Kamis, 06 Maret 2014

Transformasi Sarasvati



Sudah kodratnya, perempuan takut menjadi gemuk. Sudah kodratnya perempuan takut jerawatan, berkomedo, menjadi keriput, berflek hitam, kempot lalu tua. Jika laki-laki ingin selalu kelihatan lebih pintar, itu juga kodrat. Sebanding, perempuan takut menjadi jelek, sedangkan laki-laki takut kelihatan bodoh. “Memang sudah kodratnya begitu, nduk,” kata-kata ibu yang sudah disuapkan ke otakku sejak aku masih ingusan. Ibuku, perempuan baik itu hanya lulusan SMEA yang menikah umur delapan belas tahun. Membicarakan gender teralu kompleks, kata ibu, semua hanya perlu dijalani, aku hanya perlu tahu kodratku, paham tidak paham toh semua demi kebaikanku. Jika kodrat itu terkadang membawa printilan yang menurutmu berat seperti sunting perkawinan orang minang yang harus disunggi di kepala, itu karena kau yang memprogram seperti itu. Anggap saja ini hanya udara dari setiap nafas yang tidak pernah telat dihirup hidung, biasa. Karena kau bisa membuat yang terkesan membelenggu menjadi yang ringan dan wajar, ibuku dan banyak perempuan lain di luar sana saja bisa seperti itu.
Ketika aku tumbuh sebagai Sarasvati, aku belum sepenuhnya mengenal kodratku, maksutku kodrat seperti yang selalu dibahas ibuku. “Perempuan kok nggak mau dandan... perempuan kok nggak bisa pakai rok... perempuan kok sukanya nongkrong sampai subuh di kedai kopi... perempuan kok makan nggak ukuran, nggak takut gendut... perempuan kok lebih suka main poker daripada ke salon... perempuan kok ini, kok itu....”
Memakai rok atau celana itu urusan kenyamanan, kan? Ya terserah aku dong, nyamanku memakai celana, menurutku itu pilihan. Tanpa dandan aku juga sudah cantik, toh semua mahkluk bernama manusia asal dilabeli perempuan pasti dia cantik. Kenapa harus diet? Makan itu enak, menjadi gendut juga tidak akan membuat pucuk gunung Slamet banjir. Bergaul itu dengan orang-orang yang klop denganmu, kalau aku merasa nyambung dengan teman-temanku, mengobrol di kedai kopi sampai pagi, bukan menggosip sore di cafe-cafe mahal, juga ada hiburan yang kutemukan dari hal kecil, bermain poker misalnya, apa itu salah?
~ Sarasvati, satu tahun yang lalu~





Selamat malam kotaku. Terima kasih kotaku, malam minggu ini kamu sangat romantis. Gerimis turun tipis-tipis, dingin, sehingga ada alasan masuk akal untukku dan dia lebih lama saling peluk. Aku suka gerimis, hanya gerimis, karena hujan deras sedikit saja pasti aku cemberut di kamar kos-kosan sambil memeluk guling, pasti aku hanya berkencan lewat telepon, karena air akan ada di mana-mana, pasti banjir.
Aku melirik jam tangan, sebelas lebih dua puluh menit. Aku tidak bisa bosan mengobrol dengan dia. Kami membahas film yang tadi kami tonton. Masabodoh sebenarnya aku tidak terlalu suka filmnya. Aku hanya ingin melihat matanya yang kadang menyipit serius, kadang sedikit terbelalak atau mengatup kuat saat dia tertawa. Juga suaranya, tawanya, wajahnya, aku merasa sebagai pemilik malam dengan besama dia.
“Sayang, aku laper,” kataku disela-sela obrolan kami.
“Hmm?”
“Aku laper,” ulangku.
“Mau makan apa?”
“Jam segini. Em... depan ada sevel, donat sama coklat seduh juga lumayan.”
Kami menepi. Masuk ke mini market, aku mengambil dua potong donat dan coklat instan sachet, dia menambahkan sekantong apel malang dan air mineral satu setengah liter. Dibayarnya belanjaan lalu menyeduhkan coklat untukku. Aku menunggunya di bangku di depan mini market.
“Ini, tuan putri.” Dia tersenyum, meletakkan donat dan coklat seduh di depanku.
“Trimakasih, pangeran ganteng.”
Aku mengolesi tanganku dengan hand sanitizer lalu melahap donat bertoping kacang.
“Laper banget ya?” Dia hanya memandangiku sambil tersenyum.
“Ho’oh.” Aku mengambil donat yang belum disentuh, mendekatkan ke mulutnya.
“Enggak, buat kamu aja.”
Senyumku melebar.
“I love your smile,” bisiknya. Perutku tergelitik. Hmm...

“Sayang..”
“Ya?”
“Pantes ya pipi kamu bulet, bikin gemes.”
“Emang kenapa?”
“Doyan banget makan donat. Baru tahu kalau kamu suka sama donat”
“Enak sih. Apa aja asal enak aku suka, hehe...”
Donat kacang tidak membuat ujung bibirku belepotan. Ah, harusnya tadi kumakan yang coklat, pasti dia mengelapnya kalau aku belepotan, dan waktu akan berhenti tiga detik. Halah!
Aku meneguk coklatku yang mulai hangat. Tangan kiriku digenggamnya. “ Kamu tau nggak bedanya perempuan sama cewek?” Dijawabnya sendiri, “Perempuan itu cantik, kalau cewek itu cuma ngegemesin atau imut-imut.”
Jleg! Donatku berhenti di tenggorokan, butuh beberapa detik sampai aku mampu menelannya.
“Am I childish?”
Dia menatap dalam pada mataku, “Bukan gitu, Sayang.”
“Terus?”
“Sebenarnya aku pingin ngomong kalau kadang kamu masih egois.” Mataku beratanya-tanya. “Sama badan kamu sendiri, maksutku.” Dia mengambil donat di tanganku yang tinggal seperempat. “Gini nih. Kamu tahu kan kalau makanan kayak donat ini, jam segini, itu nggak sehat. Nggak cuma itu, ini juga bakal bikin pipimu tambah tembem.” Donatku diganti dengan sebuah apel, “ Kalau malem, makan ini aja ya. Minum air putih yang banyak juga bikin kamu awet cantik.” Ditutup dengan kecupan lembut di keningku. Aku terbengong-bengong.

~Sarasvati, sembilan bulan yang lalu~




Minggu, hampir jam lima sore.
Iya memang sore hampir habis. Kebiasaanku, jorok dan sangat jahiliyah. Mandi sekenanya, mandi sore semaunya. Libur kuliah, tidak ada acara, hanya membaca buku di kamar. Toh kasur dan gulingku tidak protes jika aku menggulung diri saat bauku kecut.
Keluar ya, aku di depan
Sebuah pesan singkat yang masuk ke ponselku. Aku keluar. Ada dia, menungguku di kursi panjang dekat pintu, tertunduk memainkan ponsel.
“Hey,” sapaku serenyah keripik kentang.
Dia berpaling dari ponselnya, berdiri, dan memelukku sekilas.
“Udah jam segini,” katanya sambil duduk.
“Apa aku lupa kalau kita janjian?”
“Enggak.”
Kami duduk.
“Kok, tadi bilang, ‘udah jam segini’?”
“Enggak aku cuma mampir, kangen kamu aja.”.... “Udah jam segini, kamu belum mandi?”
Aku cengengesan, “Belum, males banget mau mandi, Sayang. Entaran lah,” jawabku sekenanya. “Kenapa, bau ya?” lanjutku.
“Enggak sih.”
Aku tersenyum.
“Tapi kalau udah mandi kan bersih, wangi, cantik.” Matanya memandangku, “Terus, kamu bisa lebih cantik lagi kalau nggak pakai baju gembel kayak gini.” Sekarang aku tahu, di mata dia hot pants denim guntingan sendiri, tank top yang dibalut kemeja gombrong kotak-kotak adalah pakaian gembel. “Itu rambut bagus, Sayang. Jangan dibiarin kusut gitu dong, diukel-ukel lagi.” Aku tertegun bingung harus berbuat apa, “Iya, maaf ya,” apa salahku kalau minta maaf, aku juga tidak tahu. Setidaknya nanti malam aku akan sulit tidur, terbayang omongannya.

~Sarasvati, delapan bulan yang lalu~




Jika perempuan punya Pra Menstruasi Sindrom, apa laki-laki juga punya? Sedari tadi aku mengulang-ulang pertanyaan bodoh ini, hanya di benakku. Dia, cuek dan dingin. Kami pulang dari toko buku, dia mengantarku membeli beberapa buku. Heran, kenapa tiba-tiba dia diam, tidak antusias menanggapi obrolanku. Kusimpulkan bahwa laki-laki punya masa dimana dia juga tiba-tiba nggak mood, ya sudahlah aku hanya diam sepanjang perjalanan pulang.
“Kamu masih makan malem ya?” tanyanya tiba-tiba.
Aku yang sedang melamun gelagapan, “Udah enggak kok,” kataku. Iya aku berbohong, aku masih sesekali makan malam, sebuah apel hanya akan nyelempit di pojokan perutku, sangat tidak kenyang.
“Kamu gendutan.”
“Masak sih? Aku diet kok, kayak saran kamu.”
Hening.
“Dua cewek tadi, temen SMA-ku. Yang bajunya navy itu mantanku.”
Yang tadi di toko buku? Mbak-mbak cantik yang setinggi tiang listrik dan kerempeng seperti triplek? Batinku.
“Kapan ya badanmu sebagus itu?”

~Sarasvati, tujuh bulan yang lalu~




Kamar kos-kosan, jam sembilan malam.
Tangisku pecah, bahkan sebelum tadi sampai di dalam kamar. Teman-taman tetangga kamar penasaran. Pulang kencan, menangis, kenapa? Putus? Terbata-bata aku menceritakan semuanya. Tidak, ini tidak separah itu, aku masih pacarnya. Hanya saja sakit, sakit sekali.
Lalu hening, hanya suara tangisku yang semakin mengecil.
“Kamu mau sampai kapan bertahan, Ras?” akhirnya hening terpecah.
Duh, pertanyaannya....“Aku sayang dia, Yu.” Sudah kubilang ini tidak separah itu.
“Kamu yakin dia beneran sayang kamu?”
“Iya, Li. Aku yakin. Dia juga sama,” masih kataku.
Aku menemukan wajah-wajah nyinyir teman-tamanku. Mimik muka keheranan dan kasihan.
“Dia terang-terangan bilang malu jalan sama kamu.”
“Aduh yang paling nyakitin itu dia bilang dia malu gara-gara kamu gendut kayak ibu hamil. Tuhan, itu nyakitin banget, bibirnya terbuat dari apa!”
“Bilang kulitmu item kayak kopi, berminyak, kurang alus, waxingnya kurang bersih, apa lagi, kamu dicela-cela apa lagi? Kurang ajar!”
Air mataku kembali deras, mulutku bisu.
“Ganteng juga nggak pol-polan, tuntutannya sejagat. Diapain sih kamu sama dia sampek mau berdarah-darah gini berkorbannya?”
Pakek semar mesem kalik tu orang. Inget satu hal, sayang yang sebenarnya itu menerima apa adanya.” Salah satu mengangkat mukaku yang sedari tadi tertunduk. “Jangan bego! Cowok bukan cuma dia doang.”

Malam semakin jauh. Aku sudah sendirian di kamar. Hatiku terus bertanya. Jika aku tahu ini cinta, kenapa aku harus ragu. Kenapa aku harus bertanya ‘mau bertahan sampai kapan’. Iya, memang ngilunya bukan main. Kamu mendengar orang yang kamu sayangi berkata padamu dia malu berada di keramaian denganmu karena kamu gendut seperti ibu-ibu hamil. Atau saat sering kali dia protes karena menurutnya kamu terlalu malas merawat diri. Iya, pasti semua perempuan juga akan merasakan apa yang kurasakan, saat seseorang yang kutitipi hatiku menyuruhku diet, menyuruhku lebih rajin konsultasi ke dokter kulit, menyuruhku lebih teliti memilih pakaian, menyuruhku selalu tampil fashionable, menghentikan kebiasaanku tidak mandi waktu libur, menyuruhku berhenti bergadang, menyuruhku rajin berolahraga, apa semua itu salah? Mungkin hanya caranya saja yang terlalu kasar. Aku memang bandel. Dia sudah bicara halus, menginagatkan secara tidak tersirat, tapi tak kuhiraukan.
Tuhan, malam ini aku hanya butuh pendengar yang akan membuatku merasa lebih nyaman saat aku selesai bercerita. Aku sadar sepenuhnya jika setiap berkata ‘aku juga cinta sama kamu’ selalu membawa konsekuensi. Jika aku bertahan, itu murni karena kesadaranku, bukan ketololan atau bahkan guna-guna. Aku masih sangat mencintainya. Tuhan, mengalami seperti yang tadi saja rasanya sudah sangat sakit. Jangan tambahi lagi perihnya dengan membiarkanku merasa bahwa aku akan mati konyol karena kebodohanku. Ketika semua orang menganggapku bodoh, aku ingin bertanya, bukankah cinta memang sering membuat kita bodoh dan irasional.

~Sarasvati, tiga bulan yang lalu~





Telingaku menangkap bunyi alarm. Mataku membuka tanpa paksaan. “Terimakasih untuk kesempatan hidup hari ini, Tuhan,” bisikku pelan. Tiga bulan belakangan inilah rutinitas pertamaku setelah membuka mata, senyum selebar mungkin dan berterima kasih kepada Tuhan. Selanjutnya aku akan pergi ke kamar mandi, membersihkan diri, berwudhu lalu kembali untuk sholat Subuh. Usai sholat aku akan bersiap-siap. Pagi yang cerah di bulan Januari, jarang terjadi. Biasanya kalau tidak mendung, pasti hujan.
Jemariku mengikat tali sepatu, musik telah mengalun di telinga, kugelung rambutku. Melangkah dan mulai lari pagi. Jogging trek taman, sepuluh putaran. Aku menikmatinya, terasa badanku jauh lebih segar daripada yang dulu. Jauh lebih tertata itu ternyata menyenangkan. Keajaiban apa yang bisa membuatku bangun subuh dan lari pagi begini macam. Takaran cangkir kopi juga semakin berkurang, begadang sampai larut sudah tidak pernah. Trimakasih, aku telah dipaksa untuk belajar banyak hal. Dan aku mulai tahu bagaimana mengubah paksaan itu menjadi kebutuhan, ringan dan terbiasa, sama seperti menghirup nafas.

^

Saat aku kembali ke kos-kosan dari lari pagi sebagian temanku baru keluar kamar, mengambil handuk dan kembali lagi masuk untuk mandi.
“Udah turun berapa kilo?” tanya temanku saat aku melewatinya.
“Terakhir nimbang udah empat kilo,” kataku.
“Wah selamat ya. Iya kamu langsingan, kelihatan kok. Tambah cantik juga, kapan-kapan ngikut ke doktermu ya.”
“Ho’oh.”
Aku masuk kamar. Istirahat sebentar, melihat kalender di atas meja, ada angka 81 di atas tanggal hari ini. Sit up delapan puluh satu kali. Semangat!
Setelah sit up minum air putih sebanyak yang aku kuat. Sepertinya tiga gelas untuk pagi ini sudah cukup. Aku mengambil gelas lain dan menyiapkan sarapan. Segelas susu kalori rendah yang akan membuatku merasa kenyang, kuseduh bubukan rasa strawberry ini, nanti setelah mandi baru kuminum.

Ponselku bergetar.
Selamat pagi, tuan putri. Nanti aku jemput ya.
Kapan kita mau kemana, pangeran?
Setengah sembilan ya, ke pantai. Sama tementemenku
Ke pantai? Sama temen-temenmu? :(
Matahari aja cerah. Kenapa sedih? 
Panas, item. Terus, temen-temenmu.......
Pakai sun block yg banyak yah, haha... item juga aku sayang kok :* Temen-temenku kenapa? Aku malah sebenernya takut ngajak kamu, takut mereka naksir
Ah kamu. Yaudah aku siap-siap dulu yah. Jangan gangguin sejaman ini ya, mau luluran sama maskeran akunya. Dadah :*
Iya... iya... See you... I LOVE YOU
.......
Sayang kok nggak dibales sih?
Ih bawel ini entar maskerku retak. I know you know my answer, Sayang
Haha... aku bawel juga Cuma sama kamu, Sayang. Eh satu lagi, foto yang kemarin kamu kirimin.... cantik, langsing lagi.. ciyeee yang turun empat kilo... tambah sayang, deh :)

Apa kau sering mendengar, “Fisik itu nomor kesekian, belakangan lah.” Pertanyaannya berapa persen yang hati, otak, dan perbuatan  seiring mengamini hal itu. Apalagi saat laki-laki bilang begitu, tidakkah pabrik kosmetik akan cepat bangkrut jika separuh saja dari laki-laki normal di bumi ini mengesampingkan kecantikan dari seorang perempuan? Kau tahu, aku memang terhegemoni, tidak bisa keluar dari mainstream. Aku takut gemuk, takut rabun fashion, dan belum terbersit niatan mengeksotiskan badan seperti Agnes Monica. Menjadi cantik dengan standart yang dibikin iklan dan sinetron striping melalui artis-artis. Memilih tampilan seperti apa adalah sepenuhnya hakmu. Aku setuju dengan take line Putri Indonesia, beauty-brain-behavior. Kenapa? Aku terlalu alay? Biarkan, yang penting aku telah memilih menjadi Sarasvati yang saat ini. Dan aku bahagia.

-selesai-


Kediri, 3 Februari 2014

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: