86.400
detik, sama dengan satu hari yang terlalui. Diantara ribuan detik itu, di tiap
hariku, ada beberapa kali lima detik istimewa. Lima detik yang membuat caraku
mengakhiri hari tidak dengan wajah cemberut kusut, kemeja kecut, pening oleh
omelan bos, terhempas ke kasur bahkan sebelum sempat menghapus riasan, dan
hampir semaput diterpa kebosanan yang
terbungkus rutinitas.
Kau
tahu, ini seperti ada sesuatu yang diam-diam menyelusup diantara sel-sel darah.
Sekejap terjadi gumpalan lalu pyaarr, pecah. Akan timbul letupan-letupan halus
yang secepat kilat dicerna otak. Dan terkirimlah sinyal ke bibir untuk sebuah
lengkungan sempurna di sana. Termasuk dibawa ke hati sebagai perasaan-perasaan
tanpa nama.
Usiaku
saat ini dua puluh tiga tahun lebih sedikit. Jika mau repot mengkalkulasi, aku
telah melalui lebih dari delapan ribu pagi. Kenapa pagi? Bagiku, pagi adalah
saat kau telah dibantu menyelesaikan keruwetan kemarin oleh malam. Pagi adalah
terbit, bukan hanya matahari, namun juga senyummu jika kemarin malam sempat ada
air mata. Terbitnya harapan baru akan penghidupan yang lebih baik. Jika memang
telah terhias senyum dan tawa di hari sebelumnya, maka akan ada senyum dan
tawa-tawa baru yang disisipkan Tuhan hari ini. Pagi adalah permulaan
menerbitkan.
Embun
bisa dicumbu habis oleh matahari dan asap kendaraan yang lalu lalang. Tersisa
kepadatan kota dengan orang-orang yang berjalan cepat, naik-turun angkutan
umum, atau bahkan telah mulai duduk di depan komputer memulai aktifitas.
Diantara aneka aktifitas itu coba tengok ke mari. Yang tersisa di rumah mungil
sederhana ini adalah sepasang ibu dan anak di meja makan. Aku dan putraku
Panjalu. Bocah satu tahun yang telah dengan sukses membuatku resign dari pekerjaan. Menggempur keras
kepalaku mengejar karier. Dia yang membuatku tunduk, menjalani profesi yang
membayangkannyapun aku tak pernah, a
fulltime house mom. Siapa akan menyangka Regina yang sering ikut
gembar-gembor, “Meskipun sudah menikah perempuan harus punya pekerjaan tetap.
Ngantor dan mengurus rumah tangga itu bisa diselaraskan!” Regina yang dulu
jaman kuliah sering nyeloteh, “Nggak mau ah, ibu rumah tangga mah di rumah
terus, pakai daster bau susu, berpeluh-peluh nguplek dapur, ke badan melar.”
Semua
demi Jalu. Kau tahu, bocahku tidak doyan susu formula, tidak doyan juga ASI hasil
perahan, harus yang langsung dari sumbernya. Dititipkan ke tempat penitipan
anak tangisannya sepanjang hari sampai bibir biru. Di asuh orang lain, dia
sakit-sakitan, demam berkepanjangan. Tadinya aku hanya akan memberi ASI sampai
dia umur enam bulan, tapi urung kulakukan, aku terlalu terbawa aktifitas ini.
Desir lima detik pertama yang kuceritakan tadi selalu terjadi saat aku menyusui
Jalu. Bocahku akan menatap dalam mata ibunya, saat kami saling bertatapan dia
akan berhenti sejenak melepaskan mulutnya lalu tersenyum padaku. “Mama,”
ucapnya sangat lirih. Tuhan, bukankah ini hanya sepele? Cobalah dengan anakmu
sendiri nantinya. Aku punya buncahan lima detik di hati, mungkin Tuhan akan
mengkaruniakanmu lebih. Tidak pernah ada sesal menjadi perempuan yang
meninggalkan karier lalu mengurus putra mereka, kecuali mereka yang telah lupa
dimana hati di letakkan.
-.-.-
Rumah
kecil yang KPR-nya belum lunas ini tidak pernah membuatku merasa terkungkung.
Dulu aku sering membayangkan ketika telah menikah akan tinggal di rumah dengan
halaman luas penuh pohon buah, bergaya Jawa klasik. Terkesan teduh dan lumayan antimainstream untuk pasangan muda.
Namun, ketika melihat Jalu bisa bermain kuda-kudaan dengan Papanya di depan TV
dengan gembira, halaman sempit bukan lagi masalah. “Sayang, kita rumahnya nggak
punya halaman, minimalis lagi, nggak papa ya? Semoga nanti ada rejeki biar bisa
bangun rumah impianmu,” hatiku mencelos mendengar Banyu berkata seperti itu.
Lelakiku, aku akan menjadi perempuan paling kufur jika masih menggerutu dengan
rumah sekeren ini. Sementara di luar sana masih banyak perempuan yang harus
berbagi rumah dengan mertua, masih epet-epetan
di kontrakan, masih menumpang di tempat saudara. Lebih dari cukup, rumah
ini dihiasi kehangatan aku, kamu, dan Jalu.
“Kling..”
Sebuah
pesan masuk ke ponselku.
Ibu Regina cantik, trimakasih ya bekal
makan siangnya. Bandeng gorengnya gurih banget, sambelnya juga enaaak banget. I
Love you :*
Lima
detik kedua yang memburaikan perasaan tanpa nama. Sebenarnya hanya bandeng
presto dan sambal terasi yang biasa saja. Aku yakin, rasanya juga tidak pernah
lebih enak dari makanan yang sama di restoran dekat tempat kerjanya. Tapi
begitulah lelakiku, dia punya cara terus menjaga lima detik itu, yang membuatku
merasa sebagai perempuan paling bahagia.
Memasak
itu menyeramkan, kataku dulu. Asli, kebutaanku akan dapur telah sampai stadium
lanjut. Aku hanya tahu air mendidih, tidak yang lain. “Sayang, nanti katering
aja ya.” Sebenarnya Banyu tidak keberatan kalau berlangganan katering. Aku juga
yakin masakan katering rasanya lebih terjamin. Tapi entah apa yang nyangkut di
otakku, tetiba melihat dapur berantakan itu pantes.
Aku sering menelepon ibuku dan ibu mertua, jarak luar provinsi dengan mereka
didekatkan oleh resep masakan. Seharusnya bisa dengan praktis membuka ponsel
lalu berselancar di internet. Mau resep model gimanapun juga ada. Mungkin ini
yang tidak ditemukan di google dan sering membuatku kangen, “Masih nggak pernah
pakai vetsin kan, Rey?”
“Mboten,
Bu. Tidak pernah pakai vetsin.”
“Bagus.
Matur nuwun yo nduk, njaga anakku kanthi telaten.”
“Kewajiban,
Bu.”
“Sing
sabar yo nduk, Panjalu dan Banyu itu titipan kesabaran saking Gusti.”
Desir
lima detik ketiga, suara hampir terisak ibu mertua. Aku dicintai perempuan
pertama yang mengajarkan cinta kepada Banyu. Mertuaku teramat bawel,
kadang-kadang nyiyir mengenai kebersihan dan kesehatan, bukankah itu juga
terjadi pada hampir semua perempuan yang anaknya telah dipercayakan kepada
perempuan lain? Caranya mengasihiku
adalah dengan sering menelepon dan curhat. Aku bukan lagi sebagai orang asing
di kehidupannya. Rumah tangga ibu dan keluarga Banyu adalah tempatku belajar,
pun demikian dengan ibu dan bapakku sendiri. Letupan kebagiaan terjadi saat
mendengar suara renyah mereka, bergantian berbincang denganku, Banyu, dan Jalu
yang masih menguasai beberapa potong kata saja.
-.-.-
Dua
buah kepala isinya pasti dua buah pemikiran pula. Berbeda, berselisih, salah
paham, sering sekali. Pernikahan bukan pacaran yang bisa sehari putus besok
nyambung lagi, ngambek lalu mematikan ponsel dan tidak mau bertemu. Bagaimana
bisa mudah kalau saat pertama membuka mata hingga nanti berangkat tidur lagi
ada orang yang terus bersamamu. Manusia ini hidup dan punya cara memandang
sesuatu dengan prespektifnya sendiri. Tidak hanya itu, menyelaraskan dua kepala
dalam hal-hal prinsip seperti mendidik anak dan mengatur keuangan, hingga hal
sepele seperti membiasakan diri menghilangkan becandaan kasar atau Banyu yang
harus pergi keluar rumah jika ingin merokok, ribet? Ruwet?
Kuncinya
kembali lagi pada diri sendiri. rumah tangga bukan pacaran yang penuh drama.
Pendewasaan yang realistis namun romantis. Ketika sebagian anak muda di awal
dua puluhan memilih mematangkan pola pikir mereka, berdamai dengan ego dan
mencari banyak pengalaman untuk pendewasaan. Banyu, aku, dan pasangan-pasangan
muda lain dengan berani membangun tantangan sendiri. semuanya tidak pernah
mudah, bayangkan, masih banyak teman-teman dan hingar-bingar dunia yang teramat
indah dijalani, tanpa komitmen yang mengikat banyak sekali konsekuensi dan kewajiban.
Semenyeramkan itu? Makannya, cukupkanlah caramu membayangkan, tidakkah sudah
terlalu banyak hal yang jauh lebih simple ketika telah dijalani daripada dalam
bayanganmu?
Siapa
bilang mudah, tidak pernah mudah, namun kita bisa mempermudah. Letupan lima
detik itu juga selalu terjadi ketika perselisihan kami di akhirkan oleh Tuhan.
Sederhana saja, ketika salah satu waktu ibadah tiba, ada dua lembar sajadah
yang tergelar, depan dan belakang. Waktu sebentar dimana kami bertemu Tuhan
bersama. Banyu dan aku bukan pemeluk agama yang amat taat. Kami hanya selalu
sama-sama belajar selalu keep in touch
dengan Tuhan. Bersimpuh dan mengurai keluh kesah kepada yang Maha Pendengar,
serta penuh terimakasih untuk kebaikan-Nya yang membuat kami berkecukupan.
Tidak berlimpah, hanya berkecukupan, cukup kebahagiaan dan kedamaian terutama.
Usai berdoa, masih dengan Jalu dipangkuan, lima detik selanjutnya yang selalu
membuatku percaya bahwa aku adalah perempuan dengan banyak sekali keberuntungan
adalah tatkala Banyu berbalik badan. Jemari kami berjabatan, kucium lalu
dibalas kecupan di keningku. Senyum romantis kami selalu terkembang bersamaan
ketika memandang Jalu. Bocah ini seolah dipenuhi energi yang tidak pernah
kering untuk menghapus leleh mama dan papanya.
-.-.-
Setiap perempuan
memang punya cara berpikir dan takdirnya sendiri-sendiri. Apakah keduanya
selalu sejalan? Bisa jadi. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul ‘Perempuan’
mengatakan “Perempuan menganggap pernikahan
sebagai stasiun terakhir dalam perjalanan hidupnya, sedangkan lelaki
memandangnya sebagai salah satu stasiun, selanjutnya dia akan melanjutkan
perjalanannya.” Ada perempuan yang
memilih menyiapkan stasiun terakhirnya ini dengan terlebih dahulu memastikan
bahwa kihidupannya sendiri telah settled.
Tidak dipungkiri, biaya pendidikan dan kesehatan memang terus menanjak.
Adalagi yang diawal dua puluhannya dihabiskan untuk merayakan hidup, meraih
mimpi-mimpi dan cita-cita. Sisanya adalah yang sepertiku. Entah, mungkin
sebagian orang yang kontra menyebut pilihanku sama dengan membunuh mimpi.
Bukankah masih banyak prestasi yang masih bisa dikejar, masih lebih besar
penghasilan yang bisa ditabung, pekerjaan menantang, tempat-tempat indah untuk
dijelajah. Pertanyaannya sederhana, jika memang sudah kau temukan pelabuhan
untuk berlabuh, mengapa harus terus berlayar? Aku telah menemukan komitmen yang
sesui dengan visi misi hidup yang pernah kususun. Melalui Banyu, aku meyakini
bahwa perjalanan memang harus dilanjutkan. Setelah berhenti di stasiun ini,
besama Banyu dan Jalu aku akan melanjutkan perjalanan. Sudah takdir, toh
perjalanan hidup punya istimewanya masing-masing.
“Bis.. mika, Allohumma… ah yaw a bismika aa
muut,” Banyu membimbing Jalu mengucapkan doa tidur.
Jalu mendekapku. Lima detik itu, berdesir lagi.
Melihat lelakiku mengelus kepala Panjalu. Senyumnya menyentuh dalam mataku.
Tanpa dia bicara aku tahu dan kubalas dalam hati, “Aku juga mencintaimu.”
Lima detik yang membuat hatiku berdesir ini,
semoga terus seperti itu. Tidak lagi menggebu-gebu memang. Tapi, selama masih
ada hal-hal sederhana yang diresapi dengan hati tanpa banyak berkeluh, aku
yakin kami akan selalu penuh akan rasa itu. Lima detik itu CINTA.
P.S : teruntuk mbak Regina dan perempuan-perempuan
yang telah berani berlabuh. Selamat merayakan hidup dengan kebahagiaan menurut
caramu. Bahagia itu sederhana dan tidak berdrama, ya kan ? J :P
Theme photo was taken by me. It doesn't have real corelation with the story.
Suka sekali dengan postingan ini. Salam kenal ya :'D
BalasHapusTrimakasih
BalasHapusSalam kenal :)