Hujan. Bunyinya riuh, nyaring diantara obrolan atau
tawa orang-orang, menggema di atas suara kereta yang berdesing atau pengumuman
dari ruang informasi stasiun. Saya baru selesai sholat jama magrib-isya. Kereta
api ekonomi Tawang Jaya yang akan saya naiki sudah standby. K3AC-3/21C, menggendong ransel yang sedikit kembung saya
mencari tempat duduk, gerbong tiga nomor dua satu, ketemu.
“Dek, duduk sini yo?” seorang laki-laki menghalagi
saya saat akan duduk.
Saya mengangsurkan tiket yang saya pegang.
“Sendiri?”
Saya mengangguk. Melirik ke arah bangku kereta, mata
saya menemukan tiga anak kecil sedang tersenyum malu-malu ke arah saya.
“Yawes, nitip bocah-bocah ini. Tolong ya diawasin,
saya mau turun dulu sebentar.” Saya masih plonga-plongo,”Nang karo mbak’e disik ya, aja nang
ngendi-ngendi!” lanjut si bapak kepada anak-anak.
Bocah-bocah itu mengamati saya waktu saya mengambil
beberapa benda dari ransel sebelum menaikkannya ke bagasi.
“Halo, dek. Mau liburan ya,”saya menyapa. Kyaaaaaa mereka melengos, diam tidak
menjawab. Saya membuka buku dan mulai membaca, keempatnya terlihat memandang
saya lagi.
“Mau kemana, dek? Jakarta ya?” muka saya sudah seunyu
mungkin loh, hell no mereka melengos
lagi. Pffft… ga demen saya kalo dicuekin.
Sekitar lima belas menit kemudian bapaknya datang.
“Matur nuwun lo, dek. Mau kemana?”
“Sami-sami, pak. Cirebon. Lha bapak’e?”
“Alah ini nganter anak-anak ke Jakarta.”
“Libur sekolah ya pak.”
“Iya.. biar tau Monas, dek.”
Bapak ini tipe orang hobi cerita mungkin, curhat
ngalor-ngidul. Ceritanya heboh antara
pakai bahasa Jawa dan Indonesia yang sedikit maksa. Hehe… tak apela, toh saya selalu ingin menjadi pendengar yang
baik., jiaah.. Orangnya cerita masa muda, cerita tentang sekolah anak, sampai
mengkritik pemerintah… hayuuuu….
Di tiket tertera “jadual keberangkatan 19:00”, ada
waktu lumayan panjang untuk mendengar curhatan si bapak sambil mengamati orang
lalu lalang mencari tempat duduk.
Tiba-tiba ada rombongan kecil berisi dua
orang cewek dan satu cowok seumuran
saya mendekati tempat duduk kami. “Ini tempat duduk
gue,” kata salah satunya.
“Yaudah duduk aja,” sambung yang cowok acuh.
“Ini ada orangnya.”
“Ya lu suruh pindah dong orangnya.”
Kenapa mereka ga langsung nanya ke si bapak atau
minimal ke saya yang duduknya sebelahan. Padahal mereka ribut di depan si
bapak, tepat. Padahal dibelakangnya antrian orang dengan wajah-wajah dongkol
siap menerkam.
“Tiketnya mbak?” tegur bapaknya.
“Ini nih pak, ini tempatku.”
“Iya gini, mbak, maaf sebelumnya. Saya bawa anak-anak
kecil. Lha ini tiket saya kepisah sama anak-anak. Punya saya nomer 13 A, anak
saya yang satu di 13B, nah yang dua kepisah di sini. Kalo mbaknya tuker tempat
aja gimana? Kasian anak-anak.”
Praaaaang! Mukanya bo… tiga orang itu sumpah,
juteknyooo.
“Iya tapi inikan tempat temen saya.”
Ih, malu sama pin kampus *tiiiiit yang nancep di
ransel, diterangin kaya gitu masih ga mudeng. Si bapak pelan-pelan
mengulanginya lagi.
“Mbaknya mau tuker sama saya? Saya bisa pindah ke
kursi asal bapaknya kok, mbaknya duduk sini aja biar saya aja yang pindah,”kata
saya.
And you know
what apa alasannya perang rebutan kursi, “Ya ga
bisa mbak. Kan temen saya duduk di situ.” Sambil nunjuk tempat teman cowoknya
yang duduk di bangku sebelah. “Kalo saya pindah, temen saya bisa ikut pindah
nggak?” Maksutnya apa ni cewek. “ Ya bisa nggak bapaknya cariin tempat buat
temen saya, biar dia pindah juga, biar kita sama-sama gitu.” Ya Tuhaannnn,
pertanyaannya adalah, emang kalo nggak duduk dempetan mereka bisa mati?!
Akhirnya saya cuma diem, bengong menyaksikan
perdebatan kursi. Duhdek.
Cewek yang satunya, yang tampangnya ga kalah Jakarta
(jutek dan sok!) ternyata rada waras. “Yaudah pak, gapapa kita pindah.”
Dibumbui dengan lirikan ganas ke arah kami dan bentakan untuk temannya yang
masih saja rewel, “Udah lu diem. Mreka ga mau pindah, kita yang pindah. Diem
deh, gue pusing.” Mereka berjalan pergi menjemput kursi nomor tiga belas milik
si bapak. Penontong menghembuskan nafas lega, lega man… akhirnya koridor sempit kereta itu bisa dipake jalan lagi.
--- --- ---
Kiri ke kanan: Ifa, Putra, Via, lupa namanya, ada tiga lagi ga ikut foto. |
Kereta mulai melaju, tidak peduli hujan di luaran
yang masih mengejar. Lapar, perut saya teriakhir diisi jam sebelas siang tadi.
Sebungkus nasi goreng yang hampir dingin, ini jatah perut saya malam ini. Tadi
sambil menunggu angkot, saya sempat membungkus nasi goreng di warung dekat
kos-kosan. “Monggo pak, maem. Dek, nasi goreng.” Si bapak dan anak-anak ikut
membuka bekal, malah menawarkan ayam goreng yang menjadi bekalnya. “Matur nuwun
pak, sampun. Niki kemawon, sampun, “kata saya. Di atas kereta yang sering
bergoyang saya makan bersama bapak dan tiga anak kecil ini, lahap karena lauk
lapar memang paling nikmat. Anak-anak kecil di depan saya ini sesekali curi
pandang ke arah saya, bapaknya tetap saja sambil makan sambil cerita ini itu.
Nasi goreng saya tinggal seperempat saat empat anak
kecil datang dan ikut bergabung dengan kursi kami. Riuh, ramai, cerewet, tujuh
anak kecil ini bercerita ini itu. Bapaknya melipir ke sambungan gerbong, tentunya
tak lupa dengan pesan saktinya, “Titip bocah-bocah ya, dek.”
Sampai saya selesai makan, anak-anak kecil ini tetap
ribut sendiri. Sesekali saya bertanya dan teteup dicuekin uey…… palingan cuma
mengangguk atau geleng-geleng. Tapi saat saya pura-pura tidak melihat, mereka
terus memperhatikan saya.
“Mbak, njaluk permen karet’e to. Maeng pak dhe tuku
permen karet toh,” kata salah satunya kepada anak perempuan yang duduk di
pinggir jendela.
“Yaaah iki pedes dek permenne. Koe doyan?” jawabnya
sambil menunjukkan sebungkus permen karet mint.
Anak laki-laki itu langsung cemberut dan
bersungut-sungut, menggumamkan omelan yang nggak jelas.
“Ini dek, mau? Tante punya lotte rasa anggur,” saya
menyodorkan sebungkus permen karet berwarna ungu. Anak laki-laki itu mau mengambil,
tapi malu-malu. “Gapapa, nang. Pundut, gih. Gak ada racunnya kok. Hehe…Ambil!”
Dia tersenyum manis lalu mengambil selembar. Keberaniaan kecil itu diikuti enam
anak yang lain, sayang permen karet saya tinggal tiga lembar. Saya cari-cari
lagi, nemu coki-coki beberapa batang, sisa saya temen baca novel kemarin malam.
“Nah ini masih ada coki-coki, dimakan
bareng deh.”
Berawal dari permen karet dan coki-coki itulah
anak-anak ini berubah menjadi begitu manis. Iyelah.. saya ga di plototin lagi,
ga dicuekin lagi. Hooraaay.... :D
Saya nggak inget nama mereka semua, penyakit lama!
Hehe… pokoknya ada yang namanya Putra, Via, Ifa, sama Rizki, yang lain lupa.
Mereka cerita ini itu, banyak dan heboh. Hehe… Semisal waktu saya tanya,
“Kalian kelas berapa?” dijawab satu-satu pake rebutan, kaya interview
talkshow..wakaka
Cerita mereka mengalir mulai dari kenapa sih mbak
matematika kok susah banget? Mbaknya bisa basa Inggris nggak? Mbaknya pernah
ngomong sama bule? Mbaknya punya pacar nggak? Mbaknya mau kemana? Nanti mbaknya
di sana ngapain? Mbak kuliah itu gimana? Mbaknya lagi baca buku apa? Bukunya
beli di mana? Aaaaaaaaakkk, jawabnya
sambil senyum manis yah….
Disela-sela saya jawabin pertanyaan-pertanyaan
mereka, saya kadang-kadang ngakak, tertegun, melongo, sampai terharu. Mereka
polos banget, mereka cerita ini itu juga.
Contohnya waktu tiba-tiba Rizki nyanyi…
Satu…satu…
Ifa masuk kamar..
Dua…dua…
Putra mengikuti..
Tiga… tiga…
apa yang terjadi
Satu…dua…
tiga… Ifa hamil lagi
Maaaaaak, lagunya ndes! Dan astofirullohnya lagi
setelah Rizki selesai nyanyi yang lain bareng-bareng ikut nyanyi juga. “Kok
lagunya ngunu si dek?” mereka malah cekikikan. Ampun-ampun deh! Saking banyaknya
yang diocehin, saya sampai lupa apaan aja. Tapi satu yang ngena banget.
Ini yang bikin ati saya nyeeer….
“Seneng dong dek, ke Jakarta.ik liburane, dulu aku
wae mung liburane nang dalemme embah,” goda saya.
“Iya dong mbak, kan ketemu mamak.”
“Oh, dek Via mau ketemu mamak toh.”
“Aku juga kok mbak..” …..”aku yo sama”….. lhah
ternyata ketujuh anak ini ke Jakarta untuk bertemu ibunya, semuanya. Muncullah
gelembung pertanyaan-pertanyaan kepo di atas kepala saya. Lha segini banyak
bocah mau nemuin ibunya, lha ibunya mah ngapain di Jakarta yak, lha selama ini
di rumah mereka sama siapa? Lha…. Itu otak ngurus banget urusan orang
yak.Plaak!
Ifa yang sudah kelas enam, yang paling tua diantara
yang lain sepertinya menangkap pertanyaan-pertanyaan di batin saya. “Itu og
mbak, mamak kerja di Jakarta.”
Ooohh….
“Berarti tiap liburan nyusulin ke sana ya dek?”
“Iya mbak, kan mamak cuma pulang pas lebaran. Jadi
pas liburan nyusulin ke sana.”
“Aku udah ping lima mbak ke Jakarta,” celoteh salah
satu, otomatis diikuti yang lain, “Aku tiga kali, mbak… aku dua… Putra jik ping
satu tok… aku ping akeh banget…” Wajah polos mereka bangga banget pas cerita
tentang berapa kali mereka ke Jakarta. Menceritakan Monas hingga Ragunan,
menceritakan Busway atau bajaj, jalan-jalan ke Mall, beli baju baru, makan di
Mc.D atau KFC. Betapa Jakarta begitu luar biasa untuk bocah-bocah ini, tempat
mereka kembali dipeluk ibu dan bersenang-senang bersama. Lalu masih cerita Ifa,
kata dia selama di rumah mereka diopeni kakek atau nenek, ada juga yang hanya
hidup dengan ayahnya atau dititipkan ke saudara. Ada yang ditinggal ibunya
sejak TK, ada yang sudah hidup hanya dengan neneknya selama lima sampai enam
tahun.
Eemm…. Saya teringat kata-kata mbah putri saya,
“Rumah tangga ditinggal wong lanang wong wedok isih isa krencal, ga terlalu
masalah. Tapi lak ditinggal wong wedok, mesti eneng ae gak penerre. Mbuh
bojone, mbuh anak’e seng mengko ra sak wajar’e.” Singkatnya seorang ibu yang
menjadi single parent atau bahkan single fighter akan jauh lebih baik bila
dibandingkan ayah. Memang nggak semuanya juga sih.. banyak juga ayah yang
sukses keren membesarkan anak seorang diri, tapi berapa? Iya, nah itu buktinya.
Gitu dah.. tetep beda peran, cara, keluwesan dan kasih sayang ibu dalam
mengasuh anak tetap lebih baik bila dibandingkan ayah. “Wes kodrat,” gitu kata
ibuk saya.
Saya tahu rasanya kehilangan, kehilangan sosok yang
saya butuhkan. Tapi thank’s GOD saya
masih punya sosok luar biasa, yang keren pol-polan dah, ibu saya. Saat saya
seumuran anak-anak ini ibu bisa mengambil alih peran sosok penting lain itu.
Saya masih bisa bertemu ibu setiap hari, saya diasuh ibu saya sendiri, bukan
dititipkan ke mbah putri atau saudara.
Pffttt…. Memang serba salah. Pilihan bekerja ke Jakarta atau mungkin jauh menjadi TKW ke
luar negeri misalnya adalah sesuatu yang sulit. Ibu waras mana yang tak ingin
mengasuh anaknya sendiri, melihat mereka tumbuh, menemani saat anak mereka
punya masalah-masalah, dengan sabar mendengarkan mereka curhat saat masa
peralihan menuju remaja. Ah, lagi-lagi ekonomi. “Itu’og mbak, mamak njahit di
Jakarta.” Gaji buruh konveksi ini yang setidaknya menjanjikan sekolah lebih
baik untuk mereka, atau makanan lebih bergizi dan baju-baju bagus. Lagi-lagi
ibu…. Ah, ibu saya juga penjahit, tapi saya lebih beruntung waktu kecil saya
masih bisa bertemu ibu di rumah, menunggui ibu menjahit, atau membantu
mengantarkan baju ke orang-orang yang menjahitkan pakaian.
Handphone saya berbunyi, tuh ibu saya panjang umur.
“Maeng sms?” katanya setelah menjawab salam saya.
“He’eh.”
“Arep nang ndi
meneh? Tangerang?”
“Cirebon toh buk, perasaan wingenane wis crita.”
“Nginep neng ndi lek nyampek’e bengi?”
“Ngemper.”
“Wani?”
“InsyaAlloh.”
“Yawes ati-ati.”
“Selow lah.”
“Dasar ndableg. Salamua’alaikum”
Waalaikumsalam…tut..tut…
Segitu aja. Kadang saya mikir, kenapa ibu saya nggak
perhatian banget, nggak nanya saya
udah makan belum, apa gimana gitu kayak ibu
temen-temen. Kenapa mbah putri saya jauh lebih perhatian. Halaaaaaah curhat
lagi.
Mungkin memang begitu gaya ibu menyayangi saya.
Mungkin itu caranya memberi saya kepercayaan untuk pergi-pergi.
Ya, setiap orang punya cara menyayangi masing-masing.
Begitupun ibu anak-anak ini, bekerja jauh dan mengorbankan kebersamaan adalah
bentuk cinta yang besarnya tidak bisa dikira-kira.
Seorang bapak mendekati kursi kami, “Nok ayo bali
kursine dewe, wis wengi. Gek pada turu.”
Anak-anak masih malas sepertinya untuk tidur meskipun
mata mereka sudah merah. “Wis malem lo dek, hayu pada bobok,” sambungku.
“Mbak’e yo ben istirahat.” Bapaknya tersenyum ke
saya.
Akhirnya satu anak mau kembali ke kursinya. Bapak
yang satunya, yang tadi nitipin anak-anak ke saya kembali dari sambungan
gerbong. “Hayo liyane ya pada bali ngana,” tiga yang lain menurut dan berjalan
ke gerbong mereka masing-masing. “Itu tadi tetangga mbak, anak saya ini, Rizki,
kalau Ifa sama Putra ini ponakan. Monggo mbak istirahat.”
“Enggih pak.”
Saya mulai pasang headset, lagu-lagu Mocca mulai
mengalun. Sementara Putra dan Rizki mulai digelarkan koran di bawah bangku, Ifa
meringkuk di kursi dan si bapak memilih kembali ke sambungan gerbong. Hampir
setengah sebelas malam, gerbong mulai hening, penumpang lain juga banyak yang
terlelap, goyangan dan suara kereta lamat-lamat terdengar bersamaan dengan suara
mas-mas yang sesekali lewat menawarkan bantal atau nasi goreng.
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: