Senin, 19 Mei 2014

Tisu


Yang terurai dari sebujur tisu adalah tangismu. Bulir-bulir bertumpahan seolah mengeluarkan pengaduan. Kepada siapa lagi kau mengadu Cemara?  Kepada Tuhan hanya kau minta sebuah bahu. Tempatmu membenamkan luka hingga tak bersisa. Bukan lagi selembar dada seperti saat kau berasyik manja ditampari buaian mengeja nafas bersama.

“Tahan dulu, Bisma. Sayang, tahan dulu. Mana kondomnya?”

“Sudahlah, Cemara. Aku lupa. Biar, sekali ini saja. Nanti kukeluarkan di luar, Sayang.”

Kau hendak marah saat itu Cemara, tapi sekejap kemudian seolah sama seperti Bisma kau juga lupa. Apalagi yang dicari selain puncak dari saling membagi diri. Harusnya kau lari, menyudahi hasratmu dan dia. Hanya sebentar saja, lari ke apotek lalu membayar sekotak kondom. Tergesapun  tetap bisa, sayang Bisma kadung meraja lela. Kau dan dia, bercinta dan melupa, menumpahkan burai-burai tawa lain di sana. 

Sekarang kau datang padaku, tidak ada bahu, maaf aku hanya punya beberapa bujur tisu. Bukan mauku mengacuhkan, hanya saja ah sudalah. Tak kau dapati laki-laki bodoh ini menyediakan bahu, kau tekuk lututmu lalu bersandar di sana. Aku meraba-raba, mencari melalui reka-reka diantara tangismu. “Keluargamu sudah tahu?” tanyaku. Kau menjawab dengan gelengan. Aku bertanya lagi, “Bismamu kemana?” Nada isakanmu meninggi, tanganmu menarik lagi sebujur tisu. “Datangi rumahnya!” kau menggeleng. “Di tempat kerjanya?” menggeleng lagi. “Teman-temannya?”  lagi-lagi menggeleng. Cemara, aku bisa apa? Mungkin segelas air minum akan meredam sesak di dada. Aku berdiri, melangkah ke dapur dan mengambil gelas, selain isakmu bunyi gemericik  keran dispenser memecah hening. “Minumlah,” ujarku mendekatimu. Jemariku, dia refleks mengelus-elus kepalamu, padahal sudah kularang. Rambutmu kusut, kasar tidak sehalus dulu. Obat dan efek mesin pelurusnya hanya menampakkan sisa-sisa. Kemana wangi bunga ros yang begitu kental?

Kau menoleh, ada pekikan peluk aku di matamu, duh. Kusodorkan gelas, “Minumlah!”  Hingga lima detik matamu hanya mengamatinya. Dasar manja, aku menyorongkan gelasnya ke bibirmu. Berapa lama haus itu dipaksa sembunyi, kau minum terlalu semangat hingga tersedak. “Pelan-pelan,” aku menarik sebujur tisu, agak ragu mengusap basah air yang tumpah ke dadamu. Tetiba jemariku bergetar, ada amarah yang ingin tumpah membayangkan bagaimana Bisma kau ijinkan menjamahnya. Kuurungkan niat, kau ambil tisu dan mengusap bagian yang basah sekenanya. Air matamu kembali membanjir, “Bahkan mengusap dadaku saja kamu pikir-pikir, mas. Em.. aku,” gumaman itu, aku paham maksutmu. Segera kualihkan pembicaraan, “Sudah makan?” Sebuah pertanyaan basa-basi di saat kau sedang kacau seperti ini. Tadi sepulang bekerja aku sempat membeli satay padang, semoga ini masih kesukaanmu.

Ada senyum tipis di bibirmu saat sepotong lontong bercampur bumbu satay kusuapkan. “Ini sataynya pegang sendiri,” kataku, eh malah kepalamu melengos ogah-ogahan. Baiklah, tanganku masih bersedia mengurut daging dari tusukan untuk Tuan putri. “Sampai kapan mau manja terus? Sebentar lagi kamu menyuapi, masak malah minta disuapi begini.” Tanganku menyodorkan kotak tisu, lagi-lagi manja itu, kutarik sebujur, “Blepotan.” Bumbu satay padang mengotori ujung bibirmu. “Biarin,” kilahmu. “Jangan begitu dong. Masak mengelap bibir saja juga harus minta tolong orang lain.” Cemara, apa Bisma juga mau kau suruh menyuapi begini rupa, mengelap belepotan tiap kali kau makan, atau dia malah terlalu antimainstream? Iya, aku hanya mengelap bibirmu dengan sebujur tisu, dia mungkin menghapus noda di bibirmu langsung dengan bibir juga ya, argh!

Tetiba kau merebut kotak tisu dari tanganku, menarik beberapa lembar. “Kamu selalu keringetan, Mas. Nanti kalau jatuh ke makanan gimana?” kau mendekat, mengelap keningku. Nah, butuh drama sepanjang ini hingga kau menyadari aku ingin kau mengelap keringatku Cemara, kau memang aneh. “Sini, aku mau belajar menyuapi,” ujarmu lagi. Aku diam dan menurut. Telaten benar kau potong lontong dengan sendok lalu mengurut daging dari lidinya. Tangan kananmu menerbangkan sendok ke bibirku, yang kiri menggenggam tisu. Tiap usai suapan dengan halus kau seka ujung bibirku dengan tisu. “Mana kerupuknya, mas? Biasanya kamu tidak bisa makan tanpa kerupuk.” Kau masih ingat rupanya. “Tidak perlu kerupuk lagi, kalau disuapi begini makan apapun aku juga bisa,” candaku membuat semburat merah muda di pipimu. “Pacarmu tidak pernah menyuapi begini ya?” Pertanyaan macam apa itu Cemara, aku hanya menggeleng. “Pacarmu?” kutanya balik. Bodohnya, kau berhenti, meletakkan piring dan murung kembali. Buru-buru kuperbaiki, “Sudah-sudah, toh aku masih mau menyuapimu, tuan putri. Sini-sini!” aku menyuapkan sepotong besar lontong, terlalu besaar untuk bibirmu yang mungil. Belepotan bumbu sampai ke pipi, kita sama-sama menahan tawa. Melihatmu kesusahan mengunyah, ekspresi terlucu selama beberapa tahun aku bersamamu. Kau rebut piring dan balas dendam. Aih, kita seperti sejoli lagi, seperti dulu. Ini yang kau sebut tertawa tanpa formalitas, mungkin iya. Aku juga rindu menertawakan kebodohan yang kita buat sendiri. Bahagia itu sederhana, katamu dulu, sekarang aku paham, dulu aku tak bisa memberimu yang seperti ini. Jika akhirnya kau pergi dan memilih Bisma, mungkin juga karena hal-hal kecil seperti ini. Cemara, akhirnya aku bisa melihat tawa lepasmu, meski kita bukan lagi satu seperti dulu.


-selesai-


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: