Selasa, 14 Januari 2014

Obrolan Lotte dan Coki-coki

 Hujan. Bunyinya riuh, nyaring diantara obrolan atau tawa orang-orang, menggema di atas suara kereta yang berdesing atau pengumuman dari ruang informasi stasiun. Saya baru selesai sholat jama magrib-isya. Kereta api ekonomi Tawang Jaya yang akan saya naiki sudah standby. K3AC-3/21C, menggendong ransel yang sedikit kembung saya mencari tempat duduk, gerbong tiga nomor dua satu, ketemu.
“Dek, duduk sini yo?” seorang laki-laki menghalagi saya saat akan duduk.
Saya mengangsurkan tiket yang saya pegang.
“Sendiri?”
Saya mengangguk. Melirik ke arah bangku kereta, mata saya menemukan tiga anak kecil sedang tersenyum malu-malu ke arah saya.
“Yawes, nitip bocah-bocah ini. Tolong ya diawasin, saya mau turun dulu sebentar.” Saya masih plonga-plongo,”Nang karo mbake disik ya, aja nang ngendi-ngendi!” lanjut si bapak kepada anak-anak.
Bocah-bocah itu mengamati saya waktu saya mengambil beberapa benda dari ransel sebelum menaikkannya ke bagasi. “Halo, dek. Mau liburan ya,”saya menyapa. Kyaaaaaa mereka melengos, diam tidak menjawab. Saya membuka buku dan mulai membaca, keempatnya terlihat memandang saya lagi.
“Mau kemana, dek? Jakarta ya?” muka saya sudah seunyu mungkin loh, hell no mereka melengos lagi. Pffft… ga demen saya kalo dicuekin.
Sekitar lima belas menit kemudian bapaknya datang. “Matur nuwun lo, dek. Mau kemana?”
“Sami-sami, pak. Cirebon. Lha bapake?”
“Alah ini nganter anak-anak ke Jakarta.”
“Libur sekolah ya pak.”
“Iya.. biar tau Monas, dek.”
Bapak ini tipe orang hobi cerita mungkin, curhat ngalor-ngidul.  Ceritanya heboh antara pakai bahasa Jawa dan Indonesia yang sedikit maksa. Hehe… tak apela, toh  saya selalu ingin menjadi pendengar yang baik., jiaah.. Orangnya cerita masa muda, cerita tentang sekolah anak, sampai mengkritik pemerintah… hayuuuu….
Di tiket tertera “jadual keberangkatan 19:00”, ada waktu lumayan panjang untuk mendengar curhatan si bapak sambil mengamati orang lalu lalang mencari tempat duduk. 
Tiba-tiba ada rombongan kecil berisi dua orang cewek dan satu cowok seumuran saya mendekati tempat duduk kami. “Ini tempat duduk gue,” kata salah satunya.
“Yaudah duduk aja,” sambung yang cowok acuh.
“Ini ada orangnya.”
“Ya lu suruh pindah dong orangnya.”
Kenapa mereka ga langsung nanya ke si bapak atau minimal ke saya yang duduknya sebelahan. Padahal mereka ribut di depan si bapak, tepat. Padahal dibelakangnya antrian orang dengan wajah-wajah dongkol siap menerkam.
“Tiketnya mbak?” tegur bapaknya.
“Ini nih pak, ini tempatku.”
“Iya gini, mbak, maaf sebelumnya. Saya bawa anak-anak kecil. Lha ini tiket saya kepisah sama anak-anak. Punya saya nomer 13 A, anak saya yang satu di 13B, nah yang dua kepisah di sini. Kalo mbaknya tuker tempat aja gimana? Kasian anak-anak.”
Praaaaang! Mukanya bo… tiga orang itu sumpah, juteknyooo.
“Iya tapi inikan tempat temen saya.”
Ih, malu sama pin kampus *tiiiiit yang nancep di ransel, diterangin kaya gitu masih ga mudeng. Si bapak pelan-pelan mengulanginya lagi.
“Mbaknya mau tuker sama saya? Saya bisa pindah ke kursi asal bapaknya kok, mbaknya duduk sini aja biar saya aja yang pindah,”kata saya.
And you know what apa alasannya perang rebutan kursi, “Ya ga bisa mbak. Kan temen saya duduk di situ.” Sambil nunjuk tempat teman cowoknya yang duduk di bangku sebelah. “Kalo saya pindah, temen saya bisa ikut pindah nggak?” Maksutnya apa ni cewek. “ Ya bisa nggak bapaknya cariin tempat buat temen saya, biar dia pindah juga, biar kita sama-sama gitu.” Ya Tuhaannnn, pertanyaannya adalah, emang kalo nggak duduk dempetan mereka bisa mati?!
Akhirnya saya cuma diem, bengong menyaksikan perdebatan kursi. Duhdek.
Cewek yang satunya, yang tampangnya ga kalah Jakarta (jutek dan sok!) ternyata rada waras. “Yaudah pak, gapapa kita pindah.” Dibumbui dengan lirikan ganas ke arah kami dan bentakan untuk temannya yang masih saja rewel, “Udah lu diem. Mreka ga mau pindah, kita yang pindah. Diem deh, gue pusing.” Mereka berjalan pergi menjemput kursi nomor tiga belas milik si bapak. Penontong menghembuskan nafas lega, lega man… akhirnya koridor sempit kereta itu bisa dipake jalan lagi.

--- --- ---

Kiri ke kanan: Ifa, Putra, Via, lupa namanya, ada tiga lagi ga ikut foto.
Kereta mulai melaju, tidak peduli hujan di luaran yang masih mengejar. Lapar, perut saya teriakhir diisi jam sebelas siang tadi. Sebungkus nasi goreng yang hampir dingin, ini jatah perut saya malam ini. Tadi sambil menunggu angkot, saya sempat membungkus nasi goreng di warung dekat kos-kosan. “Monggo pak, maem. Dek, nasi goreng.” Si bapak dan anak-anak ikut membuka bekal, malah menawarkan ayam goreng yang menjadi bekalnya. “Matur nuwun pak, sampun. Niki kemawon, sampun, “kata saya. Di atas kereta yang sering bergoyang saya makan bersama bapak dan tiga anak kecil ini, lahap karena lauk lapar memang paling nikmat. Anak-anak kecil di depan saya ini sesekali curi pandang ke arah saya, bapaknya tetap saja sambil makan sambil cerita ini itu.
Nasi goreng saya tinggal seperempat saat empat anak kecil datang dan ikut bergabung dengan kursi kami. Riuh, ramai, cerewet, tujuh anak kecil ini bercerita ini itu. Bapaknya melipir ke sambungan gerbong, tentunya tak lupa dengan pesan saktinya, “Titip bocah-bocah ya, dek.”
Sampai saya selesai makan, anak-anak kecil ini tetap ribut sendiri. Sesekali saya bertanya dan teteup dicuekin uey…… palingan cuma mengangguk atau geleng-geleng. Tapi saat saya pura-pura tidak melihat, mereka terus memperhatikan saya.
“Mbak, njaluk permen karet’e to. Maeng pak dhe tuku permen karet toh,” kata salah satunya kepada anak perempuan yang duduk di pinggir jendela.
“Yaaah iki pedes dek permenne. Koe doyan?” jawabnya sambil menunjukkan sebungkus permen karet mint.
Anak laki-laki itu langsung cemberut dan bersungut-sungut, menggumamkan omelan yang nggak jelas.
“Ini dek, mau? Tante punya lotte rasa anggur,” saya menyodorkan sebungkus permen karet berwarna ungu. Anak laki-laki itu mau mengambil, tapi malu-malu. “Gapapa, nang. Pundut, gih. Gak ada racunnya kok. Hehe…Ambil!” Dia tersenyum manis lalu mengambil selembar. Keberaniaan kecil itu diikuti enam anak yang lain, sayang permen karet saya tinggal tiga lembar. Saya cari-cari lagi, nemu coki-coki beberapa batang, sisa saya temen baca novel kemarin malam. “Nah ini masih  ada coki-coki, dimakan bareng deh.”

Berawal dari permen karet dan coki-coki itulah anak-anak ini berubah menjadi begitu manis. Iyelah.. saya ga di plototin lagi, ga dicuekin lagi. Hooraaay.... :D
Saya nggak inget nama mereka semua, penyakit lama! Hehe… pokoknya ada yang namanya Putra, Via, Ifa, sama Rizki, yang lain lupa. Mereka cerita ini itu, banyak dan heboh. Hehe… Semisal waktu saya tanya, “Kalian kelas berapa?” dijawab satu-satu pake rebutan, kaya interview talkshow..wakaka
Cerita mereka mengalir mulai dari kenapa sih mbak matematika kok susah banget? Mbaknya bisa basa Inggris nggak? Mbaknya pernah ngomong sama bule? Mbaknya punya pacar nggak? Mbaknya mau kemana? Nanti mbaknya di sana ngapain? Mbak kuliah itu gimana? Mbaknya lagi baca buku apa? Bukunya beli di mana?  Aaaaaaaaakkk, jawabnya sambil senyum manis yah….
Disela-sela saya jawabin pertanyaan-pertanyaan mereka, saya kadang-kadang ngakak, tertegun, melongo, sampai terharu. Mereka polos banget, mereka cerita ini itu juga.
Contohnya waktu tiba-tiba Rizki nyanyi…

Satu…satu… Ifa masuk kamar..
Dua…dua… Putra mengikuti..
Tiga… tiga… apa yang terjadi
Satu…dua… tiga… Ifa hamil lagi

Maaaaaak, lagunya ndes! Dan astofirullohnya lagi setelah Rizki selesai nyanyi yang lain bareng-bareng ikut nyanyi juga. “Kok lagunya ngunu si dek?” mereka malah cekikikan. Ampun-ampun deh! Saking banyaknya yang diocehin, saya sampai lupa apaan aja. Tapi satu yang ngena banget.
Ini yang bikin ati saya nyeeer….
“Seneng dong dek, ke Jakarta.ik liburane, dulu aku wae mung liburane nang dalemme embah,” goda saya.
“Iya dong mbak, kan ketemu mamak.”
“Oh, dek Via mau ketemu mamak toh.”
“Aku juga kok mbak..” …..”aku yo sama”….. lhah ternyata ketujuh anak ini ke Jakarta untuk bertemu ibunya, semuanya. Muncullah gelembung pertanyaan-pertanyaan kepo di atas kepala saya. Lha segini banyak bocah mau nemuin ibunya, lha ibunya mah ngapain di Jakarta yak, lha selama ini di rumah mereka sama siapa? Lha…. Itu otak ngurus banget urusan orang yak.Plaak!
Ifa yang sudah kelas enam, yang paling tua diantara yang lain sepertinya menangkap pertanyaan-pertanyaan di batin saya. “Itu og mbak, mamak kerja di Jakarta.”
Ooohh….
“Berarti tiap liburan nyusulin ke sana ya dek?”
“Iya mbak, kan mamak cuma pulang pas lebaran. Jadi pas liburan nyusulin ke sana.”
“Aku udah ping lima mbak ke Jakarta,” celoteh salah satu, otomatis diikuti yang lain, “Aku tiga kali, mbak… aku dua… Putra jik ping satu tok… aku ping akeh banget…” Wajah polos mereka bangga banget pas cerita tentang berapa kali mereka ke Jakarta. Menceritakan Monas hingga Ragunan, menceritakan Busway atau bajaj, jalan-jalan ke Mall, beli baju baru, makan di Mc.D atau KFC. Betapa Jakarta begitu luar biasa untuk bocah-bocah ini, tempat mereka kembali dipeluk ibu dan bersenang-senang bersama. Lalu masih cerita Ifa, kata dia selama di rumah mereka diopeni kakek atau nenek, ada juga yang hanya hidup dengan ayahnya atau dititipkan ke saudara. Ada yang ditinggal ibunya sejak TK, ada yang sudah hidup hanya dengan neneknya selama lima sampai enam tahun.
Eemm…. Saya teringat kata-kata mbah putri saya, “Rumah tangga ditinggal wong lanang wong wedok isih isa krencal, ga terlalu masalah. Tapi lak ditinggal wong wedok, mesti eneng ae gak penerre. Mbuh bojone, mbuh anak’e seng mengko ra sak wajar’e.” Singkatnya seorang ibu yang menjadi single parent atau bahkan single fighter akan jauh lebih baik bila dibandingkan ayah. Memang nggak semuanya juga sih.. banyak juga ayah yang sukses keren membesarkan anak seorang diri, tapi berapa? Iya, nah itu buktinya. Gitu dah.. tetep beda peran, cara, keluwesan dan kasih sayang ibu dalam mengasuh anak tetap lebih baik bila dibandingkan ayah. “Wes kodrat,” gitu kata ibuk saya.
Saya tahu rasanya kehilangan, kehilangan sosok yang saya butuhkan. Tapi thank’s GOD saya masih punya sosok luar biasa, yang keren pol-polan dah, ibu saya. Saat saya seumuran anak-anak ini ibu bisa mengambil alih peran sosok penting lain itu. Saya masih bisa bertemu ibu setiap hari, saya diasuh ibu saya sendiri, bukan dititipkan ke mbah putri atau saudara.
Pffttt…. Memang serba salah. Pilihan bekerja  ke Jakarta atau mungkin jauh menjadi TKW ke luar negeri misalnya adalah sesuatu yang sulit. Ibu waras mana yang tak ingin mengasuh anaknya sendiri, melihat mereka tumbuh, menemani saat anak mereka punya masalah-masalah, dengan sabar mendengarkan mereka curhat saat masa peralihan menuju remaja. Ah, lagi-lagi ekonomi. “Itu’og mbak, mamak njahit di Jakarta.” Gaji buruh konveksi ini yang setidaknya menjanjikan sekolah lebih baik untuk mereka, atau makanan lebih bergizi dan baju-baju bagus. Lagi-lagi ibu…. Ah, ibu saya juga penjahit, tapi saya lebih beruntung waktu kecil saya masih bisa bertemu ibu di rumah, menunggui ibu menjahit, atau membantu mengantarkan baju ke orang-orang yang menjahitkan pakaian.

Handphone saya berbunyi, tuh ibu saya panjang umur.
“Maeng sms?” katanya setelah menjawab salam saya.
“He’eh.”
 “Arep nang ndi meneh? Tangerang?”
“Cirebon toh buk, perasaan wingenane wis crita.”
“Nginep neng ndi lek nyampek’e bengi?”
“Ngemper.”
“Wani?”
“InsyaAlloh.”
“Yawes ati-ati.”
“Selow lah.”
“Dasar ndableg. Salamua’alaikum”
Waalaikumsalam…tut..tut…

Segitu aja. Kadang saya mikir, kenapa ibu saya nggak perhatian banget, nggak nanya saya udah makan belum, apa gimana gitu kayak ibu temen-temen. Kenapa mbah putri saya jauh lebih perhatian. Halaaaaaah curhat lagi.
Mungkin memang begitu gaya ibu menyayangi saya. Mungkin itu caranya memberi saya kepercayaan untuk pergi-pergi.
Ya, setiap orang punya cara menyayangi masing-masing. Begitupun ibu anak-anak ini, bekerja jauh dan mengorbankan kebersamaan adalah bentuk cinta yang besarnya tidak bisa dikira-kira.
Seorang bapak mendekati kursi kami, “Nok ayo bali kursine dewe, wis wengi. Gek pada turu.”
Anak-anak masih malas sepertinya untuk tidur meskipun mata mereka sudah merah. “Wis malem lo dek, hayu pada bobok,” sambungku.
“Mbak’e yo ben istirahat.” Bapaknya tersenyum ke saya.
Akhirnya satu anak mau kembali ke kursinya. Bapak yang satunya, yang tadi nitipin anak-anak ke saya kembali dari sambungan gerbong. “Hayo liyane ya pada bali ngana,” tiga yang lain menurut dan berjalan ke gerbong mereka masing-masing. “Itu tadi tetangga mbak, anak saya ini, Rizki, kalau Ifa sama Putra ini ponakan. Monggo mbak istirahat.”
“Enggih pak.”

Saya mulai pasang headset, lagu-lagu Mocca mulai mengalun. Sementara Putra dan Rizki mulai digelarkan koran di bawah bangku, Ifa meringkuk di kursi dan si bapak memilih kembali ke sambungan gerbong. Hampir setengah sebelas malam, gerbong mulai hening, penumpang lain juga banyak yang terlelap, goyangan dan suara kereta lamat-lamat terdengar bersamaan dengan suara mas-mas yang sesekali lewat menawarkan bantal atau nasi goreng.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: