Rabu, 06 Agustus 2014

Cinta Itu Lima Detik



86.400 detik, sama dengan satu hari yang terlalui. Diantara ribuan detik itu, di tiap hariku, ada beberapa kali lima detik istimewa. Lima detik yang membuat caraku mengakhiri hari tidak dengan wajah cemberut kusut, kemeja kecut, pening oleh omelan bos, terhempas ke kasur bahkan sebelum sempat menghapus riasan, dan hampir semaput diterpa kebosanan yang terbungkus rutinitas.
Kau tahu, ini seperti ada sesuatu yang diam-diam menyelusup diantara sel-sel darah. Sekejap terjadi gumpalan lalu pyaarr, pecah. Akan timbul letupan-letupan halus yang secepat kilat dicerna otak. Dan terkirimlah sinyal ke bibir untuk sebuah lengkungan sempurna di sana. Termasuk dibawa ke hati sebagai perasaan-perasaan tanpa nama.
Usiaku saat ini dua puluh tiga tahun lebih sedikit. Jika mau repot mengkalkulasi, aku telah melalui lebih dari delapan ribu pagi. Kenapa pagi? Bagiku, pagi adalah saat kau telah dibantu menyelesaikan keruwetan kemarin oleh malam. Pagi adalah terbit, bukan hanya matahari, namun juga senyummu jika kemarin malam sempat ada air mata. Terbitnya harapan baru akan penghidupan yang lebih baik. Jika memang telah terhias senyum dan tawa di hari sebelumnya, maka akan ada senyum dan tawa-tawa baru yang disisipkan Tuhan hari ini. Pagi adalah permulaan menerbitkan.
Embun bisa dicumbu habis oleh matahari dan asap kendaraan yang lalu lalang. Tersisa kepadatan kota dengan orang-orang yang berjalan cepat, naik-turun angkutan umum, atau bahkan telah mulai duduk di depan komputer memulai aktifitas. Diantara aneka aktifitas itu coba tengok ke mari. Yang tersisa di rumah mungil sederhana ini adalah sepasang ibu dan anak di meja makan. Aku dan putraku Panjalu. Bocah satu tahun yang telah dengan sukses membuatku resign dari pekerjaan. Menggempur keras kepalaku mengejar karier. Dia yang membuatku tunduk, menjalani profesi yang membayangkannyapun aku tak pernah, a fulltime house mom. Siapa akan menyangka Regina yang sering ikut gembar-gembor, “Meskipun sudah menikah perempuan harus punya pekerjaan tetap. Ngantor dan mengurus rumah tangga itu bisa diselaraskan!” Regina yang dulu jaman kuliah sering nyeloteh, “Nggak mau ah, ibu rumah tangga mah di rumah terus, pakai daster bau susu, berpeluh-peluh nguplek dapur, ke badan melar.”
Semua demi Jalu. Kau tahu, bocahku tidak doyan susu formula, tidak doyan juga ASI hasil perahan, harus yang langsung dari sumbernya. Dititipkan ke tempat penitipan anak tangisannya sepanjang hari sampai bibir biru. Di asuh orang lain, dia sakit-sakitan, demam berkepanjangan. Tadinya aku hanya akan memberi ASI sampai dia umur enam bulan, tapi urung kulakukan, aku terlalu terbawa aktifitas ini. Desir lima detik pertama yang kuceritakan tadi selalu terjadi saat aku menyusui Jalu. Bocahku akan menatap dalam mata ibunya, saat kami saling bertatapan dia akan berhenti sejenak melepaskan mulutnya lalu tersenyum padaku. “Mama,” ucapnya sangat lirih. Tuhan, bukankah ini hanya sepele? Cobalah dengan anakmu sendiri nantinya. Aku punya buncahan lima detik di hati, mungkin Tuhan akan mengkaruniakanmu lebih. Tidak pernah ada sesal menjadi perempuan yang meninggalkan karier lalu mengurus putra mereka, kecuali mereka yang telah lupa dimana hati di letakkan.

-.-.-

Rumah kecil yang KPR-nya belum lunas ini tidak pernah membuatku merasa terkungkung. Dulu aku sering membayangkan ketika telah menikah akan tinggal di rumah dengan halaman luas penuh pohon buah, bergaya Jawa klasik. Terkesan teduh dan lumayan antimainstream untuk pasangan muda. Namun, ketika melihat Jalu bisa bermain kuda-kudaan dengan Papanya di depan TV dengan gembira, halaman sempit bukan lagi masalah. “Sayang, kita rumahnya nggak punya halaman, minimalis lagi, nggak papa ya? Semoga nanti ada rejeki biar bisa bangun rumah impianmu,” hatiku mencelos mendengar Banyu berkata seperti itu. Lelakiku, aku akan menjadi perempuan paling kufur jika masih menggerutu dengan rumah sekeren ini. Sementara di luar sana masih banyak perempuan yang harus berbagi rumah dengan mertua, masih epet-epetan di kontrakan, masih menumpang di tempat saudara. Lebih dari cukup, rumah ini dihiasi kehangatan aku, kamu, dan Jalu.
“Kling..”
Sebuah pesan masuk ke ponselku.
Ibu Regina cantik, trimakasih ya bekal makan siangnya. Bandeng gorengnya gurih banget, sambelnya juga enaaak banget. I Love you :*
Lima detik kedua yang memburaikan perasaan tanpa nama. Sebenarnya hanya bandeng presto dan sambal terasi yang biasa saja. Aku yakin, rasanya juga tidak pernah lebih enak dari makanan yang sama di restoran dekat tempat kerjanya. Tapi begitulah lelakiku, dia punya cara terus menjaga lima detik itu, yang membuatku merasa sebagai perempuan paling bahagia.
Memasak itu menyeramkan, kataku dulu. Asli, kebutaanku akan dapur telah sampai stadium lanjut. Aku hanya tahu air mendidih, tidak yang lain. “Sayang, nanti katering aja ya.” Sebenarnya Banyu tidak keberatan kalau berlangganan katering. Aku juga yakin masakan katering rasanya lebih terjamin. Tapi entah apa yang nyangkut di otakku, tetiba melihat dapur berantakan itu pantes. Aku sering menelepon ibuku dan ibu mertua, jarak luar provinsi dengan mereka didekatkan oleh resep masakan. Seharusnya bisa dengan praktis membuka ponsel lalu berselancar di internet. Mau resep model gimanapun juga ada. Mungkin ini yang tidak ditemukan di google dan sering membuatku kangen, “Masih nggak pernah pakai vetsin kan, Rey?”
“Mboten, Bu. Tidak pernah pakai vetsin.”
“Bagus. Matur nuwun yo nduk, njaga anakku kanthi telaten.”
“Kewajiban, Bu.”
“Sing sabar yo nduk, Panjalu dan Banyu itu titipan kesabaran saking Gusti.”
Desir lima detik ketiga, suara hampir terisak ibu mertua. Aku dicintai perempuan pertama yang mengajarkan cinta kepada Banyu. Mertuaku teramat bawel, kadang-kadang nyiyir mengenai kebersihan dan kesehatan, bukankah itu juga terjadi pada hampir semua perempuan yang anaknya telah dipercayakan kepada perempuan lain?  Caranya mengasihiku adalah dengan sering menelepon dan curhat. Aku bukan lagi sebagai orang asing di kehidupannya. Rumah tangga ibu dan keluarga Banyu adalah tempatku belajar, pun demikian dengan ibu dan bapakku sendiri. Letupan kebagiaan terjadi saat mendengar suara renyah mereka, bergantian berbincang denganku, Banyu, dan Jalu yang masih menguasai beberapa potong kata saja.

-.-.-

Dua buah kepala isinya pasti dua buah pemikiran pula. Berbeda, berselisih, salah paham, sering sekali. Pernikahan bukan pacaran yang bisa sehari putus besok nyambung lagi, ngambek lalu mematikan ponsel dan tidak mau bertemu. Bagaimana bisa mudah kalau saat pertama membuka mata hingga nanti berangkat tidur lagi ada orang yang terus bersamamu. Manusia ini hidup dan punya cara memandang sesuatu dengan prespektifnya sendiri. Tidak hanya itu, menyelaraskan dua kepala dalam hal-hal prinsip seperti mendidik anak dan mengatur keuangan, hingga hal sepele seperti membiasakan diri menghilangkan becandaan kasar atau Banyu yang harus pergi keluar rumah jika ingin merokok, ribet? Ruwet?
Kuncinya kembali lagi pada diri sendiri. rumah tangga bukan pacaran yang penuh drama. Pendewasaan yang realistis namun romantis. Ketika sebagian anak muda di awal dua puluhan memilih mematangkan pola pikir mereka, berdamai dengan ego dan mencari banyak pengalaman untuk pendewasaan. Banyu, aku, dan pasangan-pasangan muda lain dengan berani membangun tantangan sendiri. semuanya tidak pernah mudah, bayangkan, masih banyak teman-teman dan hingar-bingar dunia yang teramat indah dijalani, tanpa komitmen yang mengikat banyak sekali konsekuensi dan kewajiban. Semenyeramkan itu? Makannya, cukupkanlah caramu membayangkan, tidakkah sudah terlalu banyak hal yang jauh lebih simple ketika telah dijalani daripada dalam bayanganmu?
Siapa bilang mudah, tidak pernah mudah, namun kita bisa mempermudah. Letupan lima detik itu juga selalu terjadi ketika perselisihan kami di akhirkan oleh Tuhan. Sederhana saja, ketika salah satu waktu ibadah tiba, ada dua lembar sajadah yang tergelar, depan dan belakang. Waktu sebentar dimana kami bertemu Tuhan bersama. Banyu dan aku bukan pemeluk agama yang amat taat. Kami hanya selalu sama-sama belajar selalu keep in touch dengan Tuhan. Bersimpuh dan mengurai keluh kesah kepada yang Maha Pendengar, serta penuh terimakasih untuk kebaikan-Nya yang membuat kami berkecukupan. Tidak berlimpah, hanya berkecukupan, cukup kebahagiaan dan kedamaian terutama. Usai berdoa, masih dengan Jalu dipangkuan, lima detik selanjutnya yang selalu membuatku percaya bahwa aku adalah perempuan dengan banyak sekali keberuntungan adalah tatkala Banyu berbalik badan. Jemari kami berjabatan, kucium lalu dibalas kecupan di keningku. Senyum romantis kami selalu terkembang bersamaan ketika memandang Jalu. Bocah ini seolah dipenuhi energi yang tidak pernah kering untuk menghapus leleh mama dan papanya.

-.-.-

Setiap perempuan memang punya cara berpikir dan takdirnya sendiri-sendiri. Apakah keduanya selalu sejalan? Bisa jadi. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul ‘Perempuan’ mengatakan “Perempuan menganggap pernikahan sebagai stasiun terakhir dalam perjalanan hidupnya, sedangkan lelaki memandangnya sebagai salah satu stasiun, selanjutnya dia akan melanjutkan perjalanannya.” Ada perempuan yang memilih menyiapkan stasiun terakhirnya ini dengan terlebih dahulu memastikan bahwa kihidupannya sendiri telah settled. Tidak dipungkiri, biaya pendidikan dan kesehatan memang terus menanjak. Adalagi yang diawal dua puluhannya dihabiskan untuk merayakan hidup, meraih mimpi-mimpi dan cita-cita. Sisanya adalah yang sepertiku. Entah, mungkin sebagian orang yang kontra menyebut pilihanku sama dengan membunuh mimpi. Bukankah masih banyak prestasi yang masih bisa dikejar, masih lebih besar penghasilan yang bisa ditabung, pekerjaan menantang, tempat-tempat indah untuk dijelajah. Pertanyaannya sederhana, jika memang sudah kau temukan pelabuhan untuk berlabuh, mengapa harus terus berlayar? Aku telah menemukan komitmen yang sesui dengan visi misi hidup yang pernah kususun. Melalui Banyu, aku meyakini bahwa perjalanan memang harus dilanjutkan. Setelah berhenti di stasiun ini, besama Banyu dan Jalu aku akan melanjutkan perjalanan. Sudah takdir, toh perjalanan hidup punya istimewanya masing-masing.

“Bis.. mika, Allohumma… ah yaw a bismika aa muut,” Banyu membimbing Jalu mengucapkan doa tidur.
Jalu mendekapku. Lima detik itu, berdesir lagi. Melihat lelakiku mengelus kepala Panjalu. Senyumnya menyentuh dalam mataku. Tanpa dia bicara aku tahu dan kubalas dalam hati, “Aku juga mencintaimu.”

Lima detik yang membuat hatiku berdesir ini, semoga terus seperti itu. Tidak lagi menggebu-gebu memang. Tapi, selama masih ada hal-hal sederhana yang diresapi dengan hati tanpa banyak berkeluh, aku yakin kami akan selalu penuh akan rasa itu. Lima detik itu CINTA.





P.S : teruntuk mbak Regina dan perempuan-perempuan yang telah berani berlabuh. Selamat merayakan hidup dengan kebahagiaan menurut caramu. Bahagia itu sederhana dan tidak berdrama, ya kan ? J :P


Theme photo was taken by me. It doesn't have real corelation with the story.
Categories:

2 komentar:

Yours: