Adakah waktu yang membuatmu
menjadi begitu rindu rumah, atau sebut saja sebuah tempat dimana kamu memulai
perjalanan dan menjadikannya sebuah pulang?
Saya bisa saja sangat rindu
ibu, tapi masih sering kami pupus dengan bertelepon, tak harus pulang, tak
harus meledak rindu akan rumah. Jadi saat dimana saya rindu rumah bukan ketika
ibu bertanya kapan pulang.
Saya bisa saja rindu kamu…. Lalu
haiyaah! Gasido deng!
Beberapa hari yang lalu saya dan seorang teman menembus Pantura
Semarang-Rembang ditemani hujan. Kami bermotor hingga sesekali dengan pongahnya
beberapa mobil dan kendaraan besar menyemprot kami dengan air kubangan yang
mereka lalui. Anehnya kami tidak balik memaki-maki, malah seperti bocah
kegirangan. Dalam basah kuyub air hujan dan tambahan air kubangan yang menjijikkan
itu kami masih bisa menertawakan warna mantel orang yang gonjreng, tulisan di
bak belakang truk “Aku tanpa kowe koyok sego kucing ilang karete. Ambyar!”,
menertawakan geleng-geleng bapak-bapak usai kesemprot kubangan yang dilalui
mobil mewah, hingga gosong dan betapa belangnya kaki saya. hehehe :v
“Tambah deres ya,” teriak saya.
“Mau neduh? Nanti kamu masih naik bis, kalau neduh dulu kamu
sampai Surabaya jam berapa, ndak takut kemaleman?”
“Neduh aja, ndak papa.”
Ya, berteduh di emperan. Menunggu
hujan reda dan dipaksa langsung melihat guyuran deras hujan hingga petir-petir
cetar yang sampai setua ini saya masih sering merem setengah kaget setengah
takut karenanya. Disitulah saya akan selalu rindu rumah yang sebenarnya. Betapa
bergelung di kasur sambil menumpuk cemilan itu begitu nyaman. Atau sekadar
memandang hujan dari balik jendela itu syahdu, sedangkan tertampias hujan di
emperan toko itu membuat tambah kedinginan. Rasa aman, “Alhamdulillah sudah
sampai rumah,” sering begitu kan. Mungkin ketika perjalanan dengan mobil kita
bebes dari tampias pun menggigil kedinginan, tapi tetap saja ingin segara
sampai rumah, Layaknya rumah pemberi jaminan asuransi atas nyawamu dengan premi dan claim terbaik.
Diantara diamnya orang-orang
yang berteduh mungkin kepala mereka berisi tagihan kartu kredit, dampratan bos
kemarin pagi, tugas kuliah yang kampret banyaknya, senyum istri dan anak-anak,
kata-kata manis selingkuhan, jodoh yang ditikung teman, ah apasajalah. Tapi setidaknya
juga terselip, entah secuil mungkin, terimaksih kepada Yang Rahman. Ketika
hujan telah reda perjalanan akan dilanjutkan, akan ada tempat sebagai tujuan
untuk pulang. Pada sealakadarnya tempat yang dituju itulah kebersyukuran
bercurah. Entah petakan sempit atau yang ruang keluarganya selebar lapangan
futsal. Entah yang kamarnya ber-AC atau yang bantal gulingnya keras bau iler.
Entah yang dapurnya modern minimalis atau yang hanya punya pojokan berisi
piring gelas dan megicom. Setidaknya Yang Maha Pembagi Rizki telah memberi
kesempatan untuk pulang dan memiliki tempat berpulang. Rumahmu yang baru tiga
kali cicilan, rumah ibumu, rumah mertuamu, rumah kontrakanmu, mungkin juga
serakan tempat mana saja yang sudah kau jatuhi hati sebagai rumahmu.
Tabik,
Gadis rumahan penggerilya
kulkas waktu dini hari :D
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: