Jumat, 16 Mei 2014

Egam, Diam, Berserakan





Apakah semua kisah yang berupa potongan-potongan itu bisa dirangkai? Semudah kau ambil benang dan bulir-bulir mutiara lalu meronce gelang untuk kado ulang tahun temanmu. Kurasa  tetap membiarkannya berserakan di hati akan lebih indah. Konsep merapikan hati yang sering diomogkan orang-orang, jujur aku tidak mengerti. Menurutku hati itu seperti sponge, nah, potongan-potongan kisah itu bertugas menyumpalnya sampai lubang-lubang itu tertutup. Bisa di pojok, bisa di tengah, bisa di mana saja posisinya. Jika sekarang kutuliskan tentang potongan–potongan itu, bukan berarti harus dirangkai dengan cantik. Biarkan tetap sepotong-potong, seperti potongan  de javu yang kental dan sesekali masih datang menjenguk.

Potongan Pertama
Kepadamu Egam Airlangga yang mengukirkan potongan-potongan itu. Apa kabar kamu? Apa kabar ranselmu? Rasanya aku belum lupa saat jemariku begitu gatal. Setiap tanda koneksi internet telah mengalir pada laptop atau ponsel, setiap log in-ku ke jejaing social berhasil, setiap melirik bahwa bulatan hijau di sebelah namamu itu menyala, ingin mengetik secepat kilat, menekan send, lalu menunggu obrolan panjang kita. Kau masih ingat obrolan berlayar-layar diantara dua manusia kurang kerjaan tiap lewat tengah malam? Mungkin kau lupa, aku juga, tapi sesekali masih iseng kubuka kotakan chatting jika aku merindukanmu tanpa sebab, masih tersimpan di sana .
Pertemuan kita, aku juga hampir lupa. Kau tentu tahu aku bukan perempuan yang pandai menyimpan kenangan. Aku ini pelupa, pelupa berat. Lalu, ternyata masih ada de javu yang dulu kusebut dia terlalu membelenggu. Yang kutahu bukan mengeja merk rokok yang kau letakkan sekenanya, atau kopi instan apa yang kau pesan malam itu, atau aku bahkan tidak ingat baju warna apa yang kau kenakan. Ya begitulah, toh pertemuan pertama kita dulu memang terlalu biasa untuk kuabadikan di buku diary. Hanya dua orang hobi kluyuran dan sama-sama mencintai sastra yang dipertemukan oleh jejaring social.
“Egam”suaramu biasa saja saat menjabat tanganku. Aku juga masih biasa saja saat balas menyebut, “Kayana.”  Sebenarnya tidak perlu sebut nama, toh kita sudah sama-sama tahu, ah tradisi. Butuh berapa detik untuk bersikap canggung seperti FTV, rasaku tidak ada, tetiba kita seperti dua orang yang sudah lama berteman di dunia nyata. Malam itu aku mengajak dua temanku, yang ini aku masih ingat, “Man, nanti kalau si mas-nya ngebosenin kalian tolong bawa aku kabur ya,” begitu perjanjian kami. Egam, aku ini bukan tipe perempuan yang hobi chatting, ketemuan, lalu jatuh cinta. Aku terlalu malas untuk meladeni hal-hal seperti itu, ah sialan belum-belum kamu telah membuat hidupku berbeda. Kalau malam itu akhirnya kita bertemu, itu karena kau bilang akan memberiku kopi ijo khas Tulung Agung. Pikirku lumayan toh aku memang ngopi setiap pagi, sedikit membantu toples bubuk kopiku untuk tetap tersenyum.
Dua orang temanku akhirnya pulang terlebih dahulu, “Duluan aja, mas. Nganter dia ke kos tanggung jawabku kok. Tenang aja nggak bakal diapa-apain,” katamu. Aku sebenarnya ingin cepat pulang, cuci muka, tidur. Tapi entah apa, obrolan ngalor-ngidul denganmu membuatku mengurungkan niat. Pertemuan kita malam itu selesai dengan kau mengantarku pulang dan memberikan seplastik kopi ijo. Tadi di warung kopi kita bertukar nomor handphone. Kita berkirim sms sebelum akhirnya aku tertidur. Egam, apa yang kau rasakan malam itu, sepertinya biasa saja ya tidak ada yang istimewa.

^
Potongan Kedua
Obrolan maya kita sudah terhenti, beralih kepada pesan-pesan singkat atau sesekali telvon. Aku bertanya-tanya, hobi benar Egam main ke kosku? “Mampir,” katamu. Kamu sering mengajakku ngopi bareng, pikirku aku suka ngopi dan teman ngopi yang paling menyenangkan adalah yang rasaku nyambung. Ya, aku terkesan pada setiap pertanyaanku yang hampir selalu kau jawab, selera musikmu yang lumayan, sastra, film, apalagi, kemampuanmu membuatku tertawa lepas tanpa jaim, itu yang paling menyenagkan. Aku bisa menjadi diriku sediri.
Kamu hobi kluyuran, aku juga, apalagi kalau tidak ngluyur bareng. Setelah beberapa kali gagal jalan bareng akhirnya pagi itu kita naik ke Gedong Sanga, daerah Kabupaten Semarang. Sebuah kompleks candi hindu dengan bonus pemandangan hijau cantik dan sesekali tiupan kabut. Di salah satu sudut kita menggelesot berbagi banyak hal. Sedikit kau ceritakan tentang keluargamu, hobimu berpuisi, juga beberapa pandanganmu tentang hidup. Aku masih ingat ini, “Kamu pernah membayangkan hidup di perkampungan yang damai? Di pelosok yang sejuk, dekat dengan gunung, tanah yang subur. Tenang, tidak dibikin pusing hingar-bingar dunia.” Dan dengan tengilnya kujawab, “Ga mau, nggak ada ATM, nggak ada Alfamart, ga ada emol. Aduh, sinyal susah, listrik terbatas, sengsara banget.” Kau menoyor kepalaku, “Dasar abege!” sebenarnya aku ingin mengatakan ini, betapa aku mencintai alam, betapa aku sering terpesona dibuatnya. Yang ada diotakku adalah aku tidak ingin jika pesona itu terkikis oleh kelaziman. Kau tahu Egam, aku tetap ingin hidup di kota, beradu dengan hiruk-pikuknya, mengumpati setiap senti arogansi. Biar apa? Biar ketika ada masaku bosan dengan kota yang menyebalkan aku akan datang ke tempat seperti impianmu, dan begitu bersyukur atas pesona itu. Mungkin kau juga tahu  hukum Gossen “Apabila kebutuhan dipenuhi secara terus menerus, maka rasa nikmatnya mula-mula akan tinggi, namun semakin lama rasa nimat tersebut semakin lama semakin menurun hingga mencapai batas jenuh.” Aku hanya tidak ingin pesona itu menjadi terlalu biasa. Orang-orang di lereng gunung daerah Wonosaba melihat terasering sayuran sudah biasa. Tapi tidak tahu kenapa aku selalu terpesona saja rasanya, ya, karena aku tidak setiap hari bercengkerama dengan alam seperti itu. Tak apa hanya sesekali aku menjenguk, biar aku tahu diri betapa Tuhan menciptakan segalanya begitu lengkap. Mungkin satu saat nanti, saat hanya ada aku dan suamiku yang semakin tua, hidup di tempat yang damai seperti mimpimu juga akan menjadi yang kuinginkan, ah Egam toh mimpi-mimpi manusia bisa bergeser.
Kita mampir ke sebuah warung usai mengelilingi kompleks candi. “Kamu mau makan apa?” tanyamu.
Aku berpikir sejenak,  kau bicara lagi, “Aku pesan nasi goreng. Kamu mau samaan?” ujarmu.
Mataku meneliti apa yang bisa kupesan. “Apa ya, bentar.”
“Alah pasti ujung-ujungnya, terserah, sama aja deh. Perempuan kan biasa gitu.”
“Aku perempuan nggak biasa,” tawamu pecah mendengarku, “Aku pesan mi godog.”
Saat bersamamu aku lebih sering mendengarkan. Sambil menunggu makanan yang kita pesan kau ceritakan beberapa hal lagi. Awalnya aku yang memancing dengan pertanyaan sih. Ceritamu tentang mendaki gunung A,B,C,D, bagaimana caramu merangkai kata-kata sehingga meninggalkan makna, sederhana dan tidak seperti Mario Teguh. Misal saat aku tidak menghabiskan mi godog yang kupesan, “Merem, bayangin kamu kelaperan di tengah hutan, ga ada makanan, hujan petir bla bla.” Aku tahu itu hanya cerita konyol bahkan terkesan bodoh. Tapi toh aku menurut seperti anak kecil, sejak kapan aku jadi penurut seperti ini? Kalau perutku sudah kenyang, sejak kapan aku mau susah payah memaksa makan sampai pingin muntah?
^
Beberapa Potongan
Kalau kamu datang ke kosku dan meminjam buku, apa kau baca betulan? Sepertinya kau tidak terlalu tertarik dengan gendre novel koleksiku. Kau sering datang ke kos dan terlalu sering tidak ketemu, sering juga datang saat aku hendak pergi, entah itu berangkat kuliah atau mengikuti ekstra kampus. “Kamu selalu sok sibuk.” Aku paling tidak betah diam di kos, berjamur memeluk laptop, tidur, menonton TV, dan kawan-kawan. Iya memang aku sok sibuk, lebih halusnya berusaha menyibukkan diri. “Kamu itu bukan robot, badanmu butuh istirahat.” Badanku sering sekali sakit, bukan sakit yang berat, flu, masuk angin, alergi, demam, apalagi ah terlalu banyak. Beberapa kali aku juga memintamu mengantarkan ke dokter. Dan tentu saja dengan bawelmu selalu berkata bahwa hidup seperti mesin itu apa enaknya.
Beberapa temanku bertanya, “Key, Mas Egam pacarmu ya?”
“Bukan.”
“Dia suka kayaknya sama kamu. Sering main ke sini. Kalau kamu sakit juga perhatian.”
“Alah enggak, dia memang baik ke semua orang.”
Sejujurnya aku bodoh untuk bermain kode-kodean. Pikirku jika suatu sore aku bilang sedang flu dan kau langsung datang membawakan dua botol vitamin ya memang sudah sewajarnya seorang teman begitu. Sekedar makan atau ngopi bareng toh kita juga rame-rame. Kata temanku aku perempuan yang tidak peka, darimana tidak pekanya? Aku malas melambungkan harapan, memang kamu menarik tapi toh kamu sendiri pernah cerita, banyak perempuan yang sering menyalah artikan kebaikanmu. Hanya mencoba realistis, bisa saja setelah datang ke kosku kau datangi juga kos-kos perempuan lain. Sekedar mengantar ke dokter, membunuh malam minggu, dan menghabiskan week end, ah sudahlah.
                11 September, kali ini aku hafal tanggalnya, tersimpan rapi di diary, kesempatan pertamaku menonton konser Superman is Dead. Sebelumnya kita janjian nonton bareng, sekitar pukul empat sore aku mengirimimu pesan.
                Egam, nanti jadi?
                Kau membalas, agak lama.
                Jadi. Tapi berangkat jam 8 ya. Ini aku masih nemuin dosen.
                Saat itu kau sedang sibuk mengurus skripsi. Kalau kau memang sibuk aku bisa berangkat nonton bersama teman-teman, pikirku.
                Kamu kalo sibuk aku nonton sama Brian aja ga papa kok.
                Tidak dibalas
                Hampir Isya kau menelponku, “Aku di depan, kamu keluar ya.”
                Mati listrik. Aku menemuimu di depan kos-kosan dalam gelap. Tidak bisa jelas memandang wajahmu, sesekali aku mendengar kau mendesah. “Aku sakit gigi.” Kau menunjukkan bengkak di pipimu.
“Gimana enaknya?”
                Mana mungkin aku tega memintamu menemani nonton konser bejingkrakan kalau gigimu bengkak seperti itu. Kau menanyakan obat, kuberitahu. “Kamu punya?” tanyamu.
                “Stok obat sakit gigiku habis, kamu beli di apotek aja.” Kukatakan pada temanmu yang mengantar, “Mas nanti sebelum sampai kos ini dianterin beli cataflam ya.”
                Ingin pecah tawaku mendengar jawaban temanmu, “Obat to? Gam, kamu kesini mau minta obat? Emang mbaknya apoteker kamu mintai obat. Obat ya di apotek lah.” Tawa temanmu menggema, “Sebenernya dia cuma mau laporan mbak, butuh diperhatiin.”
                Kau menyela, “Terus SiD-nya gimana?”
                “Aku nonton sama Brian aja.”
                “Sama siapa aja?”
                “Sama teman-teman kontrakan dia.”
                Hening sejenak, “Ati-ati ya, have fun!”
                “He’em”
                Sebelum akhirnya berangkat nonton konser aku sempat mengirimimu pesan,
Cataflamnya udah di minum? Istirahat gih. Yakin nggak ke dokter?
                Iya udah diminum barusan
                Kalo masih bengkak mending periksa deh. Kamu bisa kan ke dokter gigi sendiri, atau sama temenmu kek.
                Iya iya bawel
                Euh dasar! Aku berangkat ya
                He’em. Ati-ati, kamu jangan nakal
                Haha iyaaaa
                Egam, meskipun masih terlalu banyak ragu aku mulai mengerti betapa sebenarnya kamu selalu mencoba hadir. Sering aku bertanya-tanya apa bahagia itu punya ukuran pembeda? Ada buncahan yang sulit kuberi nama tiap kali kita bertemu. Tentang bagaimana kau terlalu sering membuatku tampak bodoh dan ceroboh. Menggigiti sedotan, mendentingkan sendok dengan gelas, menumpahkan sekeranjang garpu, tersandung, menyenggol asbak, atau tetiba lupa ingin bicara apa, iseng menggambar di tatakan gelas dengan sisa coklat panas, terlalu banyak keluguanku yang muncul tanpa pernah terkontrol. Rasanya aku terlalu manja dan kekanak-kanakan bila bersamamu. Sejak malam nonton konser dan batal itu aku mulai sesekali mencerna omongan teman-temanku. Maunya tetap mengacuhkan, alah kita hanya berteman. Tapi Egam, posisiku single, dijejali kebaikan dan kesabaran siapa yang tidak ge-er?
                Suatu siang aku sedang online. Ada beberapa foto yang lewat beranda. Kau, tersenyum lebar di sebuah air terjun. Iseng kubuka, seorang perempuan ternyata menge-tagmu. Lebih iseng lagi aku membaca komen-komenan di status sebelumnya. Besok kita mau ke sini ya mas? Lalu canda-canda panjang. Bagaimana aku tidak dengan gampang menyimpulkan, oh memang kamu baik ke semua orang. Berhentilah  ke-ge-er-an Kayana. Bukan hanya kamu yang diajak jalan-jalan. Berarti bukan hanya kamu juga yang ditemani makan malam, diantar ke dokter, di telvon, di sms, di chat. Sudah Kayana, berhentilah. Apalagi diantara foto-foto itu ada candid kamu menguyek kepala si mbak. Kayana, bukankah dia juga sering melakukan itu kepadamu? Ahsudahlah, toh kamu dan Egam memang hanya teman kan, jangan bodoh dengan menyalah artikan kebaikannya.
                Hobimu ngilang. Sering beberapa hari tidak ada kabar, kemudian muncul tiba-tiba membawa cerita dari puncak gunung, dari pantai ini-itu, dari keluyuran ke tempat entah berantah. Pun setelah 11 September itu kau juga menghilang. Dugaanku menguat, mungkin kau sedang sibuk dengan mbak yang ada di foto itu. Aku benci stalking, tapi tetiba merindukanmu tanpa tahu bagaimana melampiaskannya membuatku terpaksa melakukannya. Intensitas obrolanmu dengan mbak yang sama semakin gencar ternyata, jadi selama ini apa aku cuma selingan? Atau malah ban serep? Tunggu dulu, pernah suatu malam di warung kopi, percakapan itu,
                “Jalan yuk, long week end loh minggu ini.”
                Seperti biasa aku harus mengecek jadwal di calendar ponsel. “Aku sudah ada janji. Yamisal nanti nggak jadi baru bisa jalan sama kamu.”
                Ekspresimu berubah, “Dasar sok sibuk!”
“Habis gimana lagi, aku ini kan artis jadi ya wajar kalau sibuk,”aku cengengesan.
“Kamu pikir ngopi begini cuma kamu satu-satunya yang nemenin. Kamu itu serepan, kalau yang lain udah pada nggak bisa baru aku ngajak kamu.” Lalu tawaku, tawamu, dan teman-temanmu pecah.
                “Bodoamat, daripada aku jamuran di kos. Mending ngopi sama kamu, kadang-kadang digratisin lagi,” balasku masih juga dengan bercanda. Kita terlalu sering bercanda Egam, saking seringnya aku sampai bingung mana yang bercanda, mana yang bukan. Kau juga tahu perempuan itu punya kemampuan menyatukan puzzle kisah. Begitupun aku, jika saat itu kau menghilang, yang aku lakukan adalah menarik kesimpulan, berarti memang selama ini aku hanya ban serep. Yasudah, seingatku aku dilahirkan ibu tidak untuk menjadi perempuan serepan, aku melupaakanmu, berusaha melupakanmu.

                Potongan November-Desember
                Saat kusebut kau menghilang itu benar-benar menghilang, boro-boro datang menemuiku, membalas chat, mengirim sms, menelvon, semua tidak. Lalu aku hanya bisa menutup segala pertanyaan tentang di mana kamu dengan jawaban menyakitkan Kayana memang kamu siapanya hingga perlu tahu di mana dia sekarang! Suatu pagi di bulan November sebuah pesan singkat darimu masuk ke ponselku.
                Masih pingin lihat senja? Nyenja yuk
                Tidak terelakkan, ternyata aku merindukanmu, merindukan potongan resah yang tergerus rasa entah berantah ketika mengetahui ternyata kau masih hidup. Aku pernah bilang ingin melihat senja seperti di foto yang pernah kau tunjukkan.
                Kapan?
                Nanti sore, selesai kamu kuliah aku jemput. See you
                 Aku ini memang perempuan dengan imajinasi drama yang gampang sekali melambung. Sekadar bocah ingusan yang sering terlalu meromantiskan hal-hal sepele. Jika senja kala itu kau memebawaku ke tepian pantai lengkap dengan peralatan gas portable, cangkir, dan kopi, kita mengantar senja ke peraduan lalu sholat magrib tepat di piggir pantai sambil mendengar debur ombak, ah Egam aku sangat menyukai ini. Kau tahu saat itu di otakku telah terkotak-kotak imajinasi yang siap kutebas menjadi puisi. Kita hanya mengobrol ringan, atau malah lebih banyak terdiam. Apa yang ada di otakmu kala itu, Gam? Mungkin bagimu ini biasa saja ya, aku yang terlalu drama.
Selesai sholat magrib aku memaksa pulang, iya tempat itu terlalu gelap dan sepi. “Padahal sebentar lagi bulannya nongol. Kamu kenapa sih, takut aku apa-apain? Astaga, aku bukan orang seperti itu Kayana.” Peduli apa, aku hanya tidak biasa berdua-duaan di tempat gelap, itu saja. Di perjalanan pulang, di atas motormu kita mengurai banyak hal, tentang kisah cintaku yang sering gagal, tentang kuliahmu, tentang mimpi-mimpi, tentang jati diri, tentang Tuhan. Nah, aku suka jika kita sama-sama menggali tentang siapa Tuhan. Sebagian temanku mengata-ngatai kalau aku banyak bertanya tentang Tuhan, sebagian lagi menyuruhku hati-hati dengan keimanan, tapi kamu tidak. Aku juga merasa ikut bahagia mendengar kau yang begitu mencintai Indonesia, mimpimu menjejak puncak-puncak gunung, mimpimu keliling Indonesia, dan caramu menikmati dan memaknai hidup. “Memangnya kamu mau otakmu seperti cetakan kebanyakan, kuliah-kerja-nikah-punya anak- tua-mati?” Malam itu Egam, rasanya aku ingin memelukmu dan tak akan melepas. Sialan, kita punya cara memandang hidup yang sama, visi-misi, tuh kan aku terlalu jauh. Siapa yang tidak ingin memaknai hidup dengan menikmati setiap jengkalnya?
Jika saja boleh hatiku berlabuh, sesederhana nada yang kita bunyikan saat menyanyikan Cause Only Love Can Break Your Heart – The Sigit. Tapi apa yang kau lakukan seperti mudah saja menumbangkan asaku. “Kamu jangan jatuh cinta ya sama aku.” Tidakkah kau mendengar pekikan hatiku saat jeda percakapan beberapa detik, harusnya kau menemukan ekspresi rapuh di mataku, “Iya lah, kan kita memang teman. Siapa juga yang ngarep jadi pacar kamu.” Semoga bisa kau bedakan mana kilah, mana isi hati.
Nyatanya separuh hatiku memang telah kau genggam. Aku mulai tidak rasional dan semakin bodoh, cinta memang begitu kan. Jika tiba-tiba kau menghilang lagi setelah malam itu hatiku terus memaklumi. Mungkin ini, mungkin itu, banyak sekali mungkin yang kuciptakan sendiri. Kemana kau, Gam? Lagi-lagi aku harus kecewa, mengemasnya dalam diam, dan kembali berusaha menjejalkan bahwa kamu terlalu kege-eran Kayana. Sudah ya sudah cukup. Ulang tahunmu saja dia tidak tahu, dia mengucapkan selamat juga sangat telat. Itu juga mungkin gegara notif di facebook. Kayana, memang bukan Egam sepertinya tempatmu menitipkan hati. Aku masih ingat, diantara kejutan-kejutan dari teman-temanku kau hanya mengirimkan sebuah pesan sangat singkat, Happy Bestday. Atau malah-malah lagi itu salah ketik sepertinya.
Akhir Desember aku libur panjang, sebelumnya kau sempat bilang mau menemaniku keliling Gunung Kidul. Ternyata kau ada acara naik Merbabu dengan teman-temanmu, baiklah toh aku sudah biasa kluyuran sendiri. Ditengah-tengah solo travelling-ku melalui jejaring social aku menemukan sebuah sajakmu tentang pelangi dan bulir hujan, tentang sejoli. Aku sangat tahu jika sudah kau memasukkan hujan atau pelangi itu berarti tentang seorang perempuan. Mungkin kau telah menemukan perempuan bulir hujan itu, sejolimu. Toh kau sering cerita, hampir semua mantanmu pendaki gunung juga. Sementara aku, bocah ingusan ini tidak pernah mengantongi ijin ibu untuk menginjak gunung. Mungkin di Merbabu kau bertemu bulir hujanmu, pelangimu. Egam, kusudahi memupuk rasa untukmu.
^

Potongan Selanjutnya
Aku bersyukur jika dibuat tenggelam oleh Ujian Akhir Semester. Aku kembali ke jalan yang benar, membunuh irasionalitas tentangmu menggunakan soal-soal ujian. Rasaku tidak bisa sepenuhnya hilang, tapi bisa kukendalikan dengan baik, toh lagi kau menghilang tanpa kabar. Hidupku masih berjalan dengan biasa, tidak munafik, tempat ngopi kita selalu mmembuat sepercik rasa itu naik, rindu. Aku masih rutin ngopi bersama teman-teman, sering juga di tempat ngopi kesukaanmu.
Seminggu setelah ujianku selesai aku pulang kampung. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku saat aku berdiri di halte menunggu jemputan di kotaku.
Where are you? Here I am, SEMARANG.
Nongol lagi. Ada bahagia tapi sudah kuganjal, Kayana bertemanlah dengan baik!
Lalu telvonmu yang terlalu kurang ajar, “Kamu itu disayangi nggak peka banget sih!”
Sudahlah Egam, jangan bercanda terus.
“Aku sayang lo sama kamu. Kamu kok nggak ngerti sih, perlu dibuktiin gimana lagi?”
Hening.
“Kamu kemana aja?”
Bukankah aku yang seharusnya menanyakan itu Egam?
“Kangen. Kamu nggak kangen?”
“Enggak,” jawabku ketus. Bodoh, pertanyaanmu sangat retoris.
Niatku mengabaikan kata-kata di telvon itu, tapi apa daya iya aku masih punya rasa. Komunikasi kita kembali lancar, saling berkirim kabar, sekedar menyemangati saat pagi atau menutup malam dengan obrolan. Kita sama-sama tidak canggung lagi untuk saling mengungkapkan rasa. Di salah satu telvonmu kau bilang akan segera wisuda. “Kamu nggak pingin datang terus bawain bunga?” nada suaramu begitu aneh, sedikit lucu, kau jarang meminta sesuatu memang. “Enggak. Mau ngapain? Jadi tukang foto, krik-krik ah aku nggak kenal siapa-siapa di situ.” Kau membenarkan ucapanku dengan nada yang lebih berbeda lagi. Padahal, sudah ada di bayangan aku bilang tidak mau datang tapi tiba-tiba nongol di hari H.
Rencana yang pernah kita obrolkan rasanya sangat indah, ngetrip bareng. “Dieng aja deh, jangan Bromo. Sehabis wisuda ya, makannya kamu jangan kelamaan di kampung,” katamu. Kuiyakan, meskipun masalah perizinan dengan ibuku tak pernah berjalan mulus untuk segala sesuatu berbau tempat tinggi. Dua tahun meminta izin naik gunung, tanpa kenal bosan kulancarkan, ibuku keukueh, “Tidak ya tidak!” Jika akhirnya izinnya turun hanya untuk ke Dieng itu juga karena usaha-usaha yang disebutnya kurang kerjaan. Setiap ngobrol selalu kusinggung tentang Dieng, “Alah, aku tahu arahnya. Minta ijin lagi? Tidak ya tidak!” Masih bersabar, aku tidak kurang akal, lewat video youtube dan gambar-gambar hasil download kutunjukkan keindahan-keindahan gunung. Sampai pernah saking isengnya aku membaca artikel di kaskus keras-keras, Nduk, Pacarilah Pendaki Gunung. Akhirnya ibuku mengerti, “Oalah, kamu lagi jatuh cinta sama anak mahapala? Ngobrol dong! Kok kayak ndak punya pendirian to kamu. Dekat sama pendaki gunung, ikut-ikut naik gunung. Senengmu kalau kluyuran kan kota ke kota, jajan sembarangan, masuk-masuk pasar, nyari museum gratis. Sejak kapan suka gunung?”
“Bukannya dari dua tahun yang lalu aku sudah sering minta ijin naik gunung, Bu? Tapi nggak pernah boleh.”
“Emang iya? Tak kira cuma kebiasaanmu gampang kepinginan loh minta ijin yang dulu-dulu itu. Elhadala malah kenal mas-mas begituan, malah semakin nyecer aja. Ati-ati kalau sudah kenal gunung, awas aja nanti kalau badanmu kurus kering gara-gara ngirit makan buat beli peralatan! Awas aja kalau kuliahmu berantakan gara-gara keseringan naik gunung!”
Ya Tuhan, betapa alaynya ibuku, aku hanya ijin untuk ke Sikunir kan? “Sikunir itu pendek, Bu. Bukan ndaki beneran. Tempat wisata, aksesnya gampang mirip Bromo.”
“Iya sekarang cuma Sikunir, bulan depan Merbabu, bulan depannya Arjuna, bulan depannya lagi Semeru. Berani taruhan kamu pasti kalau diijinin sekali jatohnya nglamak.”
“Kenapa sih harus sealay itu. Cuma naik gunung.”
“Heh, naik gunung itu ndak ‘cuma’ ya! Kalau kamu kecemplung jurang terus anak perempuanku ilang, piye? Kamu bisa tanggung jawab gantiin anakku?” Lhah, kan anak perempuannya hanya aku?! Ibuku memang extraordinary. Suka bingung aku dibuatnya.
Singkat cerita usahaku membuahkan izin, sujud syukur. Empat bulan tidak bertemu kamu Egam, sangat rindu. Dan seindah-indahnya rindu adalah menebasnya dengan ngluyur bareng. “Kamu jangan berdua doang jalannya. Aku lebih lega kamu ngluyur sendiri daripada berduan. Jangan mau diajak tidur setenda, itu anak mahapala kalau mau pakai tenda biar saja, kamu nyewa kamar penginapan saja.” Kebawelan ibuku yang merajalela.
Manusia penuh imaji selalu mempunyai rencana-rencana keren di otak mereka, namun Tuhan bisa semau-Nya memberi takdir. Bencana alam melanda kota kampung halamanku. Pusat bencana lumayan jauh dari rumah, namun dampaknya sangat besar kami rasakan. Banyak fasilitas umum rusak, termasuk sinyal provider, otomatis komunikasiku dengan Egam terganggu kembali. Sebuah panggilan jiwa mengharuskan aku lebih lama tinggal di kotaku untuk membantu korban bencana. Wisuda Egam? Aku tidak bisa datang, kurasa Egam juga akan mengerti akan lebih berguna hadirku di sini, tenagaku lebih dibutuhkan. Hanya sempat kukirimi dia ucapan selamat wisuda melalui foto tulisan yang dibawa anak-anak SD. Aku mengulur waktu liburan, berarti menunda pula waktu bertemu, bahkan menghapus rencana ngetrip bareng.
Aku kembali ke Semarang tepat di pagi pertama perkuliahan awal semester ganjil dimulai. Komunikasi dengan Egam terganggu akibat sinyal buruk kupikir telah usai ketika aku telah kembali dari kampung. Ternyata tidak, mungkin Egam sedang sibuk mengurus legalisir, yasudah. Beberapa hari kemudian dia mengajakku sarapan bareng, tapi aku terlanjur ada kelas di kampus. Kalau dia sungguhan rindu padamu Kayana kenapa tidak secepatnya menemuimu? Menelponmu saja tidak, mengirim sms juga sekadarnya. Egam aku kembali ragu. Masih iseng lagi, aku membuka time line twitter-mu. Selama di kampung aku hanya mengupdate jejaring sosialku sendiri, itupun jarang, hanya laporan kepada teman-teman yang sedang menggalang dana untuk korban bencana alam. Selain sinyal agak terganggu, duduk leha-leha dan membuka-buka time line orang bukan kebiasaanku. Egam, apa maumu? Diantara mensyen-mensyen panjang itu aku menemukan akun seorang perempuan, perempuan yang sama dengan yang ada di foto air terjun. Kau memensyennya dengan ‘Sayang’aku bisa memaklumi, hobimu bercanda dan selalu akrap aku tahu itu. Lalu satu balasan mesyen yang membuatku sangat kecewa. Tepat saat bencana alam itu melanda kotaku, saat sinyal handphone-ku terganggu. Duh, kenapa perempuan yang jaraknya ratusan kilometer dari pusat bencana ini yang terus kau tenangkan? Begitu maksutmu menyayangiku, Egam?
Aku tidak sebodoh itu untuk menghakimi, kusempatkan bertanya siapa perempuan itu. “Kamu kenapa?” hanya itu jawabmu. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak pernah mampu kutanyakan, terlalu banyak kesimpulan yang harus kubuat sendiri. “Aku sayang kamu, udah itu aja. Harus dibuktikan bagaimana lagi? Kalau kamu tetap tidak percaya, yasudah. Aku bisa apa lagi?” inti percakapan kita lewat layar yang tidak terlalu kuingat detailnya, intinya begitu. Mungkin aku yang terlalu kekanak-kanakan, cemburuan, terlalu perasa. Perempuan setengah masih abege yang masih sulit memahami, Egam, kau terlalu penuh teka-teki.
^
Diantara tumpukan cemburu, jejalan ragu, dan ketidak mampuanku memahami aku bilang, “Benar katamu dulu. Aku memang sebaiknya tidak jatuh cinta.”  Pikirku dulu, perbedaan usia bukan masalah besar. Ternyata usia dan pola pikir itu hampir selalu sejalan. Labil, aku menyadari itu. Ya, aku masih sering terlalu kekanak-kanakan, semauku sendiri, dan petakilan. Perempuan di persimpangan masa akhir abege. Jangkauan otak dan hati untuk memahami seorang Egam masih terhenti di tengah jalan. Sampai kapan aku akan memahami caranya mencintai, rasanya terlalu rumit dimengerti. Aku sering kecewa, mungkin Egam juga, aku sering terlalu rindu, tapi entah bagaimana Egam aku tidak tahu.
Sore terakhir aku bertemu dia saat hatiku masih terlalu dibakar cemburu masalah mensyen twitter. Egam datang menemuiku, aku masih saja angkuh. Menyembunyikan rindu, mengelabui hati, menutup diri dengan bisikan-bisikan yang kunamai rasionalitas. Rasionalitas? Entahlah. Aku hanya lelah dipermainkan labirin tanpa clue. Kisah ini berakhir dengan pesan panjang tentang perasaanku kepadanya, betapa aku sangat menyayanginya. Kembali lagi kepada takdir. Beberapa hari setelah wisuda Egam pulang ke kota asalnya. “Waktuku buat kamu sudah aku cukupkan selama aku di Semarang. Kamu ingat kan aku benci LDR? Kamu baik-baik di situ ya”
Klise. Kisah cinta macam apa? Perempuan yang mencintai dalam ilusi, ketika orang yang mencintainya ada dia biasa saja, ketika seseorang itu pergi baru dia lantang meneriakkan cinta. Egam, inginku meneriakkan cinta sedari dulu, membalas segala tulus dan kesabaranmu, mungkin hanya terlalu lugu untuk mengulur waktu bahkan menunggu. Yang kutahu adalah dari setiap tangis ada beberapa bujur tisu yang harus kubuang setelah bercampur ingus dan air mata. Seperti ada beberapa hal yang harus kutinggalkan, mungkin tentang kekanak-kanakan, lugu, petakilan, asal-asalan, dan mungkin-mungkin yang lain. Lalu aku mengambil sebujur tisu baru, seperti aku mengambil pendewasaan dari ketidakmengertian. Sempat kukirim pesan untukmu aku ingin terus mencintai tanpa pernah peduli. Bodoh, padahal ada masa mencintai tanpa pernah memenangkan hati itu lebih sakit, jauh lebih menyiksa. Itulah saatnya aku menelan kerelaan, melepas, dan meraup pendewasaan. Egam, aku yakin saat inipun kau telah bahagia. Jika bukan lagi aku yang bisa memenagkan hatimu itu, pasti kau telah menemukan seseorang yang lebih pantas. Mungkin yang pernah begitu gigih memperjuangkan cinta, atau yang sedang sama-sama belajar denganmu memperjuangkan rasa. Sedang memang aku sudah bukan lagi bagian dari perjuangan itu. Persetan dengan jarak, persetan dengan LDR, ini semua takdir, itu saja. Toh cinta tak pernah mau tahu kemana dia akhirnya tumbuh dan berlabuh, pun hingga melerai dan menyudahi. Rasaku tidak usai, hanya bergeser, tidak untuk menangkup hatimu utuh, hanya menyublim diantara senyum bahwa kita pernah punya kisah. 


^selesai^
Categories:

2 komentar:

  1. kisahnya menarik, dan kebetulan aku juga pernah mengalami hal yang sama.. hahhaaa... ternyata kalau berteman dengan orang yang supel, masalah utamanya pasti dikira ngasih harapan... :D.. satu hal yang perlu dicatat, "kamu keren", apa yang telah dialami bukan menjadi beban hidup, tapi menjadi cermin untuk selalu berkarya... sukses ya.. salam..

    BalasHapus

Yours: