih kolot,” kata-katanya seperti berterbangan disekeliling telinga.
“Kinan?” seseorang menyapaku. Merasa terusik seperti biasa tampang jutek yang kusuguhkan.
“Sampai kapan sih kamu punya tampang jutek seperti itu? Aku saja bosen ngelihatnya.” Laki-laki itu tersenyum.

Lama-kelamaan semuanya kabur, perlahan berganti.

Aku bersandar di jok depan sebuah mobil.
“Kamu ingat, kelas satu SMA nembak kamu di belakang sekolah?” Aku tersenyum dan mengangguk.
“Lucu ya,” dia mengambil sesuatu dari dashboad. “Sekarang aku lakuin lagi.” Sebuah kotak kecil berwarna cokelat pelitur dibuka perlahan. Dia menatapku dengan amat serius. “Will you marry me?”

Blapz... aku berada di tempat berbeda.

Duduk di ruang kelurga, di depanku ayah dan ibu.
“Dua puluh sembilan tahun, nduk! Mau nunggu sampai kapan lagi? Kakak-kakakmu menikah umur dua tiga, kamu kapan?”
Ibu ikut menyambung, “Jangan kamu terfokus sama karier sampai melupakan lainnya. Kariermu itu sudah kebih dari cukup, kurang apa lagi?”

Hilang...

“Kinan, kita sudah bukan ABG tujuh belas tahun lagi. Cinta tidak akan pernah berarti apapun tanpa komitmen dan keseriusan. Kaseriusanku ... menikahimu.”

Tiba-tiba berganti dengan wajah Juan.

“Kamu berubah, Ma cheire. Jalan pikiranmu mulai primitif.”
“Apa maksut kamu primitif? Keinginan menikah itu primitif?”
Dia diam
“Be a man please, Darling!”
“Masih banyak jalan lain to show how far I become your man. Apa cuma cara itu, Ma cheire? Tidak..”
“Buat aku, iya. A man naver scare with a small think, comitment.”
“Huft... Ma cheire, jalan  pikiran kita...”
“Mulai nggak searah lagi? Kamu mau ngomong gitu?”
“But, I do love you. I swear.”

Tiba-tiba aku berada di tengah-tangah ayah ibuku lagi, dan ada laki-laki itu lagi. Ya, ada Andri.

“Bapak Suryana, perkenalkan saya Andri teman dekat putri bapak. Saya mencintai Gendis, sangat. Dan saya pertanggung jawabkan rasa cinta itu dengan melamar Gendis untuk saya peristri.”

Tiba-tiba terdengar suara-suara bersautan.
“I do love you.”
“Melamar Gendis untuk saya peristri.”
“Jalan pikiran kamu mulai primitif.”
“Komitmen dan keseriusan.”
“Ikatan itu selalu membawa masalah.”
Suara Juan dan Ardian bergantian menggaung berulang-ulang, bersaut-sautan. Ingin berteriak, tapi ada sesuatu menyekatnya di tenggorokan. Terasa kepalaku begitu penuh, berat, sakit sekali. Aku seperti dikepung suara yang makin keras dengan kata-kata yang masih sama. Nafasku tersengal-sengal. Semua gelap, aku takut.


“Kinan, sayang. Kinan, bangun, sayang.”
Sayup-sayap muncul suara bersama seberkas cahaya. Kehangatan mengalir perlahan setelah kurasakan ada jari-jari yang menggenggam tanganku. Cahayanya mulai menyebar. “Sayang.. bangun..” kepalaku masih berdenyut, tapi ada udara halus yang seakan meniup wajahku. Mataku terbuka.
“Kinan..” Senyum Andri yang tampak begitu lega meski gurat kecemasan masih amat kelihatan.
“Mas,” suaraku timbul tenggelam.
Dia mencium keningku. “Iya, sayang, aku di sini.”
Aku berusaha duduk, “I do love you,” bisikku sambil menghambur ke peluknya. Didekapnya tubuhku erat, tangannya membelai rambutku. Di peluknya aku menangis sejadi-jadinya. Benarkah dia kodohku? Aku tidak mengerti jodoh itu siapa. Apakah orang yang menikahi kita itu sudah pasti jodoh kita? Apakah jodoh itu berarti komitmen dan kepastian pernikahan?

-ooo-ooo-ooo-

Perempuan manapun ingin mendapatkan laki-laki impiannya.
Perempuan manapun menginginkan kepastian.


-done-







Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: