Selamat pagi Zahraku. Kamar masih
terlalu hangatkah, atau korden dan lampu remang-remang memang begitu membuai.
Pelukmu pada bantal dan guling harus telerai, Sayang. Rasakan, matahari sudah
mengintip, “Brak,” dan jendela kayu disentakkan. Pagi sudah hampir terang,
jangan mengeluh! Ayo bangun dan bersyukurlah.
Langkahmu berat, seperti biasa
masih saja kau tidak ingin bangun sepagi ini. Aku tahu kau akan mengomel,
mencela air yang terlalu dingin, merutuki bak kamar mandi yang hampir tandas
isinya, berteriak mencari sabun wangi favoritmu. Kenapa lagi? Odolnya terlalu
pedas? Sudahlah, mereka yang kebanjiran di luar sana belum tentu punya air
mandi sebening itu. Sabun dan odolmu memang bukan yang paling mahal, tapi
ketahuilah asal badan dan gigimu terbebas dari kuman, apa lagi yang perlu kau
maki-maki, hidup itu sederhana, Zahra.
Aku tidak tahu jika usai mandi
dan ganti baju kau ambil mukena lalu bersujud empat kali itu apa yang sedang
kau lakukan. Ibadah ya? Juga akan selalu kau dengar teriakan ini, “Zahraaa
subuh apa dhuha?” kau hanya asal-asalan menjawabnya, “Setengah. Hehe..” sambil
cengengesan.
Pagi ini gerimis. Sesekali kau
mendongak ke langit. Kenapa, malas pergi ya? Pasti maunya duduk manis berdua
denganku. Kamu kangen? Aku juga. Eh, tapi jangan! Ingatlah dunia luar rumah itu
punya kejutan tersendiri, dan kau tidak akan tahu apa kejutannya jika hanya kau
di rumah saja. Tenang, Sayang, aku akan menunggumu pulang. Jangan cemberut,
bukan pula mauku tak menemanimu, tapi keadaan memaksa kita jadi begini. Sudah
cepat habiskan sarapanmu. Nasi goreng dan telur dadar masih saja kau pelototi,
makanan itu dimakan Zahra, bukan diajak ngobrol mata batin.
“Bekal saja deh.” Ngapain kamu musti menenteng tupperware untuk bekal makan, bukankah nanti
sudah dapat jatah makan siang?
“Ssttt…. diam ya, ini rahasia,
serius!” bisikmu padaku, “Nasi goreng ini nanti biar dimakan temanku.” Aih
pintarnya, kau tidak ingin melihat ibu yang sudah susah payah memasak kecewa.
Kau tidak tega bilang tidak mau memakannya, kau bawakan untuk temanmu supaya
tidak mubadzir. Tapi Zahra, perutmu kosong, apa tidak lapar? Oh aku tahu, kamu
bosan ya dipanggil gendut sama semua orang? Ah baiklah, aku mengerti. Semoga
dietmu sukses ya! Semangat!
^
Hampir pukul tujuh. Kau baru saja
pergi. Rumah tua kita sepi tanpa tawa atau teriakanmu saat memanggilku. Hanya
ada aku, yang lainpun keluar rumah. Duh, jadi pengangguran begini menyiksa,
Zahra. Sepanjang siang hanya kuhabiskan dengan duduk termenung atau sekedar
leha-leha di kamar kita.
Aku memikirkanmu. Apa yang kau
kerjakan di sana sekarang? Aku tahu kau lelah, meskipun setiap pulang kau
selalu cerita dengan gembira, katamu kamu senang ya. Tapi tetap bisa kutangkap
ada lelah yang mengendap. Jika Superman saja pernah mengeluh, begitupun kamu.
Saat kau bilang ingin mandi dengan air hangat, aku mengerti itu karena badanmu
pegal-pegal. Kadang kau bilang kepalamu pusing, pasti berat ya, mulai bangun
tidur sampai nanti tidur lagi selalu dituntut untuk berpikir keras. Mereka
jahat sekali ya, pasti kamu berpikir begitu. “Semua demi kebaikanmu.” dalih
mereka. Zahra, terkadang saat kita belum bisa menentukan yang baik untuk diri
kita sendiri karena keterbatasan kita, yang perlu kita lakukan adalah
mendengarkan nasihat orang-orang tersayang. Setidaknya mereka tidak akan
menjerumuskanmu. Dunia ini kejam, Zahra, ingatlah! Kalau kau malas-malasan ,
dia akan mempecundangimu. Kau akan menciut di pojokan, tersisih tanpa deru.
Jika aku banyak bicara, jangan
mencelaku bawel. Aku bicara hanya denganmu, karena cuma kamu yang paham aku.
Zahra, delapan jam duduk di kursi menghadap meja bagaimana rasanya? Ralat,
berapa jam sih dikurangi istirahat? Yang jelas lama, bokong dan kakimu pasti
sering kesemutan. Kalau musim hujan udara semilir begini tidakkah kau mengantuk,
awas jangan ketiduran! Lalu, kalau nanti musim kemarau, betapa panasnya, semoga
di sana sudah pakai AC, atau minimal kipas angin.
Hooooaamp… rupanya aku ini hampir
tua, Zahra. Sudah jangan ditertawaka
kalau aku sering tidak kuat menahan kantuk. Sama saja seperti nenekmu
yang sudah terlelap di kursi ruang tamu. Aku tidur dulu ya. Tenang, saat nanti
kau pulang jam empat sore pasti aku sudah segar dan wangi, siap memelukmu.
^
“Assalamualaikum,” salammu dengan
nada panjang yang diseret.
Rumah sudah ramai, semua menjawab
salammu. Lihatlah Zahra, tujuh orang ini selalu tersenyum tulus menyambutmu
pulang. Segelas jus telah disiapkan. Jus jambu yang kemarin malam kau pesan,
pasti segar. Ayo kemari, ceritakanlah dengan ceria seperti biasanya. Aku senang
memandangmu tertawa saat bercerita sambil memeluk setoples kacang bawang. Kau
ini memang paling pandai menghidupkan suasana, gelak tawa orang serumah selalu berderai
setelah mendengar ceritamu. Apa, kok melirikku? Sabar ya, nanti Sayang, nanti
ada saatnya kita melepas rindu, tunggu ya. Aku tidak pernah kuasa mengusik
kebahagianmu. Istirahatkan otakmu dengan bermain. Yay! Lihatlah hujan datang,
bukankah kamu suka hujan? Ayo ambil jas hujan dan menari diantara derasnya.
“Zahraaaa, nanti pilek…”
“Zahraaaa, sudah sore..”
“Zahraaaa, cepaaat…”
“Zahraaaaaaaaaaaaa!”
Kau sering bertaanya kenapa
mereka senang sekali berteriak. Sudahlah, ini memang sudah sore, lekas mandi
dan bersiap-siap lagi. Kali ini di rumah, kamu tidak perlu berjalan ke luar
rumah. Kenapa, kamu lelah katamu? Bersabarlah, Zahra. Mengantuk juga? Hanya
sebentar saja, aku temani ya, nanti malam kita benar-benar bertemu.
^
Sudah jam delapan malam. Kakakmu
sudah datang membawa buku cerita. Matikan! Matikan TV-nya! Zahra dia kakakmu,
bukan nenek sihir. Iya, kamu pikir dia jahat selalu memaksamu mematikan TV. Kau
tahu kenapa? Karena dia sangat menyayangimu.
“Sinetron bikin kamu bodoh.” Kau
sering ulang-ulang kalimat favoritnya. Ah Zahraku, jika cerita kelinci, Peter
Pan, kancil, Nabi-nabi, atau legenda Tangkuban Perahu sudah tidak menarik, lalu
apa yang kamu suka? Sinetron? Duh, kakakmu dan semua orang yang menyayangimu
ingin kau tumbuh dengan imajinasi kebajikan yang kuat. Bukan khayalan mendapat
pacar waktu kelas lima SD, berubah jadi konglongmerat karena tertukar dengan
anak orang kaya raya, berbicara elu-gue di lingkungan rumahmu yang masih kampung,
atau menyempitkan baju seragam dan berdandan menor. Zahra, sekali lagi, hidup
itu tidak mudah, kau harus mengerti sedari sekarang. Semuanya tidak semudah sinetron,
Sayang.
Aduh kamu merengek.
“Susu botoool!” teriakmu. Aku
ingin berlari memeluk. Tapi, ah…
“Pindah gelas dong, Zahra! Kamu
kan sudah satu SD, nggak malu ya?”
“Pokoknya botooool!” Iya Zahra,
aku tahu kamu sangat menyayangiku, sama, aku juga.
“Susu boootoool!”
Cup..cup..cup, sudah tidak usah
menangis. Lihat ini aku datang! Ibumu membawakan aku berisi susu cokelat,
spesial buat kamu. Mari melepas rindu, Sayang. Ayah ibumu hanya mengijinkan
kita bertemu sehari sekali, setiap sebelum tidur. Ini juga demi kebaikanmu,
mereka tidak mau kamu obesitas. Lihat perutmu, duh pasti berat sekali kamu ya.
Kamu sudah kelas satu. Ih, kamu
masih ngedot sambil mainan pusar. Sudah hampir tujuh tahun aku menemanimu.
Berjanjilah ketika tiba waktuku untuk dibungkus rapi dan disimpan ibu di
almari, kamu telah menjadi Zahra yang lebih mandiri. Bangun pagi tanpa merengek
minta digendong. Hentikan kebiasaan nonton sinetron. Belajarlah yang rajin,
belajar apa saja dan dengan siapa saja, selama itu positif. Terkadang dari yang
bisu dan tak bisa apa-apa seperti akupun kamu bisa memetik satu atau dua hal
untuk kamu simpan dan jadikan pelajaran.
Zahra, kau tahu dunia ini amat
luas dan indah. Kalau kamu hanya diam, malas, tidak berkembang, kamu akan sama
saja dengan om susu yang masuk ke dalam aku dan kamu lupa minumnya. Tidak
bergerak, terkungkung, lalu basi. Jadilah hebat, Zahra! Jadilah yang kamu mau!
Jangan pernah berpikir mengungkung diri, di dalam botol misalnya. Eh, lupa,
kamu kan bukan Jinny ya….hehehehe…
^
Malam mulai menghening. Zahra,
bocah kecil itu memeluk guling dan masih menggenggam erat botolnya.
-selesai-
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: