Apakah semua
kisah yang berupa potongan-potongan itu bisa dirangkai? Semudah kau ambil
benang dan bulir-bulir mutiara lalu meronce gelang untuk kado ulang tahun
temanmu. Kurasa tetap membiarkannya
berserakan di hati akan lebih indah. Konsep merapikan hati yang sering
diomogkan orang-orang, jujur aku tidak mengerti. Menurutku hati itu seperti sponge, nah, potongan-potongan kisah itu
bertugas menyumpalnya sampai lubang-lubang itu tertutup. Bisa di pojok, bisa di
tengah, bisa di mana saja posisinya. Jika sekarang kutuliskan tentang
potongan–potongan itu, bukan berarti harus dirangkai dengan cantik. Biarkan
tetap sepotong-potong, seperti potongan de javu yang kental dan sesekali masih
datang menjenguk.
Potongan Pertama
Kepadamu Egam
Airlangga yang mengukirkan potongan-potongan itu. Apa kabar kamu? Apa kabar ranselmu? Rasanya aku belum
lupa saat jemariku begitu gatal. Setiap tanda koneksi internet telah mengalir
pada laptop atau ponsel, setiap log in-ku
ke jejaing social berhasil, setiap melirik bahwa bulatan hijau di sebelah
namamu itu menyala, ingin mengetik secepat kilat, menekan send, lalu menunggu obrolan panjang kita. Kau masih ingat obrolan
berlayar-layar diantara dua manusia kurang kerjaan tiap lewat tengah malam?
Mungkin kau lupa, aku juga, tapi sesekali masih iseng kubuka kotakan chatting jika aku merindukanmu tanpa
sebab, masih tersimpan di sana .
Pertemuan kita,
aku juga hampir lupa. Kau tentu tahu aku bukan perempuan yang pandai menyimpan
kenangan. Aku ini pelupa, pelupa berat. Lalu, ternyata masih ada de javu yang dulu kusebut dia terlalu
membelenggu. Yang kutahu bukan mengeja merk rokok yang kau letakkan sekenanya,
atau kopi instan apa yang kau pesan malam itu, atau aku bahkan tidak ingat baju
warna apa yang kau kenakan. Ya begitulah, toh pertemuan pertama kita dulu
memang terlalu biasa untuk kuabadikan di buku diary. Hanya dua orang hobi
kluyuran dan sama-sama mencintai sastra yang dipertemukan oleh jejaring social.
“Egam”suaramu
biasa saja saat menjabat tanganku. Aku juga masih biasa saja saat balas
menyebut, “Kayana.” Sebenarnya tidak
perlu sebut nama, toh kita sudah sama-sama tahu, ah tradisi. Butuh berapa detik
untuk bersikap canggung seperti FTV, rasaku tidak ada, tetiba kita seperti dua
orang yang sudah lama berteman di dunia nyata. Malam itu aku mengajak dua
temanku, yang ini aku masih ingat, “Man,
nanti kalau si mas-nya ngebosenin kalian tolong bawa aku kabur ya,” begitu
perjanjian kami. Egam, aku ini bukan tipe perempuan yang hobi chatting,
ketemuan, lalu jatuh cinta. Aku terlalu malas untuk meladeni hal-hal seperti
itu, ah sialan belum-belum kamu telah membuat hidupku berbeda. Kalau malam itu
akhirnya kita bertemu, itu karena kau bilang akan memberiku kopi ijo khas
Tulung Agung. Pikirku lumayan toh aku memang ngopi setiap pagi, sedikit
membantu toples bubuk kopiku untuk tetap tersenyum.
Dua orang
temanku akhirnya pulang terlebih dahulu, “Duluan aja, mas. Nganter dia ke kos
tanggung jawabku kok. Tenang aja nggak bakal diapa-apain,” katamu. Aku
sebenarnya ingin cepat pulang, cuci muka, tidur. Tapi entah apa, obrolan ngalor-ngidul denganmu membuatku
mengurungkan niat. Pertemuan kita malam itu selesai dengan kau mengantarku
pulang dan memberikan seplastik kopi ijo. Tadi di warung kopi kita bertukar
nomor handphone. Kita berkirim sms
sebelum akhirnya aku tertidur. Egam, apa yang kau rasakan malam itu, sepertinya
biasa saja ya tidak ada yang istimewa.
^
Potongan Kedua
Obrolan maya
kita sudah terhenti, beralih kepada pesan-pesan singkat atau sesekali telvon.
Aku bertanya-tanya, hobi benar Egam main ke kosku? “Mampir,” katamu. Kamu
sering mengajakku ngopi bareng, pikirku aku suka ngopi dan teman ngopi yang
paling menyenangkan adalah yang rasaku nyambung. Ya, aku terkesan pada setiap
pertanyaanku yang hampir selalu kau jawab, selera musikmu yang lumayan, sastra,
film, apalagi, kemampuanmu membuatku tertawa lepas tanpa jaim, itu yang paling
menyenagkan. Aku bisa menjadi diriku sediri.
Kamu hobi
kluyuran, aku juga, apalagi kalau tidak ngluyur bareng. Setelah beberapa kali
gagal jalan bareng akhirnya pagi itu kita naik ke Gedong Sanga, daerah
Kabupaten Semarang. Sebuah kompleks candi hindu dengan bonus pemandangan hijau
cantik dan sesekali tiupan kabut. Di salah satu sudut kita menggelesot berbagi
banyak hal. Sedikit kau ceritakan tentang keluargamu, hobimu berpuisi, juga
beberapa pandanganmu tentang hidup. Aku masih ingat ini, “Kamu pernah
membayangkan hidup di perkampungan yang damai? Di pelosok yang sejuk, dekat
dengan gunung, tanah yang subur. Tenang, tidak dibikin pusing hingar-bingar
dunia.” Dan dengan tengilnya kujawab, “Ga mau, nggak ada ATM, nggak ada
Alfamart, ga ada emol. Aduh, sinyal susah, listrik terbatas, sengsara banget.”
Kau menoyor kepalaku, “Dasar abege!” sebenarnya aku ingin mengatakan ini,
betapa aku mencintai alam, betapa aku sering terpesona dibuatnya. Yang ada
diotakku adalah aku tidak ingin jika pesona itu terkikis oleh kelaziman. Kau
tahu Egam, aku tetap ingin hidup di kota, beradu dengan hiruk-pikuknya,
mengumpati setiap senti arogansi. Biar apa? Biar ketika ada masaku bosan dengan
kota yang menyebalkan aku akan datang ke tempat seperti impianmu, dan begitu
bersyukur atas pesona itu. Mungkin kau juga tahu hukum Gossen “Apabila kebutuhan dipenuhi
secara terus menerus, maka rasa nikmatnya mula-mula akan tinggi, namun semakin
lama rasa nimat tersebut semakin lama semakin menurun hingga mencapai batas
jenuh.” Aku hanya tidak ingin pesona itu menjadi terlalu biasa. Orang-orang di
lereng gunung daerah Wonosaba melihat terasering sayuran sudah biasa. Tapi
tidak tahu kenapa aku selalu terpesona saja rasanya, ya, karena aku tidak
setiap hari bercengkerama dengan alam seperti itu. Tak apa hanya sesekali aku
menjenguk, biar aku tahu diri betapa Tuhan menciptakan segalanya begitu
lengkap. Mungkin satu saat nanti, saat hanya ada aku dan suamiku yang semakin
tua, hidup di tempat yang damai seperti mimpimu juga akan menjadi yang
kuinginkan, ah Egam toh mimpi-mimpi manusia bisa bergeser.
Kita mampir ke
sebuah warung usai mengelilingi kompleks candi. “Kamu mau makan apa?” tanyamu.
Aku berpikir
sejenak, kau bicara lagi, “Aku pesan
nasi goreng. Kamu mau samaan?” ujarmu.
Mataku meneliti
apa yang bisa kupesan. “Apa ya, bentar.”
“Alah pasti
ujung-ujungnya, terserah, sama aja deh. Perempuan kan biasa gitu.”
“Aku perempuan
nggak biasa,” tawamu pecah mendengarku, “Aku pesan mi godog.”
Saat bersamamu
aku lebih sering mendengarkan. Sambil menunggu makanan yang kita pesan kau
ceritakan beberapa hal lagi. Awalnya aku yang memancing dengan pertanyaan sih.
Ceritamu tentang mendaki gunung A,B,C,D, bagaimana caramu merangkai kata-kata
sehingga meninggalkan makna, sederhana dan tidak seperti Mario Teguh. Misal
saat aku tidak menghabiskan mi godog yang kupesan, “Merem, bayangin kamu
kelaperan di tengah hutan, ga ada makanan, hujan petir bla bla.” Aku tahu itu hanya
cerita konyol bahkan terkesan bodoh. Tapi toh aku menurut seperti anak kecil,
sejak kapan aku jadi penurut seperti ini? Kalau perutku sudah kenyang, sejak
kapan aku mau susah payah memaksa makan sampai pingin muntah?
^
Beberapa Potongan
Kalau kamu
datang ke kosku dan meminjam buku, apa kau baca betulan? Sepertinya kau tidak
terlalu tertarik dengan gendre novel
koleksiku. Kau sering datang ke kos dan terlalu sering tidak ketemu, sering
juga datang saat aku hendak pergi, entah itu berangkat kuliah atau mengikuti
ekstra kampus. “Kamu selalu sok sibuk.” Aku paling tidak betah diam di kos,
berjamur memeluk laptop, tidur, menonton TV, dan kawan-kawan. Iya memang aku
sok sibuk, lebih halusnya berusaha menyibukkan diri. “Kamu itu bukan robot,
badanmu butuh istirahat.” Badanku sering sekali sakit, bukan sakit yang berat,
flu, masuk angin, alergi, demam, apalagi ah terlalu banyak. Beberapa kali aku
juga memintamu mengantarkan ke dokter. Dan tentu saja dengan bawelmu selalu
berkata bahwa hidup seperti mesin itu apa enaknya.
Beberapa temanku
bertanya, “Key, Mas Egam pacarmu ya?”
“Bukan.”
“Dia suka
kayaknya sama kamu. Sering main ke sini. Kalau kamu sakit juga perhatian.”
“Alah enggak,
dia memang baik ke semua orang.”
Sejujurnya aku
bodoh untuk bermain kode-kodean. Pikirku jika suatu sore aku bilang sedang flu
dan kau langsung datang membawakan dua botol vitamin ya memang sudah sewajarnya
seorang teman begitu. Sekedar makan atau ngopi bareng toh kita juga rame-rame. Kata
temanku aku perempuan yang tidak peka, darimana tidak pekanya? Aku malas
melambungkan harapan, memang kamu menarik tapi toh kamu sendiri pernah cerita,
banyak perempuan yang sering menyalah artikan kebaikanmu. Hanya mencoba
realistis, bisa saja setelah datang ke kosku kau datangi juga kos-kos perempuan
lain. Sekedar mengantar ke dokter, membunuh malam minggu, dan menghabiskan week end, ah sudahlah.
11
September, kali ini aku hafal tanggalnya, tersimpan rapi di diary, kesempatan
pertamaku menonton konser Superman is Dead. Sebelumnya kita janjian nonton
bareng, sekitar pukul empat sore aku mengirimimu pesan.
Egam, nanti jadi?
Kau
membalas, agak lama.
Jadi. Tapi berangkat jam 8 ya. Ini aku masih
nemuin dosen.
Saat
itu kau sedang sibuk mengurus skripsi. Kalau kau memang sibuk aku bisa berangkat
nonton bersama teman-teman, pikirku.
Kamu kalo sibuk aku nonton sama Brian aja ga
papa kok.
Tidak
dibalas
Hampir
Isya kau menelponku, “Aku di depan, kamu keluar ya.”
Mati
listrik. Aku menemuimu di depan kos-kosan dalam gelap. Tidak bisa jelas
memandang wajahmu, sesekali aku mendengar kau mendesah. “Aku sakit gigi.” Kau menunjukkan
bengkak di pipimu.
“Gimana enaknya?”
Mana
mungkin aku tega memintamu menemani nonton konser bejingkrakan kalau gigimu
bengkak seperti itu. Kau menanyakan obat, kuberitahu. “Kamu punya?” tanyamu.
“Stok
obat sakit gigiku habis, kamu beli di apotek aja.” Kukatakan pada temanmu yang
mengantar, “Mas nanti sebelum sampai kos ini dianterin beli cataflam ya.”
Ingin
pecah tawaku mendengar jawaban temanmu, “Obat to? Gam, kamu kesini mau minta
obat? Emang mbaknya apoteker kamu mintai obat. Obat ya di apotek lah.” Tawa
temanmu menggema, “Sebenernya dia cuma mau laporan mbak, butuh diperhatiin.”
Kau
menyela, “Terus SiD-nya gimana?”
“Aku
nonton sama Brian aja.”
“Sama
siapa aja?”
“Sama
teman-teman kontrakan dia.”
Hening
sejenak, “Ati-ati ya, have fun!”
“He’em”
Sebelum
akhirnya berangkat nonton konser aku sempat mengirimimu pesan,
Cataflamnya udah di minum? Istirahat gih.
Yakin nggak ke dokter?
Iya udah diminum
barusan
Kalo masih bengkak
mending periksa deh. Kamu bisa kan ke dokter gigi sendiri, atau sama temenmu
kek.
Iya iya bawel
Euh dasar! Aku
berangkat ya
He’em. Ati-ati,
kamu jangan nakal
Haha iyaaaa
Egam,
meskipun masih terlalu banyak ragu aku mulai mengerti betapa sebenarnya kamu
selalu mencoba hadir. Sering aku bertanya-tanya apa bahagia itu punya ukuran
pembeda? Ada buncahan yang sulit kuberi nama tiap kali kita bertemu. Tentang
bagaimana kau terlalu sering membuatku tampak bodoh dan ceroboh. Menggigiti
sedotan, mendentingkan sendok dengan gelas, menumpahkan sekeranjang garpu,
tersandung, menyenggol asbak, atau tetiba lupa ingin bicara apa, iseng
menggambar di tatakan gelas dengan sisa coklat panas, terlalu banyak keluguanku
yang muncul tanpa pernah terkontrol. Rasanya aku terlalu manja dan
kekanak-kanakan bila bersamamu. Sejak malam nonton konser dan batal itu aku
mulai sesekali mencerna omongan teman-temanku. Maunya tetap mengacuhkan, alah
kita hanya berteman. Tapi Egam, posisiku single,
dijejali kebaikan dan kesabaran siapa yang tidak ge-er?
Suatu
siang aku sedang online. Ada beberapa
foto yang lewat beranda. Kau, tersenyum lebar di sebuah air terjun. Iseng
kubuka, seorang perempuan ternyata menge-tagmu.
Lebih iseng lagi aku membaca komen-komenan di status sebelumnya. Besok kita mau ke sini ya mas? Lalu
canda-canda panjang. Bagaimana aku tidak dengan gampang menyimpulkan, oh memang kamu baik ke semua orang.
Berhentilah ke-ge-er-an Kayana. Bukan
hanya kamu yang diajak jalan-jalan. Berarti bukan hanya kamu juga yang ditemani
makan malam, diantar ke dokter, di telvon, di sms, di chat. Sudah Kayana,
berhentilah. Apalagi diantara foto-foto itu ada candid kamu menguyek kepala si mbak. Kayana, bukankah dia juga sering melakukan itu kepadamu? Ahsudahlah,
toh kamu dan Egam memang hanya teman kan, jangan bodoh dengan menyalah artikan
kebaikannya.
Hobimu ngilang. Sering beberapa hari tidak ada
kabar, kemudian muncul tiba-tiba membawa cerita dari puncak gunung, dari pantai
ini-itu, dari keluyuran ke tempat entah berantah. Pun setelah 11 September itu
kau juga menghilang. Dugaanku menguat, mungkin kau sedang sibuk dengan mbak
yang ada di foto itu. Aku benci stalking,
tapi tetiba merindukanmu tanpa tahu bagaimana melampiaskannya membuatku
terpaksa melakukannya. Intensitas obrolanmu dengan mbak yang sama semakin
gencar ternyata, jadi selama ini apa aku cuma selingan? Atau malah ban serep?
Tunggu dulu, pernah suatu malam di warung kopi, percakapan itu,
“Jalan
yuk, long week end loh minggu ini.”
Seperti
biasa aku harus mengecek jadwal di calendar ponsel. “Aku sudah ada janji.
Yamisal nanti nggak jadi baru bisa jalan sama kamu.”
Ekspresimu
berubah, “Dasar sok sibuk!”
“Habis gimana
lagi, aku ini kan artis jadi ya wajar kalau sibuk,”aku cengengesan.
“Kamu pikir
ngopi begini cuma kamu satu-satunya yang nemenin. Kamu itu serepan, kalau yang
lain udah pada nggak bisa baru aku ngajak kamu.” Lalu tawaku, tawamu, dan
teman-temanmu pecah.
“Bodoamat,
daripada aku jamuran di kos. Mending ngopi sama kamu, kadang-kadang digratisin
lagi,” balasku masih juga dengan bercanda. Kita terlalu sering bercanda Egam,
saking seringnya aku sampai bingung mana yang bercanda, mana yang bukan. Kau
juga tahu perempuan itu punya kemampuan menyatukan puzzle kisah. Begitupun aku, jika saat itu kau menghilang, yang aku
lakukan adalah menarik kesimpulan, berarti memang selama ini aku hanya ban
serep. Yasudah, seingatku aku dilahirkan ibu tidak untuk menjadi perempuan
serepan, aku melupaakanmu, berusaha melupakanmu.
Potongan November-Desember
Saat
kusebut kau menghilang itu benar-benar menghilang, boro-boro datang menemuiku,
membalas chat, mengirim sms, menelvon, semua tidak. Lalu aku hanya bisa menutup
segala pertanyaan tentang di mana kamu dengan jawaban menyakitkan Kayana memang kamu siapanya hingga perlu
tahu di mana dia sekarang! Suatu pagi di bulan November sebuah pesan
singkat darimu masuk ke ponselku.
Masih pingin lihat senja? Nyenja yuk
Tidak
terelakkan, ternyata aku merindukanmu, merindukan potongan resah yang tergerus
rasa entah berantah ketika mengetahui ternyata kau masih hidup. Aku pernah
bilang ingin melihat senja seperti di foto yang pernah kau tunjukkan.
Kapan?
Nanti sore,
selesai kamu kuliah aku jemput. See you
Aku ini memang perempuan dengan imajinasi
drama yang gampang sekali melambung. Sekadar bocah ingusan yang sering terlalu
meromantiskan hal-hal sepele. Jika senja kala itu kau memebawaku ke tepian
pantai lengkap dengan peralatan gas
portable, cangkir, dan kopi, kita mengantar senja ke peraduan lalu sholat
magrib tepat di piggir pantai sambil mendengar debur ombak, ah Egam aku sangat
menyukai ini. Kau tahu saat itu di otakku telah terkotak-kotak imajinasi yang
siap kutebas menjadi puisi. Kita hanya mengobrol ringan, atau malah lebih
banyak terdiam. Apa yang ada di otakmu kala itu, Gam? Mungkin bagimu ini biasa
saja ya, aku yang terlalu drama.
Selesai sholat
magrib aku memaksa pulang, iya tempat itu terlalu gelap dan sepi. “Padahal sebentar
lagi bulannya nongol. Kamu kenapa sih, takut aku apa-apain? Astaga, aku bukan
orang seperti itu Kayana.” Peduli apa, aku hanya tidak biasa berdua-duaan di
tempat gelap, itu saja. Di perjalanan pulang, di atas motormu kita mengurai
banyak hal, tentang kisah cintaku yang sering gagal, tentang kuliahmu, tentang
mimpi-mimpi, tentang jati diri, tentang Tuhan. Nah, aku suka jika kita
sama-sama menggali tentang siapa Tuhan. Sebagian temanku mengata-ngatai kalau
aku banyak bertanya tentang Tuhan, sebagian lagi menyuruhku hati-hati dengan
keimanan, tapi kamu tidak. Aku juga merasa ikut bahagia mendengar kau yang
begitu mencintai Indonesia, mimpimu menjejak puncak-puncak gunung, mimpimu
keliling Indonesia, dan caramu menikmati dan memaknai hidup. “Memangnya kamu
mau otakmu seperti cetakan kebanyakan, kuliah-kerja-nikah-punya anak-
tua-mati?” Malam itu Egam, rasanya aku ingin memelukmu dan tak akan melepas.
Sialan, kita punya cara memandang hidup yang sama, visi-misi, tuh kan aku terlalu jauh. Siapa yang
tidak ingin memaknai hidup dengan menikmati setiap jengkalnya?
Jika saja boleh
hatiku berlabuh, sesederhana nada yang kita bunyikan saat menyanyikan Cause Only Love Can Break Your Heart – The
Sigit. Tapi apa yang kau lakukan seperti mudah saja menumbangkan asaku.
“Kamu jangan jatuh cinta ya sama aku.” Tidakkah kau mendengar pekikan hatiku
saat jeda percakapan beberapa detik, harusnya kau menemukan ekspresi rapuh di
mataku, “Iya lah, kan kita memang teman. Siapa juga yang ngarep jadi pacar
kamu.” Semoga bisa kau bedakan mana kilah, mana isi hati.
Nyatanya separuh
hatiku memang telah kau genggam. Aku mulai tidak rasional dan semakin bodoh,
cinta memang begitu kan. Jika tiba-tiba kau menghilang lagi setelah malam itu
hatiku terus memaklumi. Mungkin ini, mungkin itu, banyak sekali mungkin yang
kuciptakan sendiri. Kemana kau, Gam? Lagi-lagi aku harus kecewa, mengemasnya
dalam diam, dan kembali berusaha menjejalkan bahwa kamu terlalu kege-eran Kayana. Sudah ya sudah cukup. Ulang tahunmu saja
dia tidak tahu, dia mengucapkan selamat juga sangat telat. Itu juga mungkin
gegara notif di facebook. Kayana, memang bukan Egam sepertinya tempatmu
menitipkan hati. Aku masih ingat, diantara kejutan-kejutan dari
teman-temanku kau hanya mengirimkan sebuah pesan sangat singkat, Happy Bestday. Atau malah-malah lagi itu
salah ketik sepertinya.
Akhir Desember
aku libur panjang, sebelumnya kau sempat bilang mau menemaniku keliling Gunung
Kidul. Ternyata kau ada acara naik Merbabu dengan teman-temanmu, baiklah toh
aku sudah biasa kluyuran sendiri. Ditengah-tengah solo travelling-ku melalui jejaring social aku menemukan sebuah
sajakmu tentang pelangi dan bulir hujan, tentang sejoli. Aku sangat tahu jika
sudah kau memasukkan hujan atau pelangi itu berarti tentang seorang perempuan.
Mungkin kau telah menemukan perempuan bulir hujan itu, sejolimu. Toh kau sering
cerita, hampir semua mantanmu pendaki gunung juga. Sementara aku, bocah ingusan
ini tidak pernah mengantongi ijin ibu untuk menginjak gunung. Mungkin di
Merbabu kau bertemu bulir hujanmu, pelangimu. Egam, kusudahi memupuk rasa
untukmu.
^
Potongan Selanjutnya
Aku bersyukur
jika dibuat tenggelam oleh Ujian Akhir Semester. Aku kembali ke jalan yang
benar, membunuh irasionalitas tentangmu menggunakan soal-soal ujian. Rasaku
tidak bisa sepenuhnya hilang, tapi bisa kukendalikan dengan baik, toh lagi kau
menghilang tanpa kabar. Hidupku masih berjalan dengan biasa, tidak munafik,
tempat ngopi kita selalu mmembuat sepercik rasa itu naik, rindu. Aku masih
rutin ngopi bersama teman-teman, sering juga di tempat ngopi kesukaanmu.
Seminggu setelah
ujianku selesai aku pulang kampung. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku saat
aku berdiri di halte menunggu jemputan di kotaku.
Where are you? Here I am, SEMARANG.
Nongol lagi. Ada
bahagia tapi sudah kuganjal, Kayana
bertemanlah dengan baik!
Lalu telvonmu
yang terlalu kurang ajar, “Kamu itu disayangi nggak peka banget sih!”
Sudahlah Egam,
jangan bercanda terus.
“Aku sayang lo
sama kamu. Kamu kok nggak ngerti sih, perlu dibuktiin gimana lagi?”
Hening.
“Kamu kemana
aja?”
Bukankah aku
yang seharusnya menanyakan itu Egam?
“Kangen. Kamu
nggak kangen?”
“Enggak,”
jawabku ketus. Bodoh, pertanyaanmu sangat retoris.
Niatku
mengabaikan kata-kata di telvon itu, tapi apa daya iya aku masih punya rasa.
Komunikasi kita kembali lancar, saling berkirim kabar, sekedar menyemangati
saat pagi atau menutup malam dengan obrolan. Kita sama-sama tidak canggung lagi
untuk saling mengungkapkan rasa. Di salah satu telvonmu kau bilang akan segera
wisuda. “Kamu nggak pingin datang terus bawain bunga?” nada suaramu begitu
aneh, sedikit lucu, kau jarang meminta sesuatu memang. “Enggak. Mau ngapain?
Jadi tukang foto, krik-krik ah aku nggak kenal siapa-siapa di situ.” Kau
membenarkan ucapanku dengan nada yang lebih berbeda lagi. Padahal, sudah ada di
bayangan aku bilang tidak mau datang tapi tiba-tiba nongol di hari H.
Rencana yang
pernah kita obrolkan rasanya sangat indah, ngetrip
bareng. “Dieng aja deh, jangan Bromo. Sehabis wisuda ya, makannya kamu
jangan kelamaan di kampung,” katamu. Kuiyakan, meskipun masalah perizinan
dengan ibuku tak pernah berjalan mulus untuk segala sesuatu berbau tempat
tinggi. Dua tahun meminta izin naik gunung, tanpa kenal bosan kulancarkan, ibuku
keukueh, “Tidak ya tidak!” Jika akhirnya izinnya turun hanya untuk ke Dieng itu
juga karena usaha-usaha yang disebutnya kurang kerjaan. Setiap ngobrol selalu
kusinggung tentang Dieng, “Alah, aku tahu arahnya. Minta ijin lagi? Tidak ya
tidak!” Masih bersabar, aku tidak kurang akal, lewat video youtube dan
gambar-gambar hasil download kutunjukkan keindahan-keindahan gunung. Sampai
pernah saking isengnya aku membaca artikel di kaskus keras-keras, Nduk, Pacarilah Pendaki Gunung. Akhirnya
ibuku mengerti, “Oalah, kamu lagi jatuh cinta sama anak mahapala? Ngobrol dong!
Kok kayak ndak punya pendirian to kamu. Dekat sama pendaki gunung, ikut-ikut
naik gunung. Senengmu kalau kluyuran kan kota ke kota, jajan sembarangan,
masuk-masuk pasar, nyari museum gratis. Sejak kapan suka gunung?”
“Bukannya dari
dua tahun yang lalu aku sudah sering minta ijin naik gunung, Bu? Tapi nggak
pernah boleh.”
“Emang iya? Tak
kira cuma kebiasaanmu gampang kepinginan loh minta ijin yang dulu-dulu itu.
Elhadala malah kenal mas-mas begituan, malah semakin nyecer aja. Ati-ati kalau
sudah kenal gunung, awas aja nanti kalau badanmu kurus kering gara-gara ngirit
makan buat beli peralatan! Awas aja kalau kuliahmu berantakan gara-gara keseringan
naik gunung!”
Ya Tuhan, betapa
alaynya ibuku, aku hanya ijin untuk ke Sikunir kan? “Sikunir itu pendek, Bu.
Bukan ndaki beneran. Tempat wisata, aksesnya gampang mirip Bromo.”
“Iya sekarang
cuma Sikunir, bulan depan Merbabu, bulan depannya Arjuna, bulan depannya lagi
Semeru. Berani taruhan kamu pasti kalau diijinin sekali jatohnya nglamak.”
“Kenapa sih
harus sealay itu. Cuma naik gunung.”
“Heh, naik
gunung itu ndak ‘cuma’ ya! Kalau kamu kecemplung jurang terus anak perempuanku
ilang, piye? Kamu bisa tanggung jawab gantiin anakku?” Lhah, kan anak perempuannya hanya aku?! Ibuku memang extraordinary. Suka bingung aku
dibuatnya.
Singkat cerita
usahaku membuahkan izin, sujud syukur. Empat bulan tidak bertemu kamu Egam,
sangat rindu. Dan seindah-indahnya rindu adalah menebasnya dengan ngluyur bareng. “Kamu jangan berdua
doang jalannya. Aku lebih lega kamu ngluyur sendiri daripada berduan. Jangan
mau diajak tidur setenda, itu anak mahapala kalau mau pakai tenda biar saja,
kamu nyewa kamar penginapan saja.” Kebawelan ibuku yang merajalela.
Manusia penuh
imaji selalu mempunyai rencana-rencana keren di otak mereka, namun Tuhan bisa
semau-Nya memberi takdir. Bencana alam melanda kota kampung halamanku. Pusat
bencana lumayan jauh dari rumah, namun dampaknya sangat besar kami rasakan.
Banyak fasilitas umum rusak, termasuk sinyal provider, otomatis komunikasiku
dengan Egam terganggu kembali. Sebuah panggilan jiwa mengharuskan aku lebih
lama tinggal di kotaku untuk membantu korban bencana. Wisuda Egam? Aku tidak
bisa datang, kurasa Egam juga akan mengerti akan lebih berguna hadirku di sini,
tenagaku lebih dibutuhkan. Hanya sempat kukirimi dia ucapan selamat wisuda
melalui foto tulisan yang dibawa anak-anak SD. Aku mengulur waktu liburan, berarti
menunda pula waktu bertemu, bahkan menghapus rencana ngetrip bareng.
Aku kembali ke
Semarang tepat di pagi pertama perkuliahan awal semester ganjil dimulai.
Komunikasi dengan Egam terganggu akibat sinyal buruk kupikir telah usai ketika
aku telah kembali dari kampung. Ternyata tidak, mungkin Egam sedang sibuk
mengurus legalisir, yasudah. Beberapa hari kemudian dia mengajakku sarapan
bareng, tapi aku terlanjur ada kelas di kampus. Kalau dia sungguhan rindu padamu Kayana kenapa tidak secepatnya
menemuimu? Menelponmu saja tidak, mengirim sms juga sekadarnya. Egam aku
kembali ragu. Masih iseng lagi, aku membuka time
line twitter-mu. Selama di kampung aku hanya mengupdate jejaring sosialku
sendiri, itupun jarang, hanya laporan kepada teman-teman yang sedang menggalang
dana untuk korban bencana alam. Selain sinyal agak terganggu, duduk leha-leha
dan membuka-buka time line orang
bukan kebiasaanku. Egam, apa maumu? Diantara mensyen-mensyen panjang itu aku
menemukan akun seorang perempuan, perempuan yang sama dengan yang ada di foto
air terjun. Kau memensyennya dengan ‘Sayang’aku bisa memaklumi, hobimu bercanda
dan selalu akrap aku tahu itu. Lalu satu balasan mesyen yang membuatku sangat
kecewa. Tepat saat bencana alam itu melanda kotaku, saat sinyal handphone-ku
terganggu. Duh, kenapa perempuan yang jaraknya ratusan kilometer dari pusat
bencana ini yang terus kau tenangkan? Begitu maksutmu menyayangiku, Egam?
Aku tidak sebodoh
itu untuk menghakimi, kusempatkan bertanya siapa perempuan itu. “Kamu kenapa?”
hanya itu jawabmu. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak pernah mampu
kutanyakan, terlalu banyak kesimpulan yang harus kubuat sendiri. “Aku sayang
kamu, udah itu aja. Harus dibuktikan bagaimana lagi? Kalau kamu tetap tidak
percaya, yasudah. Aku bisa apa lagi?” inti percakapan kita lewat layar yang
tidak terlalu kuingat detailnya, intinya begitu. Mungkin aku yang terlalu
kekanak-kanakan, cemburuan, terlalu perasa. Perempuan setengah masih abege yang
masih sulit memahami, Egam, kau terlalu penuh teka-teki.
^
Diantara
tumpukan cemburu, jejalan ragu, dan ketidak mampuanku memahami aku bilang,
“Benar katamu dulu. Aku memang sebaiknya tidak jatuh cinta.” Pikirku dulu, perbedaan usia bukan masalah
besar. Ternyata usia dan pola pikir itu hampir selalu sejalan. Labil, aku
menyadari itu. Ya, aku masih sering terlalu kekanak-kanakan, semauku sendiri,
dan petakilan. Perempuan di persimpangan masa akhir abege. Jangkauan otak dan
hati untuk memahami seorang Egam masih terhenti di tengah jalan. Sampai kapan
aku akan memahami caranya mencintai, rasanya terlalu rumit dimengerti. Aku
sering kecewa, mungkin Egam juga, aku sering terlalu rindu, tapi entah
bagaimana Egam aku tidak tahu.
Sore terakhir
aku bertemu dia saat hatiku masih terlalu dibakar cemburu masalah mensyen
twitter. Egam datang menemuiku, aku masih saja angkuh. Menyembunyikan rindu,
mengelabui hati, menutup diri dengan bisikan-bisikan yang kunamai rasionalitas.
Rasionalitas? Entahlah. Aku hanya lelah dipermainkan labirin tanpa clue. Kisah ini berakhir dengan pesan
panjang tentang perasaanku kepadanya, betapa aku sangat menyayanginya. Kembali
lagi kepada takdir. Beberapa hari setelah wisuda Egam pulang ke kota asalnya.
“Waktuku buat kamu sudah aku cukupkan selama aku di Semarang. Kamu ingat kan
aku benci LDR? Kamu baik-baik di situ ya”
Klise. Kisah
cinta macam apa? Perempuan yang mencintai dalam ilusi, ketika orang yang
mencintainya ada dia biasa saja, ketika seseorang itu pergi baru dia lantang
meneriakkan cinta. Egam, inginku meneriakkan cinta sedari dulu, membalas segala
tulus dan kesabaranmu, mungkin hanya terlalu lugu untuk mengulur waktu bahkan
menunggu. Yang kutahu adalah dari setiap tangis ada beberapa bujur tisu yang
harus kubuang setelah bercampur ingus dan air mata. Seperti ada beberapa hal
yang harus kutinggalkan, mungkin tentang kekanak-kanakan, lugu, petakilan,
asal-asalan, dan mungkin-mungkin yang lain. Lalu aku mengambil sebujur tisu
baru, seperti aku mengambil pendewasaan dari ketidakmengertian. Sempat kukirim
pesan untukmu aku ingin terus mencintai tanpa pernah peduli. Bodoh, padahal ada
masa mencintai tanpa pernah memenangkan hati itu lebih sakit, jauh lebih
menyiksa. Itulah saatnya aku menelan kerelaan, melepas, dan meraup pendewasaan.
Egam, aku yakin saat inipun kau telah bahagia. Jika bukan lagi aku yang bisa
memenagkan hatimu itu, pasti kau telah menemukan seseorang yang lebih pantas.
Mungkin yang pernah begitu gigih memperjuangkan cinta, atau yang sedang sama-sama
belajar denganmu memperjuangkan rasa. Sedang memang aku sudah bukan lagi bagian
dari perjuangan itu. Persetan dengan jarak, persetan dengan LDR, ini semua
takdir, itu saja. Toh cinta tak pernah mau tahu kemana dia akhirnya tumbuh dan
berlabuh, pun hingga melerai dan menyudahi. Rasaku tidak usai, hanya bergeser,
tidak untuk menangkup hatimu utuh, hanya menyublim diantara senyum bahwa kita
pernah punya kisah.
^selesai^
kisahnya menarik, dan kebetulan aku juga pernah mengalami hal yang sama.. hahhaaa... ternyata kalau berteman dengan orang yang supel, masalah utamanya pasti dikira ngasih harapan... :D.. satu hal yang perlu dicatat, "kamu keren", apa yang telah dialami bukan menjadi beban hidup, tapi menjadi cermin untuk selalu berkarya... sukses ya.. salam..
BalasHapusHai mas,trimakasih sudah mampir.
HapusSalam :)