Senin, 18 Januari 2016

Pada Meja Nomor Tujuh Belas



Pada meja nomor tujuh belas. Hampir selalu ada waktu untuk membahas aku. Egois benar, semua keluh kesah kutumpahkan tanpa menyisakan banyak lahan untukmu ganti bercerita. Aku bisa merutuki, memaki-maki, bahkan mengumpati orang-orang yang terlanjur hobi membuatku kecewa. “Jangan ditahan marahnya. Ndak papa,” katamu selalu.

Pada meja nomor tujuh belas. Hari ini aku tidak melihat kecewa lagi di wajahmu. Aku tidak mendengar lagi ceritamu tentang kesedihan bubaran tanpa aku pernah peduli kapan dimulai. Baru saja kutanya, “Sedang dekat dengan siapa?” kau jawab tanpa ragu, “Tidak ada sama sekali.” Tuhan, aku bahagia!

Aku tidak bisa menahan kecewa saat waiter salah membawakan spaghetti, padahal tadi kupesan fettuchini. “Tunggu ya, biar aku complain dulu,” katamu. Aku menolak dengan polosnya, “Bete ah nunggu masaknya lamaaaa. Setengah jam, udah nggak tahan. Keroncongan!”

Jadi kau pun sepakat bahwa menunggu tidak pernah menyenangkan? Mungkin sebaiknya kau belajar menikmati macam-macam kejutan. Aku sudah hatam, hampir empat tahun. Kadang tak ada niat memikirkan, wanna let it flow, dunno and don’t care, wanna let it go. But I am clueless, almost hopeless. Oh innocent! Sial, kau selalu berhasil membuatku emosional, hanya di dalam hati tanpa pernah tega meluapkannya di depanmu. Aku “terlalu” memakai perasaan, selalu begitu.

“Jadi apa rencanamu setelah empat tahun ini?” Dengan semangat segulung spaghetti kukunyah. Kau tersenyum, mungkin lucu melihat temanmu yang hampir tidak tahu rasanya kehilangan nafsu makan. Hehe

“Menyeriusimu,” kataku dengan suara pelan, grogi, namun pasti.

“HAA?? Orang gilaaak!” Aku berhenti menggulung spaghetti dan hampir tak bisa mengecilkan volume tertawa.

Kurang ajar! Tahu tidak, menyiapkan diri untuk bilang seperti itu tidak instan. Aku latihan, dan waktunya tidak sebentar. Ini baru satu kata kau sudah tertawa. Dasar, tidak sopan! “Bisa ndak di rem ketawanya? Malu!”

“Ooh iya, iya. Maaf, maaf, keceplosan.” Kenapa wajahmu begitu tampak serius? Aku mulai didera canggung. Kusodorkan beberapa lembar tisu, “Ini AC-nya nyala tapi anu kamu kringetan.” Sialan, sepertinya sore ini tidak akan penuh canda tawa. Aku gelagapan ketika bibirmu menyerocos English yang hanya sepotong-potong kupahami maksutnya. “Pakai bahasa Indonesia saja sih,” potongku, dan benar-benar kali ini wajahmu sebal.

“Ini usahaku biar romantis, tolong dong jangan disela! Aku tahu kamu ndak bego-bego banget. Kamu mudeng aku ngomong apa.” Aku bisa sangat sebal dengan pura-pura bodohmu. Sangat sebal! Sayangnya sekejap saja sudah akan lupa. Sayangnya.

Kurangkum, dengan kemampuan terjemah alakadarnya. Tentang masa akhir studi, tentang mimpi mengejar beasiswa luar negeri, tentang tawaran bekerja, tentang menjadi tulang punggung untuk keluargamu, tentang mama dan adikmu, tentang menyeriusi seseorang, tentang berkeluarga dan… tentang aku yang kau tawari mau atau tidak menjadi bagian dari semua itu.

Lalu hening … … …

Kamu selalu berkoar bahwa yang bersamamu entah kapan itu belum bisa dewasa, aku pun tak ada minat menelusuri siapa saja mereka. Kamu sering kali mempertanyakan, apa maksut mereka berucap “Aku mau kita serius,” tapi digantung tak punya ujung. Kamu bilang lelah bermain, maka aku bersedia menjadi tempatmu pulang. Kita bisa memulai memikirkan yang serius dari sekarang. Tidakkah ini lebih mudah, dan tidak akan berdrama seperti sebelum-sebelumnya?
“So? How?” Tolong ya, jangan bercanda lagi. Aku sedang sangat serius.

Salah tingkah. Hanya bisa salah tingkah. Pura-pura menyedot minuman dan dengan konyolnya buble di dalamnya tersangkut ujung sedotan. Mau mengunyah lagi, kok kurang etis. Mencari-cari tisu, mengelap-elap mulut sebentar. Dan, sempurna tak tahu harus bagaimana ketika dengan runtut kau menceritakan semuanya dari a sampai z dengan intro…. Jadi selama ini.

“And it will be dumbful if right now I wanna listen what is your feeling. I just wanna tell you what is mine. Because I have showed along this time, just showing without saying. And you dunno or maybe just little bit gimmick or… em, sorry. So, Should I have more time for waiting until the age you wanna take a ‘serious’ decision? And when, anyway?” puncak kejengkelanku hanya berakhir dengan seperti itu. Aku benci membuatmu tidak nyaman tapi lebih benci lagi menyimpan semua ini. Mungkin kau ingin tertawa meragukan bahwa kita tidak akan bisa menjadi serius. Kita sudah terlalu nyaman dengan tidak serius. Aku sakit jika kau bercerita lagi-lagi ada yang menyakitimu. Aku ingin kau berhenti sakit, dan aku pun berhenti menyakiti diri sendiri. Sudahlah, mau kau cari yang bagaimana lagi?  Pilihanmu tidak ada yang pernah benar. Berapa kali kau datang membawa luka, lalu belum sebegitu sembuh sudah pura-pura tertawa, lalu datang lagi dengan model-model cerita yang hampir sama? Kemari, sudah kuputuskan aku ingin mengajakmu pulang ke rumah yang membuatmu tenang. Tidak hanya bahu yang bisa kau pinjam kapanpun kau mau tapi juga tenaga yang mau menopangmu hingga bahagia, hati yang mengasihi tanpa banyak tapi. Samar-samar kudengar elakmu, bahwa teman selamanya akan menjadi teman. Kita terlanjur nyaman haha hihi, sulit untuk menyusun kompromi-kompromi baru. Bodoh! Teori mana lagi yang kau ciptakan? Tidak pernah dengar pasangan terbaik adalah sahabatmu?? Oh sial! Tak seharusnya aku mengata-ngataimu. Kau yang bodoh atau aku sih sebenarnya?
…. …. ….

Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta….

Aku membiarkan hening dipecah lagu-lagu yang diputar tempat ini.  Aku tidak punya banyak kosa kata jika apapun yang keluar dari mulutku sebenarnya kau telah tahu kemana ujungnya. Di meja tujuh belas, aku diam memandangi sesedok seafood dari piringmu yang hendak kau suapkan. “Buruan, kamu kan suka cumi. Ini cuminya buat kamu aja.” Aku suka cumi, disuapi lagi. Kamu bahagia melihatku makan cumi dengan lahap misalnya, tapi buat apa jika senyumku saat mengunyah itu penuh tanda tanya. Apa jika terus bersikap ‘yang membuatmu bahagia’ kita akan baik-baik saja? Atau maksudku kamu akan baik-baik saja? Karena seratus tiga persen aku tidak akan baik-baik saja dengan berlaku seperti itu. Pura-pura atau semacamnya. Aku buntu. 


-selesai-


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: