Yang
terurai dari sebujur tisu adalah tangismu. Bulir-bulir bertumpahan seolah
mengeluarkan pengaduan. Kepada siapa lagi kau mengadu Cemara? Kepada Tuhan hanya kau minta sebuah bahu.
Tempatmu membenamkan luka hingga tak bersisa. Bukan lagi selembar dada seperti
saat kau berasyik manja ditampari buaian mengeja nafas bersama.
“Tahan
dulu, Bisma. Sayang, tahan dulu. Mana kondomnya?”
“Sudahlah,
Cemara. Aku lupa. Biar, sekali ini saja. Nanti kukeluarkan di luar, Sayang.”
Kau
hendak marah saat itu Cemara, tapi sekejap kemudian seolah sama seperti Bisma
kau juga lupa. Apalagi yang dicari selain puncak dari saling membagi diri.
Harusnya kau lari, menyudahi hasratmu dan dia. Hanya sebentar saja, lari ke
apotek lalu membayar sekotak kondom. Tergesapun tetap bisa, sayang Bisma kadung meraja lela. Kau dan dia,
bercinta dan melupa, menumpahkan burai-burai tawa lain di sana.
Sekarang
kau datang padaku, tidak ada bahu, maaf aku hanya punya beberapa bujur tisu. Bukan
mauku mengacuhkan, hanya saja ah sudalah. Tak kau dapati laki-laki bodoh ini
menyediakan bahu, kau tekuk lututmu lalu bersandar di sana. Aku meraba-raba,
mencari melalui reka-reka diantara tangismu. “Keluargamu sudah tahu?” tanyaku.
Kau menjawab dengan gelengan. Aku bertanya lagi, “Bismamu kemana?” Nada
isakanmu meninggi, tanganmu menarik lagi sebujur tisu. “Datangi rumahnya!” kau
menggeleng. “Di tempat kerjanya?” menggeleng lagi. “Teman-temannya?” lagi-lagi menggeleng. Cemara, aku bisa apa? Mungkin
segelas air minum akan meredam sesak di dada. Aku berdiri, melangkah ke dapur
dan mengambil gelas, selain isakmu bunyi gemericik keran dispenser memecah hening. “Minumlah,”
ujarku mendekatimu. Jemariku, dia refleks mengelus-elus kepalamu,
padahal sudah kularang. Rambutmu kusut, kasar tidak sehalus dulu. Obat dan efek
mesin pelurusnya hanya menampakkan sisa-sisa. Kemana wangi bunga ros yang
begitu kental?
Kau
menoleh, ada pekikan peluk aku di
matamu, duh. Kusodorkan gelas, “Minumlah!”
Hingga lima detik matamu hanya mengamatinya. Dasar manja, aku
menyorongkan gelasnya ke bibirmu. Berapa lama haus itu dipaksa sembunyi, kau
minum terlalu semangat hingga tersedak. “Pelan-pelan,” aku menarik sebujur
tisu, agak ragu mengusap basah air yang tumpah ke dadamu. Tetiba jemariku
bergetar, ada amarah yang ingin tumpah membayangkan bagaimana Bisma kau ijinkan
menjamahnya. Kuurungkan niat, kau ambil tisu dan mengusap bagian yang basah
sekenanya. Air matamu kembali membanjir, “Bahkan mengusap dadaku saja kamu
pikir-pikir, mas. Em.. aku,” gumaman itu, aku paham maksutmu. Segera kualihkan
pembicaraan, “Sudah makan?” Sebuah pertanyaan basa-basi di saat kau sedang kacau
seperti ini. Tadi sepulang bekerja aku sempat membeli satay padang, semoga ini
masih kesukaanmu.
Ada
senyum tipis di bibirmu saat sepotong lontong bercampur bumbu satay kusuapkan.
“Ini sataynya pegang sendiri,” kataku, eh malah kepalamu melengos ogah-ogahan.
Baiklah, tanganku masih bersedia mengurut daging dari tusukan untuk Tuan putri.
“Sampai kapan mau manja terus? Sebentar lagi kamu menyuapi, masak malah minta
disuapi begini.” Tanganku menyodorkan kotak tisu, lagi-lagi manja itu, kutarik
sebujur, “Blepotan.” Bumbu satay padang mengotori ujung bibirmu. “Biarin,”
kilahmu. “Jangan begitu dong. Masak mengelap bibir saja juga harus minta tolong
orang lain.” Cemara, apa Bisma juga mau kau suruh menyuapi begini rupa,
mengelap belepotan tiap kali kau makan, atau dia malah terlalu antimainstream? Iya, aku hanya mengelap
bibirmu dengan sebujur tisu, dia mungkin menghapus noda di bibirmu langsung
dengan bibir juga ya, argh!
Tetiba
kau merebut kotak tisu dari tanganku, menarik beberapa lembar. “Kamu selalu
keringetan, Mas. Nanti kalau jatuh ke makanan gimana?” kau mendekat, mengelap
keningku. Nah, butuh drama sepanjang ini hingga kau menyadari aku ingin kau mengelap
keringatku Cemara, kau memang aneh. “Sini, aku mau belajar menyuapi,” ujarmu
lagi. Aku diam dan menurut. Telaten benar kau potong lontong dengan sendok lalu
mengurut daging dari lidinya. Tangan kananmu menerbangkan sendok ke bibirku,
yang kiri menggenggam tisu. Tiap usai suapan dengan halus kau seka ujung
bibirku dengan tisu. “Mana kerupuknya, mas? Biasanya kamu tidak bisa makan
tanpa kerupuk.” Kau masih ingat rupanya. “Tidak perlu kerupuk lagi, kalau
disuapi begini makan apapun aku juga bisa,” candaku membuat semburat merah muda
di pipimu. “Pacarmu tidak pernah menyuapi begini ya?” Pertanyaan macam apa itu
Cemara, aku hanya menggeleng. “Pacarmu?” kutanya balik. Bodohnya, kau berhenti,
meletakkan piring dan murung kembali. Buru-buru kuperbaiki, “Sudah-sudah, toh
aku masih mau menyuapimu, tuan putri. Sini-sini!” aku menyuapkan sepotong besar
lontong, terlalu besaar untuk bibirmu yang mungil. Belepotan bumbu sampai ke
pipi, kita sama-sama menahan tawa. Melihatmu kesusahan mengunyah, ekspresi
terlucu selama beberapa tahun aku bersamamu. Kau rebut piring dan balas dendam.
Aih, kita seperti sejoli lagi, seperti dulu. Ini yang kau sebut tertawa tanpa formalitas, mungkin iya. Aku juga rindu menertawakan kebodohan yang kita buat
sendiri. Bahagia itu sederhana, katamu dulu, sekarang aku paham, dulu aku tak
bisa memberimu yang seperti ini. Jika akhirnya kau pergi dan memilih Bisma,
mungkin juga karena hal-hal kecil seperti ini. Cemara, akhirnya aku bisa
melihat tawa lepasmu, meski kita bukan lagi satu seperti dulu.
-selesai-
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: