Selamat
pagi Cirebon. Tolong bersahabat ya... cukup sudah yang tadi... (baca cerita NYEBELIN pas di Cirebon juga Selepas Subuh) sekarang
waktunya jalan-jalan. NICE. Belum genap jam enam, lampu-lampu jalan sebagian
masih menyala, jalanan yang saya lewati dari stasiun Parujakan menuju masjid
At-Taqwa juga masih sepi. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar tiga kilo, kaki
manja saya tidak mengeluh, good.
First
Destination Masjid At-Taqwa Cirebon
Letak masjid di pusat kota Cirebon, berdekatan dengan alun-alun, balai kota, dan pusat perbelanjaan. Bentukannya sudah modern, kalau mungkin tetap ada etniknya mungkin mata saya aja yang nggak nangkep. Over all namanya masjid dimanapun selalu teduh, tenang, adem, bikin betah. Saat saya sampai sedang ada pengajian di dalam masjid. Penasaran, saya ikut nimbrung, majlis ta’lim ibu-ibu. Nyempil di belakang dengan tentengan ransel dan baju yang nggak pengajian banget membuat sebagian jamaah memperhatikan saya. Saya cuma senyum dan pasang muka innocent aja. Pengajian membahas tentang peran istri terhadap kesuksesan suami, kalo nggak salah. Hampir setengah tujuh majelis ini usai, ditutup dengan sholawatan. “Mau kemana, neng?” tanya seorang ibu yang mendekati saya. Saya menjawab sekaligus mencocokkan jalur angkot biar bisa muter-muter Cirebon. Segelas teh gratis dari masjid menemani saya dan ibu-ibu pengajian ini ngobrol. Setidaknya ini masih terlalu pagi untuk mulai jalan. Sambil memandangi orang yang mulai memadati alun-ulun untuk joging atau sekedar cari sarapan.
Menara Masjid At-Taqwa |
Keraton
Kanoman
Perut
memanggil-manggil, saya sempatkan sarapan di nasi jamblang Mang Doel. Ceritanya
ada di sini. Selesai sarapan saya langsung meluncur ke Keraton Kanoman. Angkot
yang saya tumpangi hanya sampai pasar Kanoman, ternyata untuk sampai ke
keratonnya harus jalan lewat tengah-tengah pasar. Di dalam angkot saya bertemu
dengan ibu baik hati yang mengantar saya membeli oleh-oleh. Syrup Tjampolay dan
kerupuk saya beli di pasar, harganya juga ditawarin sama ibu ini. “Pasarnya
ruwet neng, udah ibu gandeng aja ngikut ibu. Tasnya ati-ati, hape, dompet,
kamera. Pasarnya tidak terlalu besar tapi mungkin penataannya saja yang beneran
semrawut. Jadi bejubel-jubel, becek, kotor, bau. Yes,Indonesian traditional
market. Tepat di belakang pasar inilah keraton Kanoman berada. Saya berpisah
dengan ibu yang tadi menemani saya. “Jaga diri ya, neng ati-ati. Udah sekali
ini aja jangan diulangin maen-maen sendiri. Ibu mah serem bayangin yang
enggak-enggak.” Andai direkam ini pasti mirip adegan eptipi. Saya salim tanda
terima kasih ke ibunya, dirangkul terus cipika-cipiki. Raut muka ibu ini kayak
khawatir banget gitu, bahkan saya diantar sampai masuk, pas mau ninggal ibu ini
sempat nitipin saya ke bapak-bapak yang sedang merenofasi keraton, “Nitip ini
enengnya ya, pak. Tolong dibantuin kalo misal kenapa-napa.” Sumpah! Terharu.
Keadaan
keraton dalam renofasi tidak terlalu keren, menurut saya. Bahan bangunan di
mana-mana, perkakas-perkakas, semrawut lagi. Apalah daya saya cuma sempat
membaca sedikit di gugel tentang keraton ini. Jadi ini adalah pecahan dari
keraton Kasepuhan Cirebon, mereka adik-kakak’an istilahnya. Entah saya yang
nggak tahu atau gimana, untuk ukuran tempat yang disebut keraton tempat ini
terlalu kecil. Mungkin terpengaruh ketika bilang keraton ya sebesar Jogja atau
Surakarta. Blasak-blusuk, tolah-tolah, dengan rabun sejarah stadium lanjut,
dinikmati saja, bangunan-bangunan ini. Dominasi pewarnaan kapur memberi ciri
khas tersendiri, serta pada dinding-dindingnya yang tertanam piring-piring.
“Kenapa iseng banget nempelin piring di sini ya? Kenapa harus piring? Kenapa
catnya putih? Kenapa nggak ada yang njawab.... hehe.
Sejatinya ini adalah pintu gerbang |
Piring nempel dimana-mana |
Keraton
Kasepuhan
Saya
melanjutkan berjalan menuju keraton Kasepuhan. Setelah bertanya ke warga, saya
ambil jalan melalui gang-gang sempit lewat belakang keraton Kanoman.
Rumah-rumah di gang ini bentuknya pendek dan cenderung kecil. Seingat saya
rumah bentuk seperti ini dinamakan mager saren, dulunya hulu balang kerajaan
tinggal di daerah sekitar keraton dan rumahnya ya mager saren itu.
Belokan-belokan gang sempit itu bertemu dengan jalan besar. Dari situ belok
kiri, jalan lagi satu kiloan. Nanti ada perempatan, belok kanan. Sekitar
setengah kilo, di ujung jalan, Keraton Kasepuhan. Kebetulan sedang ada pasar
malam di lapangan tepat di depan keraton. Nanya-nanya bego, jadi sejarahnya
dulu lapangan ini adalah alun-alun, nah pasar malem ini ibarat jogja itu
sekaten.
Tiket
masuk keraton Rp 8000,-, ijin membawa kamera Rp 2000,-, guide opsional, fee
terserah. Mungkin karena keraton ini induknya, jadi keadaannya jauh lebih keren
dibandingkan Kanoman. Arsitekturnya campuran Arab, Jawa, Eropa, dan Cina.
Sebagian tubuh bangunan sudah di kapur, sebagian lagi tetap dibiarkan wujud
batu merah. Sama, di sini juga tertanam piring-piring di dinding. Ternyata
piring-piring ini adalah hadiah dari kerajaan Cina atas pernikahan Sunan Gunung
Jati dengan putri mereka. Lalu ada juga piring hadiah dari Amsterdam yang
gambarnya pemandangan Belanda, sama satu lagi piring bergambar sejarah Islam.
Namanya juga keraton, lengket dengan hal-hal berbau kepercayaan. Misal di pojokan keraton ada sumur yang dipercayai memiliki berbagai macam khasiat, lalu kereta singa barong yang tersimpan di museum juga dipercaya membawa berkah. Orang susah punya keturunan disarankan memegang alat kelamin singa barong, juga yang belum menikah agar cepat dipertemukan dengan jodohnya. Balik lagi, percaya nggak percaya urusan masing-masing.
Dua macan putih di atas terumbu karang, simbol kedigdayaan keraton |
Keraton
Kacirebonan
Keraton
ketiga ini jauh lebih kecil. Sejarahnya keraton ini lebih mendekati ke
kepatihan ketimbang keraton. Hanya seperti rumah tinggal yang besar. Saya ke
mari setelah selesai dengan Kasepuhan. Niatnya mau jalan kaki lagi, tapi
ternyata lumayan jauh. Di tengah jalan saya pingin naik angkot saja.
“Misi,
pak, numpang nanya kalau mau ke Kacirebonan naek angkot apa ya pak dari sini?”
dari nanya iseng ini saya malah dapat ojekan gratis. Kebetulan bapak-bapak yang
saya tanyai tidak tahu jalur angkot.
Di
Kacirebonan ada pos untuk turis sebenarnya, tapi mata gembel saya menangkap
anak-anak yang keluar masuk lewat pintu samping, saya ikut nyelip masuk. Ya
memang, ternyata ini lebih mirip rumah Jawa besar milik keturunan priyayi. Di
dalamnya ada apa, saya juga kurang tahu. Saya hanya sebentar, perhatian saya
teralihkan ke ujian tari di dekat gerbang. Ada sanggar tari yang sedang
menggelar ujian. Kata anak kecil di sebelah saya ujian ini di tempuh sebagai
tahap akhir sebelum mereka dinyatakan lulus dan menerima sertifikat. Tarian
yang ditarikan siang itu adalah tari Topeng Panji. Saya bergabung dengan
penonton lain menyaksikan anak-anak SD ini dipanggil maju lalu menari.
Tari Topeng Panji |
Seharusnya
masih ada satu keraton lagi yaitu Keraton Keprabonan, tapi saya kadung nggak
ngeh ke sana. Nurutin hati aja, maunya sholat dzuhur di masjid dekat Pasar
Kanoman terus jajan, terus makan siang, terus balik ke At-Taqwa sampai nanti
malam kereta yang akan membawa saya ke Jakarta tiba.
Masjid At-Taqwa itu....... ADEM, man! |
Memang
cuma mampir ke Cirebon, harusnya naik ke Kuningan lihat air terjun dan
pemandian air panas. Tapi nggak masalah, menikmati yang ada mendidik kita untuk
bersyukur tanpa banyak omong. Pas jalan sendiri saya belajar banyak hal. Saya
percaya kata-kata, “Tuhan selalu bersama para pejalan.” Tiap detik sih Tuhan
sama kita terus sebenernya. Tapi pas jalan sendiri tuh rasanya lebih ngena
gitu. Misal pas ngemper sendirian, takut, ga ada temen, ya ditemenin Tuhan toh.
Bisa juga Tuhan kirimin temen ngobrol. Pas duit mepet, cukup nggak ya... cukup
nggak ya, eh ada aja bantuan yang diperantarain ke orang-orang tanpa diduga. Ya,
jalan-jalan itu menyenangkan. Jalan-jalan itu keren. Ciptaan Tuhan, bangunan
bersejarah, makanan, dan satu lagi orang-orang. Dengan ngeluyur sendiri saya
bisa tiba-tiba sensitive, sok-sok memaknai apa gitu ga tau, beda aja rasanya.
Ketemu ama diri sendiri, mudengin diri sendiri itu susah. Ketemu banyak orang,
mendengarkan mereka berkeluh kesah, mendengarkan mereka bercerita tentang
pengalaman mereka, terus dinasehati panjang lebar, man... mereka orang lain
tempat kita belajar tanpa kita musti mengalami hal yang sama. Kebersamaan Tuhan
yang diwujudkan dalam pelajaran tentang hidup. That’s the point! Saat kamu
nyandar sambil ngantuk-ngantuk di masjid ada seorang ibu yang sambil nangis
nyeritain usahanya pingin punya keturunan sampai akhirnya dia nggak terus
mendikte Tuhan dan menemukan cara menikmati hidup romantis berdua dengan
suaminya, jalan-jalan berdua. Saat kelebaianmu memuncak dan cuma gegara
dipanggil “teteh” terus kamu berasa cantik dan sok dewasa gitu. Muehehehe...
inimah bego! Atau baru nyadar kalau teteh-teteh di Cirebon tuh berjilbab alim
yang cantik, hidungnya mancung dan kulitnya kuning lansat, bersih. *Ngelirik
tangan gueh yang gelap... akaka :p
Ga tau aja, jalan tuh nagihin. Dan jalan
sendiri itu ga mengenaskan, man!
Thank’s
Cirebon.
Baca juga.... masih seputar Cirebon Jajan di Cirebon Yuuh tentang makanan-makanan juaraaaa yang musti dicoba....
Satu lagi Selepas Subuh pengalaman menyebalkan
Baca juga.... masih seputar Cirebon Jajan di Cirebon Yuuh tentang makanan-makanan juaraaaa yang musti dicoba....
Satu lagi Selepas Subuh pengalaman menyebalkan
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: