Sudah kodratnya,
perempuan takut menjadi gemuk. Sudah kodratnya perempuan takut jerawatan,
berkomedo, menjadi keriput, berflek hitam, kempot lalu tua. Jika laki-laki ingin
selalu kelihatan lebih pintar, itu juga kodrat. Sebanding, perempuan takut menjadi
jelek, sedangkan laki-laki takut kelihatan bodoh. “Memang sudah kodratnya
begitu, nduk,” kata-kata ibu yang sudah disuapkan ke otakku sejak aku masih
ingusan. Ibuku, perempuan baik itu hanya lulusan SMEA yang menikah umur delapan
belas tahun. Membicarakan gender
teralu kompleks, kata ibu, semua hanya perlu dijalani, aku hanya perlu tahu
kodratku, paham tidak paham toh semua demi kebaikanku. Jika kodrat itu
terkadang membawa printilan yang
menurutmu berat seperti sunting perkawinan orang minang yang harus disunggi di
kepala, itu karena kau yang memprogram seperti itu. Anggap saja ini hanya udara
dari setiap nafas yang tidak pernah telat dihirup hidung, biasa. Karena kau
bisa membuat yang terkesan membelenggu menjadi yang ringan dan wajar, ibuku dan
banyak perempuan lain di luar sana saja bisa seperti itu.
Ketika aku tumbuh
sebagai Sarasvati, aku belum sepenuhnya mengenal kodratku, maksutku kodrat
seperti yang selalu dibahas ibuku. “Perempuan kok nggak mau dandan... perempuan
kok nggak bisa pakai rok... perempuan kok sukanya nongkrong sampai subuh di
kedai kopi... perempuan kok makan nggak ukuran, nggak takut gendut... perempuan
kok lebih suka main poker daripada ke salon... perempuan kok ini, kok itu....”
Memakai rok atau
celana itu urusan kenyamanan, kan? Ya terserah aku dong, nyamanku memakai celana, menurutku itu pilihan. Tanpa dandan
aku juga sudah cantik, toh semua mahkluk bernama manusia asal dilabeli
perempuan pasti dia cantik. Kenapa harus diet? Makan itu enak, menjadi gendut juga
tidak akan membuat pucuk gunung Slamet banjir. Bergaul itu dengan orang-orang
yang klop denganmu, kalau aku merasa nyambung dengan teman-temanku, mengobrol
di kedai kopi sampai pagi, bukan menggosip sore di cafe-cafe mahal, juga ada
hiburan yang kutemukan dari hal kecil, bermain poker misalnya, apa itu salah?
~ Sarasvati, satu
tahun yang lalu~
Selamat malam kotaku.
Terima kasih kotaku, malam minggu ini kamu sangat romantis. Gerimis turun
tipis-tipis, dingin, sehingga ada alasan masuk akal untukku dan dia lebih lama
saling peluk. Aku suka gerimis, hanya gerimis, karena hujan deras sedikit saja
pasti aku cemberut di kamar kos-kosan sambil memeluk guling, pasti aku hanya berkencan
lewat telepon, karena air akan ada di mana-mana, pasti banjir.
Aku melirik jam
tangan, sebelas lebih dua puluh menit. Aku tidak bisa bosan mengobrol dengan
dia. Kami membahas film yang tadi kami tonton. Masabodoh sebenarnya aku tidak
terlalu suka filmnya. Aku hanya ingin melihat matanya yang kadang menyipit
serius, kadang sedikit terbelalak atau mengatup kuat saat dia tertawa. Juga
suaranya, tawanya, wajahnya, aku merasa sebagai pemilik malam dengan besama
dia.
“Sayang, aku laper,”
kataku disela-sela obrolan kami.
“Hmm?”
“Aku laper,” ulangku.
“Mau makan apa?”
“Jam segini. Em...
depan ada sevel, donat sama coklat seduh juga lumayan.”
Kami menepi. Masuk ke mini market, aku
mengambil dua potong donat dan coklat instan sachet, dia menambahkan sekantong apel malang dan air mineral satu
setengah liter. Dibayarnya belanjaan lalu menyeduhkan coklat untukku. Aku
menunggunya di bangku di depan mini market.
“Ini, tuan putri.”
Dia tersenyum, meletakkan donat dan coklat seduh di depanku.
“Trimakasih, pangeran
ganteng.”
Aku mengolesi
tanganku dengan hand sanitizer lalu
melahap donat bertoping kacang.
“Laper banget ya?”
Dia hanya memandangiku sambil tersenyum.
“Ho’oh.” Aku
mengambil donat yang belum disentuh, mendekatkan ke mulutnya.
“Enggak, buat kamu
aja.”
Senyumku melebar.
“I love your smile,”
bisiknya. Perutku tergelitik. Hmm...
“Sayang..”
“Ya?”
“Pantes ya pipi kamu
bulet, bikin gemes.”
“Emang kenapa?”
“Doyan banget makan
donat. Baru tahu kalau kamu suka sama donat”
“Enak sih. Apa aja
asal enak aku suka, hehe...”
Donat kacang tidak
membuat ujung bibirku belepotan. Ah, harusnya tadi kumakan yang coklat, pasti
dia mengelapnya kalau aku belepotan, dan waktu akan berhenti tiga detik. Halah!
Aku meneguk coklatku
yang mulai hangat. Tangan kiriku digenggamnya. “ Kamu tau nggak bedanya
perempuan sama cewek?” Dijawabnya sendiri, “Perempuan itu cantik, kalau cewek
itu cuma ngegemesin atau imut-imut.”
Jleg! Donatku berhenti di
tenggorokan, butuh beberapa detik sampai aku mampu menelannya.
“Am I childish?”
Dia menatap dalam
pada mataku, “Bukan gitu, Sayang.”
“Terus?”
“Sebenarnya aku
pingin ngomong kalau kadang kamu masih egois.” Mataku beratanya-tanya. “Sama
badan kamu sendiri, maksutku.” Dia mengambil donat di tanganku yang tinggal
seperempat. “Gini nih. Kamu tahu kan kalau makanan kayak donat ini, jam segini,
itu nggak sehat. Nggak cuma itu, ini juga bakal bikin pipimu tambah tembem.”
Donatku diganti dengan sebuah apel, “ Kalau malem, makan ini aja ya. Minum air
putih yang banyak juga bikin kamu awet cantik.” Ditutup dengan kecupan lembut
di keningku. Aku terbengong-bengong.
~Sarasvati, sembilan
bulan yang lalu~
Minggu, hampir jam
lima sore.
Iya memang sore
hampir habis. Kebiasaanku, jorok dan sangat jahiliyah. Mandi sekenanya, mandi
sore semaunya. Libur kuliah, tidak ada acara, hanya membaca buku di kamar. Toh
kasur dan gulingku tidak protes jika aku menggulung diri saat bauku kecut.
Keluar ya, aku di depan
Sebuah pesan singkat
yang masuk ke ponselku. Aku keluar. Ada dia, menungguku di kursi panjang dekat
pintu, tertunduk memainkan ponsel.
“Hey,” sapaku
serenyah keripik kentang.
Dia berpaling dari
ponselnya, berdiri, dan memelukku sekilas.
“Udah jam segini,”
katanya sambil duduk.
“Apa aku lupa kalau
kita janjian?”
“Enggak.”
Kami duduk.
“Kok, tadi bilang,
‘udah jam segini’?”
“Enggak aku cuma
mampir, kangen kamu aja.”.... “Udah jam segini, kamu belum mandi?”
Aku cengengesan,
“Belum, males banget mau mandi, Sayang. Entaran lah,” jawabku sekenanya.
“Kenapa, bau ya?” lanjutku.
“Enggak sih.”
Aku tersenyum.
“Tapi kalau udah
mandi kan bersih, wangi, cantik.” Matanya memandangku, “Terus, kamu bisa lebih
cantik lagi kalau nggak pakai baju gembel kayak gini.” Sekarang aku tahu, di
mata dia hot pants denim guntingan
sendiri, tank top yang dibalut kemeja
gombrong kotak-kotak adalah pakaian gembel. “Itu rambut bagus, Sayang. Jangan
dibiarin kusut gitu dong, diukel-ukel lagi.” Aku tertegun bingung harus berbuat
apa, “Iya, maaf ya,” apa salahku kalau minta maaf, aku juga tidak tahu.
Setidaknya nanti malam aku akan sulit tidur, terbayang omongannya.
~Sarasvati, delapan
bulan yang lalu~
Jika perempuan punya Pra Menstruasi Sindrom, apa laki-laki
juga punya? Sedari tadi aku mengulang-ulang pertanyaan bodoh ini, hanya di
benakku. Dia, cuek dan dingin. Kami pulang dari toko buku, dia mengantarku
membeli beberapa buku. Heran, kenapa tiba-tiba dia diam, tidak antusias
menanggapi obrolanku. Kusimpulkan bahwa laki-laki punya masa dimana dia juga
tiba-tiba nggak mood, ya sudahlah aku
hanya diam sepanjang perjalanan pulang.
“Kamu masih makan
malem ya?” tanyanya tiba-tiba.
Aku yang sedang
melamun gelagapan, “Udah enggak kok,” kataku. Iya aku berbohong, aku masih
sesekali makan malam, sebuah apel hanya akan nyelempit di pojokan perutku, sangat tidak kenyang.
“Kamu gendutan.”
“Masak sih? Aku diet
kok, kayak saran kamu.”
Hening.
“Dua cewek tadi, temen
SMA-ku. Yang bajunya navy itu
mantanku.”
Yang tadi di toko
buku? Mbak-mbak cantik yang setinggi tiang listrik dan kerempeng seperti
triplek? Batinku.
“Kapan ya badanmu
sebagus itu?”
~Sarasvati, tujuh
bulan yang lalu~
Kamar kos-kosan, jam
sembilan malam.
Tangisku pecah,
bahkan sebelum tadi sampai di dalam kamar. Teman-taman tetangga kamar
penasaran. Pulang kencan, menangis, kenapa? Putus? Terbata-bata aku
menceritakan semuanya. Tidak, ini tidak separah itu, aku masih pacarnya. Hanya
saja sakit, sakit sekali.
Lalu hening, hanya
suara tangisku yang semakin mengecil.
“Kamu mau sampai kapan
bertahan, Ras?” akhirnya hening terpecah.
Duh, pertanyaannya....“Aku
sayang dia, Yu.” Sudah kubilang ini tidak separah itu.
“Kamu yakin dia
beneran sayang kamu?”
“Iya, Li. Aku yakin.
Dia juga sama,” masih kataku.
Aku menemukan
wajah-wajah nyinyir teman-tamanku. Mimik muka keheranan dan kasihan.
“Dia terang-terangan
bilang malu jalan sama kamu.”
“Aduh yang paling
nyakitin itu dia bilang dia malu gara-gara kamu gendut kayak ibu hamil. Tuhan,
itu nyakitin banget, bibirnya terbuat dari apa!”
“Bilang kulitmu item
kayak kopi, berminyak, kurang alus, waxingnya kurang bersih, apa lagi, kamu
dicela-cela apa lagi? Kurang ajar!”
Air mataku kembali
deras, mulutku bisu.
“Ganteng juga nggak
pol-polan,
tuntutannya sejagat. Diapain sih kamu sama dia sampek mau berdarah-darah gini
berkorbannya?”
“Pakek semar mesem kalik tu orang. Inget
satu hal, sayang yang sebenarnya itu menerima apa adanya.” Salah satu
mengangkat mukaku yang sedari tadi tertunduk. “Jangan bego! Cowok bukan cuma
dia doang.”
Malam semakin jauh.
Aku sudah sendirian di kamar. Hatiku terus bertanya. Jika aku tahu ini cinta,
kenapa aku harus ragu. Kenapa aku harus bertanya ‘mau bertahan sampai kapan’.
Iya, memang ngilunya bukan main. Kamu mendengar orang yang kamu sayangi berkata
padamu dia malu berada di keramaian denganmu karena kamu gendut seperti ibu-ibu
hamil. Atau saat sering kali dia protes karena menurutnya kamu terlalu malas
merawat diri. Iya, pasti semua perempuan juga akan merasakan apa yang
kurasakan, saat seseorang yang kutitipi hatiku menyuruhku diet, menyuruhku
lebih rajin konsultasi ke dokter kulit, menyuruhku lebih teliti memilih
pakaian, menyuruhku selalu tampil fashionable,
menghentikan kebiasaanku tidak mandi waktu libur, menyuruhku berhenti
bergadang, menyuruhku rajin berolahraga, apa semua itu salah? Mungkin hanya
caranya saja yang terlalu kasar. Aku memang bandel. Dia sudah bicara halus,
menginagatkan secara tidak tersirat, tapi tak kuhiraukan.
Tuhan, malam ini aku
hanya butuh pendengar yang akan membuatku merasa lebih nyaman saat aku selesai
bercerita. Aku sadar sepenuhnya jika setiap berkata ‘aku juga cinta sama kamu’
selalu membawa konsekuensi. Jika aku bertahan, itu murni karena kesadaranku,
bukan ketololan atau bahkan guna-guna. Aku masih sangat mencintainya. Tuhan,
mengalami seperti yang tadi saja rasanya sudah sangat sakit. Jangan tambahi
lagi perihnya dengan membiarkanku merasa bahwa aku akan mati konyol karena
kebodohanku. Ketika semua orang menganggapku bodoh, aku ingin bertanya,
bukankah cinta memang sering membuat kita bodoh dan irasional.
~Sarasvati, tiga
bulan yang lalu~
Telingaku menangkap
bunyi alarm. Mataku membuka tanpa paksaan. “Terimakasih untuk kesempatan hidup
hari ini, Tuhan,” bisikku pelan. Tiga bulan belakangan inilah rutinitas
pertamaku setelah membuka mata, senyum selebar mungkin dan berterima kasih
kepada Tuhan. Selanjutnya aku akan pergi ke kamar mandi, membersihkan diri,
berwudhu lalu kembali untuk sholat Subuh. Usai sholat aku akan bersiap-siap.
Pagi yang cerah di bulan Januari,
jarang terjadi. Biasanya kalau tidak mendung, pasti hujan.
Jemariku mengikat
tali sepatu, musik telah mengalun di telinga,
kugelung rambutku. Melangkah dan mulai lari pagi. Jogging trek taman, sepuluh
putaran. Aku menikmatinya, terasa badanku jauh lebih segar daripada yang dulu. Jauh
lebih tertata itu ternyata menyenangkan. Keajaiban apa yang bisa membuatku
bangun subuh dan lari pagi begini macam. Takaran cangkir kopi juga semakin
berkurang, begadang sampai larut sudah tidak pernah. Trimakasih, aku telah
dipaksa untuk belajar banyak hal. Dan aku mulai tahu bagaimana mengubah paksaan
itu menjadi kebutuhan, ringan dan terbiasa, sama seperti menghirup nafas.
^
Saat aku kembali ke
kos-kosan dari lari pagi sebagian temanku baru keluar kamar, mengambil handuk
dan kembali lagi masuk untuk mandi.
“Udah turun berapa
kilo?” tanya temanku saat aku melewatinya.
“Terakhir nimbang
udah empat kilo,” kataku.
“Wah selamat ya. Iya
kamu langsingan, kelihatan kok. Tambah cantik juga, kapan-kapan ngikut ke
doktermu ya.”
“Ho’oh.”
Aku masuk kamar.
Istirahat sebentar, melihat kalender di atas meja, ada angka 81 di atas tanggal
hari ini. Sit up delapan puluh satu
kali. Semangat!
Setelah sit up minum air putih sebanyak yang aku
kuat. Sepertinya tiga gelas untuk pagi ini sudah cukup. Aku
mengambil gelas lain dan menyiapkan sarapan. Segelas susu kalori rendah yang
akan membuatku merasa kenyang, kuseduh bubukan rasa strawberry ini, nanti
setelah mandi baru kuminum.
Ponselku bergetar.
Selamat pagi, tuan putri. Nanti aku jemput ya.
Kapan kita mau kemana, pangeran?
Setengah sembilan ya, ke pantai. Sama tementemenku
Ke pantai? Sama temen-temenmu? :(
Matahari aja cerah. Kenapa sedih?
Panas, item. Terus, temen-temenmu.......
Pakai sun block yg banyak yah, haha... item juga aku sayang kok :*
Temen-temenku kenapa? Aku malah sebenernya takut ngajak kamu, takut mereka
naksir
Ah kamu. Yaudah aku siap-siap dulu yah. Jangan gangguin sejaman ini ya,
mau luluran sama maskeran akunya. Dadah :*
Iya... iya... See you... I LOVE YOU
.......
Sayang kok nggak dibales sih?
Ih bawel ini entar maskerku retak. I know you know my answer, Sayang
Haha... aku bawel juga Cuma sama kamu, Sayang. Eh satu lagi, foto yang
kemarin kamu kirimin.... cantik, langsing lagi.. ciyeee yang turun empat
kilo... tambah sayang, deh :)
Apa kau sering
mendengar, “Fisik itu nomor kesekian, belakangan lah.” Pertanyaannya berapa
persen yang hati, otak, dan perbuatan seiring mengamini hal itu. Apalagi saat
laki-laki bilang begitu, tidakkah pabrik kosmetik akan cepat bangkrut jika
separuh saja dari laki-laki normal di bumi ini mengesampingkan kecantikan dari
seorang perempuan? Kau tahu, aku memang terhegemoni, tidak bisa keluar dari mainstream. Aku takut gemuk, takut rabun
fashion, dan belum terbersit niatan
mengeksotiskan badan seperti Agnes Monica. Menjadi cantik dengan standart yang
dibikin iklan dan sinetron striping melalui artis-artis. Memilih tampilan
seperti apa adalah sepenuhnya hakmu. Aku setuju
dengan take line Putri Indonesia, beauty-brain-behavior. Kenapa? Aku
terlalu alay? Biarkan, yang penting aku telah memilih menjadi Sarasvati yang
saat ini. Dan aku bahagia.
-selesai-
Kediri,
3 Februari 2014
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: