Pada
meja nomor tujuh belas. Hampir selalu ada waktu untuk membahas aku. Egois
benar, semua keluh kesah kutumpahkan tanpa menyisakan banyak lahan untukmu
ganti bercerita. Aku bisa merutuki, memaki-maki, bahkan mengumpati orang-orang
yang terlanjur hobi membuatku kecewa. “Jangan ditahan marahnya. Ndak papa,”
katamu selalu.
Pada meja nomor tujuh belas. Hari ini aku tidak melihat kecewa lagi di
wajahmu. Aku tidak mendengar lagi ceritamu tentang kesedihan bubaran tanpa aku
pernah peduli kapan dimulai. Baru saja kutanya, “Sedang dekat dengan siapa?”
kau jawab tanpa ragu, “Tidak ada sama sekali.” Tuhan, aku bahagia!
Aku
tidak bisa menahan kecewa saat waiter
salah membawakan spaghetti, padahal tadi kupesan fettuchini. “Tunggu ya, biar
aku complain dulu,” katamu. Aku
menolak dengan polosnya, “Bete ah nunggu masaknya lamaaaa. Setengah jam, udah
nggak tahan. Keroncongan!”
Jadi kau pun sepakat bahwa menunggu tidak pernah menyenangkan? Mungkin
sebaiknya kau belajar menikmati macam-macam kejutan. Aku sudah hatam, hampir
empat tahun. Kadang tak ada niat memikirkan, wanna let it flow, dunno and don’t
care, wanna let it go. But I am clueless, almost hopeless. Oh innocent! Sial,
kau selalu berhasil membuatku emosional, hanya di dalam hati tanpa pernah tega
meluapkannya di depanmu. Aku “terlalu” memakai perasaan, selalu begitu.
“Jadi
apa rencanamu setelah empat tahun ini?” Dengan semangat segulung spaghetti kukunyah. Kau tersenyum,
mungkin lucu melihat temanmu yang hampir tidak tahu rasanya kehilangan nafsu
makan. Hehe
“Menyeriusimu,” kataku dengan suara pelan, grogi, namun pasti.
“HAA??
Orang gilaaak!” Aku berhenti menggulung spaghetti dan hampir tak bisa
mengecilkan volume tertawa.
Kurang ajar! Tahu tidak, menyiapkan diri untuk
bilang seperti itu tidak instan. Aku latihan, dan waktunya tidak sebentar. Ini
baru satu kata kau sudah tertawa. Dasar, tidak sopan! “Bisa ndak di rem
ketawanya? Malu!”
“Ooh
iya, iya. Maaf, maaf, keceplosan.” Kenapa wajahmu begitu tampak serius? Aku
mulai didera canggung. Kusodorkan beberapa lembar tisu, “Ini AC-nya nyala tapi
anu kamu kringetan.” Sialan, sepertinya sore ini tidak akan penuh canda tawa.
Aku gelagapan ketika bibirmu menyerocos English
yang hanya sepotong-potong kupahami maksutnya. “Pakai bahasa Indonesia saja
sih,” potongku, dan benar-benar kali ini wajahmu sebal.
“Ini usahaku biar romantis, tolong dong jangan
disela! Aku tahu kamu ndak bego-bego banget. Kamu mudeng aku ngomong apa.” Aku
bisa sangat sebal dengan pura-pura bodohmu. Sangat sebal! Sayangnya sekejap
saja sudah akan lupa. Sayangnya.
Kurangkum,
dengan kemampuan terjemah alakadarnya. Tentang masa akhir studi, tentang mimpi
mengejar beasiswa luar negeri, tentang tawaran bekerja, tentang menjadi tulang
punggung untuk keluargamu, tentang mama dan adikmu, tentang menyeriusi
seseorang, tentang berkeluarga dan… tentang aku yang kau tawari mau atau tidak
menjadi bagian dari semua itu.
Lalu
hening … … …
Kamu selalu berkoar bahwa yang bersamamu entah kapan itu belum bisa
dewasa, aku pun tak ada minat menelusuri siapa saja mereka. Kamu sering kali
mempertanyakan, apa maksut mereka berucap “Aku mau kita serius,” tapi digantung
tak punya ujung. Kamu bilang lelah bermain, maka aku bersedia menjadi tempatmu
pulang. Kita bisa memulai memikirkan yang serius dari sekarang. Tidakkah ini
lebih mudah, dan tidak akan berdrama seperti sebelum-sebelumnya?
“So? How?” Tolong ya, jangan bercanda lagi. Aku sedang sangat serius.
Salah
tingkah. Hanya bisa salah tingkah. Pura-pura menyedot minuman dan dengan
konyolnya buble di dalamnya
tersangkut ujung sedotan. Mau mengunyah lagi, kok kurang etis. Mencari-cari
tisu, mengelap-elap mulut sebentar. Dan, sempurna tak tahu harus bagaimana
ketika dengan runtut kau menceritakan semuanya dari a sampai z dengan intro…. Jadi selama ini.
“And it will
be dumbful if right now I wanna listen what is your feeling. I just wanna tell
you what is mine. Because I have showed along this time, just showing without
saying. And you dunno or maybe just little bit gimmick or… em, sorry. So,
Should I have more time for waiting until the age you wanna take a ‘serious’
decision? And when, anyway?” puncak kejengkelanku hanya berakhir dengan seperti
itu. Aku benci membuatmu tidak nyaman tapi lebih benci lagi menyimpan semua
ini. Mungkin kau ingin tertawa meragukan bahwa kita tidak akan bisa menjadi
serius. Kita sudah terlalu nyaman dengan tidak serius. Aku sakit jika kau
bercerita lagi-lagi ada yang menyakitimu. Aku ingin kau berhenti sakit, dan aku
pun berhenti menyakiti diri sendiri. Sudahlah, mau kau cari yang bagaimana
lagi? Pilihanmu tidak ada yang pernah
benar. Berapa kali kau datang membawa luka, lalu belum sebegitu sembuh sudah
pura-pura tertawa, lalu datang lagi dengan model-model cerita yang hampir sama?
Kemari, sudah kuputuskan aku ingin mengajakmu pulang ke rumah yang membuatmu
tenang. Tidak hanya bahu yang bisa kau pinjam kapanpun kau mau tapi juga tenaga
yang mau menopangmu hingga bahagia, hati yang mengasihi tanpa banyak tapi.
Samar-samar kudengar elakmu, bahwa teman selamanya akan menjadi teman. Kita
terlanjur nyaman haha hihi, sulit untuk menyusun kompromi-kompromi baru. Bodoh!
Teori mana lagi yang kau ciptakan? Tidak pernah dengar pasangan terbaik adalah
sahabatmu?? Oh sial! Tak seharusnya aku mengata-ngataimu. Kau yang bodoh atau
aku sih sebenarnya?
…. …. ….
Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau
tak cinta….
Aku
membiarkan hening dipecah lagu-lagu yang diputar tempat ini. Aku tidak punya banyak kosa kata jika apapun
yang keluar dari mulutku sebenarnya kau telah tahu kemana ujungnya. Di meja
tujuh belas, aku diam memandangi sesedok seafood dari piringmu yang hendak kau
suapkan. “Buruan, kamu kan suka cumi. Ini cuminya buat kamu aja.” Aku suka
cumi, disuapi lagi. Kamu bahagia melihatku makan cumi dengan lahap misalnya,
tapi buat apa jika senyumku saat mengunyah itu penuh tanda tanya. Apa jika
terus bersikap ‘yang membuatmu bahagia’ kita akan baik-baik saja? Atau maksudku
kamu akan baik-baik saja? Karena seratus tiga persen aku tidak akan baik-baik
saja dengan berlaku seperti itu. Pura-pura atau semacamnya. Aku buntu.
-selesai-
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: