Halo
Nak, apa kabar? Kemarilah Sayang, ibu akan menceritakan satu cerita sederhana.
Nak, jika mungkin kau pernah mendengar ada namanya jatuh cinta pada pendangan
pertama, ibu sedang mengalaminya, Sayang. Ibu jatuh cinta, jatuh cinta pada
pendakian pertama. Jatuh cinta dengan gunung dan ingin jatuh cinta terus. Sumbing 3371 mdpl. Kau tahu Nak, kaki ibu
cekot-cekot, wajah ibu yang sudah gelap sekarang malah bersemburat merah
seperti terbakar, kulit perih, mata juga perih, bibir pecah-pecah, beberapa
lecet belum sembuh, tapi Nak, satu hal, ibu bahagia, sangat bahagia.
Ibuku
(nenekmu) akan menngomel macam-macam kalau ibu minta ijin naik gunung. Pernah
sekali waktu ibu nekat berbohong naik gunung Ungaran, sialnya boro-boro muncak,
baru sampai tempat nge-camp ibu sudah
sakit-sakitan. Restu ibu, Nak, penting! Kalau akhirnya nenekmu memberi ijin
dengan ikhlasnya ibu juga heran, kok bisa?
Minggu,31
April 2014. Ini beneran mau naik gunung?
Kalau nanti manjanya kambuh terus tetiba nggak kuat, trus minta gendong gimana?
Ada ragu di sana, tapi kalau sekali diijini ibu malah tidak jadi pasti ijin
selanjutnya bakal lebih susah. Baiklah, please
alaynya cukup Geriel! Ibumu ini memang alay nak. Hehe.. ibu bersama
teman-teman telah berkumpul di titik kumpul pertama, SPBU Gedong Sanga. Tetua dari
pendakian ini adalah Mister Adi Panjoel, senior gitu deh, Nak. Jumlah keseluruhan ada tiga puluh orang, kami dibagi
ke beberapa tim, dikelompokkan sesuai kota. Ketua tim ibu Om Gangsar namanya, om
ini juga yang memboncengkan ibu dari Semarang sampai basecamp. Om Arif, om Anton, tante Eka, tante Ami, om Ulum, om Myus, om Fay, om Anggi, ini nama teman setim ibu. Rute perjalanan motor menuju basecamp adalah Bandungan-Temanggung-Parakan-Wonosobo. Di tengah
perjalanan ada juga salah satu motor yang bannya bocor, semua rombongan
menunggu dengan sabar. Kami juga sempatkan makan siang seadanya sembari
menunggu.
Jalur pendakian, nak |
Sebelum berangkat.. |
Pukul
15.00, lima belas motor telah sampai di basecamp
pendakian Sumbing, Dsn Garung, Ds. Butuh, Kec. Kalikajar, Kab. Wonosobo. Ada
dua jalur pendakian, jalur lama dan jalur baru, kami menggunakan jalur pertama.
Melalui jalur ini kami akan melewati tiga pos sebelum summit attack. Dari Dsn. Garung sampai puncak jaraknya kurang lebih
7000 m. Pendakian dapat ditempuh dalam enam sampai delapan jam. 6-8jam dengan
standar apa ya Nak? Standar mas-mbak mahapala mungkin. O iya Nak, di sini
sumber air sangat minim. Ada aliran sungai sebelum pos satu, ada juga sebelum
pos dua diantara tebing, tapi ya itu Nak jangan tanya seperti apa rupanya, iya..
berbau dan berwarna. Saat terpaksa, mau gimana lagi, tetep diminum juga :)
Setiap orang di ransel atau cerrier
masing-masing menggendong minimal tiga liter air, itu juga nantinya sangat
kurang, Nak. Begitulah perjalanan yang ibu sebut membawa bertumpuk pelajaran.
Air tidak akan terasa sangat berarti jika kamu bisa minum sepuas-puasmu, kan,
tapi di sini, Tuhan.. begitulah.
Baiklah
kita lanjut ya ceritanya. Setelah registrasi dan tetek bengeknya, pukul 16.15 ibu
bersama teman-teman berangkat menapaki Sumbing. Nak, teman-teman baru ibu
sangat baik dan pengertian. Belum sampai pos satu sesekali ibumu meringis,
ranselnya berat. Padahal day pack,
belum juga cerrier ya, duh ibumu ini.
Dan tahu kah, tanpa banyak omong, om-ommu, teman-teman ibu itu, langsung
menukar ransel ibu dengan yang paling ringan. Nak, ingatlah ini, ibu berbicara
sebagai perempuan. Perempuan manapun menyukai perhatian dan kebaikan. Kau bisa
menggombali mereka dengan mensyen
tujuh puluh kali sehari di twitter,
tapi yang akan selalu nyantol di otak mereka adalah tindakan, Nak, tidak usah
banyak omong. Entah itu teman, entah itu kekasih. Sekedar membawakan ransel itu
jauh lebih ngena, Nak, daripada gombalan berlusin-lusin.
Breaking is a gold :) |
Ini namanya apa ya... Bentaran ibu search gugel dulu deh.. |
Kaki-kaki
manja ibu rasanya nggak karu-karuan. Track
semakin ke atas semakin menanjak, semakin licin. Sesekali ada bonus berupa
track datar sekitar lima sampai sepuluh langkah, tapi semakin ke atas semakin
hilang. Tanjakan cukup tajam dimulai di
bukit Genus (antara Selodupak Roto dan Pasar Setan). Kau tahu Nak, nge-track malam hari begini amat rasanya.
Oksigen tentu saja semakin ke atas semakin tipis, apalagi kalau malam hari kan
kita harus berebut dengan tumbuh-tumbuhan. Kabut, angina gunung, apalagi gelap,
iya gelap. Kau tentu tahu ibu takut gelap. Mati listrik di kos-kosan saja
teriakan ibu menggema sampai teras. Dulu ibu tidak percaya saat ada yang bilang
seperti ini, “Kenapa harus takut gelap kalau ada yang indah dan cuma bisa
dilihat saat gelap?” Nak, sekarang ibu percaya. Kau tahu dengan kegelapan di
tempat seperti ini ibumu kelihatan sangat norak, memekik-mekik kegirangan saat
menemukan langit keren dan city view
dari ketinggian. Subhanalloh, ibu speechless.
Kau penasaran, Nak? Ah tidak perlu ibu cerita secara detail, biar nanti kau
membuktikannya sendiri ya… O iya, nge-track
malam ada untungnya juga, kita tidak perlu melihat jurang-jurang menganga itu,
duh.. membayangkan! Alah, ibumu ini juga takut ketinggian, takutnya banyak
banget ya Nak, dan tidak boleh nurun ke kamu.
Cantik ya... kek ibu, lhoh :p |
Kami
bertiga puluh mendaki beriringan, sesekali, “Break!” sitirahat dan membagi
bekal. Kacang Sukro terenak, biscuit mari terenak, roti sobek terenak, semuanya
sangaaaat enak. Kita juga harus, wajib! Wajib disiplin air! Minum seteguk,
basahi bibir, kulum sebentar, baru teguk. Cadangan air harus di hemat. Mau bagaimana
lagi kondisi adanya begini. Udara semakin dingin Nak, ingus membanjir, potongan
koyo di temple di hidung, atau mengoleskan Coterpain. Kau mau bilang ini jorok
atau apa Nak, di udara dingin begini orang kentut juga berganti-gantian. Kadang
tawa-tawa juga pecah, sebisa mungkin jangan diam terlalu lama. Iya jenuh lo
Nak, kalau jenuh pasti rasa lelah semakin terasa. Ibumu ini semakin
terseok-seok, hanya melangkah saja tahunya. Belajar mempercayai orang, itu
intinya Nak. Cahaya senter tetap remang-remang di tengah tempat seperti ini.
“Depan batang pohon, kiri jurang, kanan lubang, awas licin banget, naik lumayan
tinggi,” suara-suara seperti itu yang menuntun langkah kami. Kadang kami juga
harus berhenti melangkah, berbagi jalan dengan pendaki yang hendak turun.
Sekitar
pukul sebelas malam. Ada tanah agak lapang, setelah Pos 3 Selodupakrata,
sebelum Pasar Setan. Sebagian memilih mendirikan dome di sini. Ada beberapa tempat yang bisa dibuat nge-camp. Pos 2 misalnya area agak rata bisa
digunakan mendirikan 3-4 dome. Di pos
3 cukup untuk 2-3 dome. Area Pasar
Setan, Pasar Watu juga Watu kotak.
Tim
ibu memilih tetap naik dan mendirikan dome
di Pasar Setan. Tempat ini lumayan luas untuk mendirikan dome. Pemandangannya juga sangat bagus, Gunung Sindoro dan kota
Wonosobo sekitarnya terhampar. Banyak pendaki yang memilih mendirikan dome di sini. Namun menurut info yang
ibu aca, tempat ini rawan badai. Hampir keseluruhannya rerumputan dan hanya ada
beberapa pohon kecil. Kondisi tanahnya adalah tanah merah berrpasir.
Kira-kira
setengah dua belas malam kami sampai. Om-ommu yang budiman itu dengan sigap
mendirikan dome. Dua buah tenda, satu
untuk perempuan termasuk ibu, satu untuk mereka. Kau tahu, begitu dome berdiri empat perempuan, ibu, tante
Eka, tante Sofa, dan tante Ami langsung meringkuk di dalam tenda. Dan kau tahu,
duh lagi-lagi ibumu malu, om-ommu yang perkasa itu dengan kerennya memasak
untuk kami. Lhah harusnya yang perempuan
toh yang masak. Hehehe… Lapar memang lauk terenak sejagat, ibu kalap Nak,
hanya mie instan rasa campur-campur tapi lahapku bukan kepalang.
Dingin
benar-benar menyusup ke tulang, hingga mata ibu tetap mentereng. Hampir pukul
dua pagi ibu mendengar ada obrolan di luar tenda. “Bang, lagi bikin api ya?”
Ibu ngasal nyeloteh.
“Iya,
Neng. Sini aja kalo mau bikin kopi. Ini ada aer.”
Ibu bergabung
dengan mereka, merebus air sekalian menghangatkan badan. God… kau tahu
pemandangan di depan mata ibu, sumpah, Nak. KEREN! Ibu ingin lompat-lompat
kegirangan melihat yang beginian, tapi kealayan itu untung masih bisa diredam. Hehe...
tahu tidak, tetiba kealayan itu menyempit lalu masuk ke kotakan kecil bernama
hati. Di sana ibu menemukan suara, “Hey, Ghe.. betapa kecilnya kamu!” Iya Nak,
ibu merasa sangat kecil, apa jadinya kalau tangan Tuhan menyentil sedikit saja,
bisa apa? Eh, jangan kau bilang ibumu seperti mamah Dedeh, ini hanya sebagian
efek yang ditimbulkan gunung, Nak, katanya.
Bersama
beberapa om dari Bekasi ini ibu menghabiskan segelas energen sambil mendengar
cerita-cerita mereka, kami juga menunggu jam untuk summit attack. Saat beberapa orang mulai naik ke puncak, ibu
berusaha membangunkan teman-teman, tapi sepertinya mereka sangat lelah. Om yang
dari Bekasi bilang, “Nggak usah ngoyo ngejar sunrise, Neng. Saya mah ndaki dari jaman SMP juga baru lihat sunrise beneran dua kali.” Ibu jadi
teringat kata-kata om Gangsar, “Puncak itu bonus.” Begitulah Nak, yang
terpenting adalah menikmati perjalanannya, bukan kengoyoan yang kadang berujung
konyol. Tidak perlu jaim, kalau kuat ya bilang saja kuat dan lakukan, kalau
tidak, ya jujur saja, simple.
Your mom's campgroud, Dear. Taken from above. |
Baiklah,
tiba saatnya bercerita tentang summit
attack, yang tetep meaningful. Kau
tahu tante Ami Nak, yang memegang teguh prinsip memakai rok meskipun pendakian,
yang sering mengingatkan ibu sholat dan rapalan doa yang harus dibaca,
perempuan ini semangatnya jempolan. Badannya agak bermasalah, Nak. Bahkan di
jalan menuju puncak dia sempat tiga kali muntah. Duh Nak, ketar-ketir melihat
dia begitu, tapi semangatnya mengalahkan mual. Dia melangkah setapak demi
setapak, beberapa langkah berhenti istirahat, tapi terus melangkah Nak, dan
sampai pula dia di puncak. Lhah.. ibumu ini kalau terlalu banyak mengeluh
harusnya dijitak, tante Ami yang sedang tidak fit saja bisa kok. Keren ya… Nak, sebenarnya ada puncak sejati gunung Sumbing. Puncaknya banyak ya? Iya, jadi tempat yang ibu jejak, yang ibu sebut puncak adalah Puncak Buntu. Padahal ini belum sepenuhnya puncak. Jadi gimana dong? Intinya tempat tertinggi Sumbing ada di Puncak Sejati. Untuk sampai di sana harus melalui Puncak Kawah lalu dilanjut rock climbing untuk sampai titik triangulasi sejati. Sebagian pendaki telah menyebut Puncak Buntu ini puncak Sumbing. Tak apalah, Sayang.. Kau tahu ini pertanda apa? Pertanda suatu hari ibu harus kembali untuk benar-benar menjejak Puncanknya Sumbing. O
iya, masih tante kece lagi Nak, tante Eka. Perempuan perkasa ini Nak, saat kami
pulang (turun) sendalnya putus, dan tahukah, dengan santainya dia nyeker saja
begitu, padahal keadaan hujan, kabut, dan gelap, masih banyak tante-tante yang
lain, tidak cukup kalau di tulis semuanya.
Nak,
seorang teman ibu yang juga pendaki pernah bilang, “Kalau kamu pingin tahu
watak asli seseorang ajaklah naik gunung.” Terbukti Nak, siapa yang egois,
siapa yang tulus, yang pelit, yang
emosian, yang dewasa, semua kelihatan. Kau tahu, kebaikan-kebaikan kecil sangat
berarti di sini. Satu yang harus kau ingat, berbuat baiklah sebanyak yang kamu
bisa. Kau ingat Tuhan menyayangi orang yang senang berbuat baik. Alah, nasihat
lama… iya nak, tapi kau pasti akan mempercayai ini. Di tempat seperti ini siapa
lagi yang bisa kau mintai tolong selain Tuhan? Dan yang harus kau lakukan
adalah juga berbuat sesuai kesukaan Tuhan. Hanya Tuhan yang maha pemberi
keajaiban, entah melalui orang lain atau bukan. Kebaikan-kebaikan itu bisa
aneka rupa Nak, sini, beberapa akan ibu ceritakan. Saat tante Ami muntah-muntah
ada tiga teman asal Salatiga (geng Tos, mereka selu tos sebelum ngapa-ngapain)
yang merelakan airnya dan menemani kami (tante Eka, om Gangsar, dan ibu) yang
jalannya perlahan. Kebetulan air tim ibu dibawa seorang teman yang sudah jauh
di depan. Geng Tos ini yang merelakan airnya tiap kali tantemu istirahat, atau
om-om dan tante-tante lain yang berbaik hati menunggui juga menyemangati,
lagi-lagi terlalu banyak untuk diceritakan. Ada juga keajaiban yang kami namai Sumber Air
Hercules, penyelamat Nak. Jadi ada cekungan di celah tebing yang menampung air
hujan, di tengah dehidrasi siapa yang tidak girang mendapat beginian Nak. Tempatnya
sangat nylempit, untung teman-teman dari Bandung dan Jogja menemukannya. Banyak
orang-orang baik Nak, banyak kebaikan yang tidak disangka-sangka. Begitulah,
Nak.
Mt. Sindoro, taken from Sumbing. Captured by your mom. |
Masih Sindoro... |
Kalau nanti kamu gede, Choki-choki masih ada nggak ya? :) |
Kalau ibu memetik Edelweis hari ini, berarti ibu ikut menghilangkan kesempatanmu menemuinya
|
Sayangku,
ketika akhirnya ibu sampai di puncak. God… apa yang harus ibu ceritakan ibu
juga tidak tahu. Nak, negeri ini indah, itu saja. Ibu ingin kau juga mengalami speechless yang ibu alami, jadi ibu
tidak perlu bercerita panjang lebar ya, biar kamu penasaran. Nak, terlalu
banyak hal yang ibu tidak mampu tulis. Iya Sayang, mungkin ini masih (hanya )
3371 mdpl. Tapi ini pengalaman pertama ibu, ibumu yang katanya sering alay. Hehe…
kau tahu ibu suka menulis, biar apa, biar jika suatu saat nanti tetiba ibu
pikun atau tiba waktunya dipanggil Tuhan kau tetap bisa tahu hidup macam apa
yang dimiliki ibumu. Anakku, dengan begitu banyak pelajaran yang bisa ibu
punguti dari pendakian, Sayang, tidakkah kamu ingin? Oh tenang, ibu tidak akan
memaksamu menjadi pendaki gunung. Kau bebas memilih menjadi apa saja. Tapi ingat
ini Nak, ketika kamu memilih aktivitas ini ibu akan menjadi orang pertama yang
mendukungmu. Sayang, ibu tidak berani berjanji kita akan hidup dalam keluarga
petualang. Bapakmu (calon bapakmu) toh masih menjadi rahasia langit. Ibu tentu
ingin melihatmu berlarian dengan bapak di Ranukumbolo. Ibu ingin membuatkanmu pancake stroberi di Sembalun. Tapi Nak,
toh belum tentu bisa kan? Ah sudahlah. Tenang saja, Sayang. Kalau toh begitu
tidak bisa, ibu masih punya om dan tante hebat, teman-teman ibu, ibu yakin
mereka pasti mau menjadi temanmu, menjadi gurumu mengarungi alam. Pasti!
Finally.... |
Baiklah,
ibu sudah mengantuk, Sayang. Sudah dulu ya ceritanya. Baik-baik di sana.
Peluk
cium
Aku,
ibumu (di masa depan)
Anakmu kalau baca ini pasti gumun, "Ibuku edan..."
BalasHapusTapi setelahnya anakmu bakal melakukan hal yang mirip dengan yang dilakukan Ibunya dulu, hehehe.
kok edan to mas, terharu kek.. mosok edan'ik :(
Hapuslha sing umum kan wong wedok kuwi panggon e ng pawon, lha iki Ibune malah munggah gunung, hahaha. Yo ora umum tow? Hahaha.
HapusTapi biasanya sih kayak gitu. Temen2 ku yang cewek yg hobinya di alam bebas biasanya itu "bawaan bakat" orangtuanya, hehehe.
Nek aku sih pingine, mbesok... yo anak, yo bojo, yo pawon, yo salon, yo duit, yo alam
Hapushehehe :)
Good
BalasHapusTlimakasiii kakak Fajal :p
Hapusaah kemaren ga jd naik sumbing :(
BalasHapusdijadiin yuh, kakak :D
Hapustrimakasih :)
BalasHapusKeren ge keren :D
BalasHapusEh ada Rizky hehe... pengen bikin cerita yang Merapi Ky, bereng ya mengko :)
BalasHapus