Selasa, 21 Januari 2014

Mampir Cirebon


Selamat pagi Cirebon. Tolong bersahabat ya... cukup sudah yang tadi... (baca cerita NYEBELIN pas di Cirebon juga Selepas Subuh) sekarang waktunya jalan-jalan. NICE. Belum genap jam enam, lampu-lampu jalan sebagian masih menyala, jalanan yang saya lewati dari stasiun Parujakan menuju masjid At-Taqwa juga masih sepi. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar tiga kilo, kaki manja saya tidak mengeluh, good.

First Destination Masjid At-Taqwa Cirebon



Letak masjid di pusat kota Cirebon, berdekatan dengan alun-alun, balai kota, dan pusat perbelanjaan. Bentukannya sudah modern, kalau mungkin tetap ada etniknya mungkin mata saya aja yang nggak nangkep. Over all namanya masjid dimanapun selalu teduh, tenang, adem, bikin betah. Saat saya sampai sedang ada pengajian di dalam masjid. Penasaran, saya ikut nimbrung, majlis ta’lim ibu-ibu. Nyempil di belakang dengan tentengan ransel dan baju yang nggak pengajian banget membuat sebagian jamaah memperhatikan saya. Saya cuma senyum dan pasang muka innocent aja. Pengajian membahas tentang peran istri terhadap kesuksesan suami, kalo nggak salah. Hampir setengah tujuh majelis ini usai, ditutup dengan sholawatan. “Mau kemana, neng?” tanya seorang ibu yang mendekati saya. Saya menjawab sekaligus mencocokkan jalur angkot biar bisa muter-muter Cirebon. Segelas teh gratis dari masjid menemani saya dan ibu-ibu pengajian ini ngobrol. Setidaknya ini masih terlalu pagi untuk mulai jalan. Sambil memandangi orang yang mulai memadati alun-ulun untuk joging atau sekedar cari sarapan. 


Menara Masjid At-Taqwa


Keraton Kanoman
Perut memanggil-manggil, saya sempatkan sarapan di nasi jamblang Mang Doel. Ceritanya ada di sini. Selesai sarapan saya langsung meluncur ke Keraton Kanoman. Angkot yang saya tumpangi hanya sampai pasar Kanoman, ternyata untuk sampai ke keratonnya harus jalan lewat tengah-tengah pasar. Di dalam angkot saya bertemu dengan ibu baik hati yang mengantar saya membeli oleh-oleh. Syrup Tjampolay dan kerupuk saya beli di pasar, harganya juga ditawarin sama ibu ini. “Pasarnya ruwet neng, udah ibu gandeng aja ngikut ibu. Tasnya ati-ati, hape, dompet, kamera. Pasarnya tidak terlalu besar tapi mungkin penataannya saja yang beneran semrawut. Jadi bejubel-jubel, becek, kotor, bau. Yes,Indonesian traditional market. Tepat di belakang pasar inilah keraton Kanoman berada. Saya berpisah dengan ibu yang tadi menemani saya. “Jaga diri ya, neng ati-ati. Udah sekali ini aja jangan diulangin maen-maen sendiri. Ibu mah serem bayangin yang enggak-enggak.” Andai direkam ini pasti mirip adegan eptipi. Saya salim tanda terima kasih ke ibunya, dirangkul terus cipika-cipiki. Raut muka ibu ini kayak khawatir banget gitu, bahkan saya diantar sampai masuk, pas mau ninggal ibu ini sempat nitipin saya ke bapak-bapak yang sedang merenofasi keraton, “Nitip ini enengnya ya, pak. Tolong dibantuin kalo misal kenapa-napa.” Sumpah! Terharu.
Keadaan keraton dalam renofasi tidak terlalu keren, menurut saya. Bahan bangunan di mana-mana, perkakas-perkakas, semrawut lagi. Apalah daya saya cuma sempat membaca sedikit di gugel tentang keraton ini. Jadi ini adalah pecahan dari keraton Kasepuhan Cirebon, mereka adik-kakak’an istilahnya. Entah saya yang nggak tahu atau gimana, untuk ukuran tempat yang disebut keraton tempat ini terlalu kecil. Mungkin terpengaruh ketika bilang keraton ya sebesar Jogja atau Surakarta. Blasak-blusuk, tolah-tolah, dengan rabun sejarah stadium lanjut, dinikmati saja, bangunan-bangunan ini. Dominasi pewarnaan kapur memberi ciri khas tersendiri, serta pada dinding-dindingnya yang tertanam piring-piring. “Kenapa iseng banget nempelin piring di sini ya? Kenapa harus piring? Kenapa catnya putih? Kenapa nggak ada yang njawab.... hehe.

Sejatinya ini adalah pintu gerbang


Piring nempel dimana-mana


Keraton Kasepuhan
Saya melanjutkan berjalan menuju keraton Kasepuhan. Setelah bertanya ke warga, saya ambil jalan melalui gang-gang sempit lewat belakang keraton Kanoman. Rumah-rumah di gang ini bentuknya pendek dan cenderung kecil. Seingat saya rumah bentuk seperti ini dinamakan mager saren, dulunya hulu balang kerajaan tinggal di daerah sekitar keraton dan rumahnya ya mager saren itu. Belokan-belokan gang sempit itu bertemu dengan jalan besar. Dari situ belok kiri, jalan lagi satu kiloan. Nanti ada perempatan, belok kanan. Sekitar setengah kilo, di ujung jalan, Keraton Kasepuhan. Kebetulan sedang ada pasar malam di lapangan tepat di depan keraton. Nanya-nanya bego, jadi sejarahnya dulu lapangan ini adalah alun-alun, nah pasar malem ini ibarat jogja itu sekaten.
Tiket masuk keraton Rp 8000,-, ijin membawa kamera Rp 2000,-, guide opsional, fee terserah. Mungkin karena keraton ini induknya, jadi keadaannya jauh lebih keren dibandingkan Kanoman. Arsitekturnya campuran Arab, Jawa, Eropa, dan Cina. Sebagian tubuh bangunan sudah di kapur, sebagian lagi tetap dibiarkan wujud batu merah. Sama, di sini juga tertanam piring-piring di dinding. Ternyata piring-piring ini adalah hadiah dari kerajaan Cina atas pernikahan Sunan Gunung Jati dengan putri mereka. Lalu ada juga piring hadiah dari Amsterdam yang gambarnya pemandangan Belanda, sama satu lagi piring bergambar sejarah Islam.



Namanya juga keraton, lengket dengan hal-hal berbau kepercayaan. Misal di pojokan keraton ada sumur yang dipercayai memiliki berbagai macam khasiat, lalu kereta singa barong yang tersimpan di museum juga dipercaya membawa berkah. Orang susah punya keturunan disarankan memegang alat kelamin singa barong, juga yang belum menikah agar cepat dipertemukan dengan jodohnya. Balik lagi, percaya nggak percaya urusan masing-masing.


Dua macan putih di atas terumbu karang, simbol kedigdayaan keraton




Keraton Kacirebonan
Keraton ketiga ini jauh lebih kecil. Sejarahnya keraton ini lebih mendekati ke kepatihan ketimbang keraton. Hanya seperti rumah tinggal yang besar. Saya ke mari setelah selesai dengan Kasepuhan. Niatnya mau jalan kaki lagi, tapi ternyata lumayan jauh. Di tengah jalan saya pingin naik angkot saja.
“Misi, pak, numpang nanya kalau mau ke Kacirebonan naek angkot apa ya pak dari sini?” dari nanya iseng ini saya malah dapat ojekan gratis. Kebetulan bapak-bapak yang saya tanyai tidak tahu jalur angkot.
Di Kacirebonan ada pos untuk turis sebenarnya, tapi mata gembel saya menangkap anak-anak yang keluar masuk lewat pintu samping, saya ikut nyelip masuk. Ya memang, ternyata ini lebih mirip rumah Jawa besar milik keturunan priyayi. Di dalamnya ada apa, saya juga kurang tahu. Saya hanya sebentar, perhatian saya teralihkan ke ujian tari di dekat gerbang. Ada sanggar tari yang sedang menggelar ujian. Kata anak kecil di sebelah saya ujian ini di tempuh sebagai tahap akhir sebelum mereka dinyatakan lulus dan menerima sertifikat. Tarian yang ditarikan siang itu adalah tari Topeng Panji. Saya bergabung dengan penonton lain menyaksikan anak-anak SD ini dipanggil maju lalu menari.


Tari Topeng Panji


Seharusnya masih ada satu keraton lagi yaitu Keraton Keprabonan, tapi saya kadung nggak ngeh ke sana. Nurutin hati aja, maunya sholat dzuhur di masjid dekat Pasar Kanoman terus jajan, terus makan siang, terus balik ke At-Taqwa sampai nanti malam kereta yang akan membawa saya ke Jakarta tiba.


Masjid At-Taqwa itu....... ADEM, man!

Memang cuma mampir ke Cirebon, harusnya naik ke Kuningan lihat air terjun dan pemandian air panas. Tapi nggak masalah, menikmati yang ada mendidik kita untuk bersyukur tanpa banyak omong. Pas jalan sendiri saya belajar banyak hal. Saya percaya kata-kata, “Tuhan selalu bersama para pejalan.” Tiap detik sih Tuhan sama kita terus sebenernya. Tapi pas jalan sendiri tuh rasanya lebih ngena gitu. Misal pas ngemper sendirian, takut, ga ada temen, ya ditemenin Tuhan toh. Bisa juga Tuhan kirimin temen ngobrol. Pas duit mepet, cukup nggak ya... cukup nggak ya, eh ada aja bantuan yang diperantarain ke orang-orang tanpa diduga. Ya, jalan-jalan itu menyenangkan. Jalan-jalan itu keren. Ciptaan Tuhan, bangunan bersejarah, makanan, dan satu lagi orang-orang. Dengan ngeluyur sendiri saya bisa tiba-tiba sensitive, sok-sok memaknai apa gitu ga tau, beda aja rasanya. Ketemu ama diri sendiri, mudengin diri sendiri itu susah. Ketemu banyak orang, mendengarkan mereka berkeluh kesah, mendengarkan mereka bercerita tentang pengalaman mereka, terus dinasehati panjang lebar, man... mereka orang lain tempat kita belajar tanpa kita musti mengalami hal yang sama. Kebersamaan Tuhan yang diwujudkan dalam pelajaran tentang hidup. That’s the point! Saat kamu nyandar sambil ngantuk-ngantuk di masjid ada seorang ibu yang sambil nangis nyeritain usahanya pingin punya keturunan sampai akhirnya dia nggak terus mendikte Tuhan dan menemukan cara menikmati hidup romantis berdua dengan suaminya, jalan-jalan berdua. Saat kelebaianmu memuncak dan cuma gegara dipanggil “teteh” terus kamu berasa cantik dan sok dewasa gitu. Muehehehe... inimah bego! Atau baru nyadar kalau teteh-teteh di Cirebon tuh berjilbab alim yang cantik, hidungnya mancung dan kulitnya kuning lansat, bersih. *Ngelirik tangan gueh yang gelap... akaka :p
 Ga tau aja, jalan tuh nagihin. Dan jalan sendiri itu ga mengenaskan, man!
Thank’s Cirebon.





Baca juga.... masih seputar Cirebon Jajan di Cirebon Yuuh tentang makanan-makanan juaraaaa yang musti dicoba....
Satu lagi Selepas Subuh pengalaman menyebalkan
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: