Hai, Tuan Tiba-tiba.
Hujan sedang begitu populer
saat ini di sini, mungkin juga di tempat asalmu sana. Kami sedang hobi benar
membicarakan cuaca. Seperti merujuk mendung sebagai pertanda hujan meskipun
belum tentu terjadi demikian. Setidaknya cuaca punya cara tersendiri untuk
berkabar bahwa aku perlu melipat mantel atau memastikan payungku tidak bolong
sebelum ke luar rumah.
Itu cuaca, Tuan. Dia saja
punya pertanda, hujan hampir tidak pernah datang tiba-tiba. Lalu kau? Hingga namamu menjadi Tuan Tiba-tiba begitu. Ah
kau pasti dengan sombongnya bilang, “Aku memang selalu penuh kejutan. Tidak akan
membosankan.”
--- --- ---
Seharusnya malam itu ada dua
gelas kopi di meja kecil yang letaknya di pojokan timur tempat kita biasa ngopi
dulu. Aku tentu masih akan merutuki hujan yang membuatku akan semakin sendu,
iya aku benci menjadi sendu di waktu yang salah. Seperti katamu, apalah aku
gadis kecil yang selalu gagal menutupi grogi dan kepanikan, lugu, liar dengan
rindu, dan tentu saja….naif. Aku tidak berubah, mungkin memang iya.
Tiba-tiba kau datang,
berkabar, bercakap panjang lebar. Lalu, “Kamu bahagia aku menghubungimu lagi?”
Aku diam.
“Bukankah ini yang pernah
ada di doa-doamu sepanjang malam ketika kamu insomnia?”
Ludahku kering seketika, “Iya.
Pernah. Benar.”
“Jadi, sebentar lagi kamu
wisuda, kan?”
“Iya”
“Gimana, skripsi apa kabar?”
“InsyaAllah lancar.”
Aku tahu basa-basi, ini
semua cuma basa-basi. Aku tahu. Kamu cerdas, tapi sepertinya lebih ahli aku si
tukang drama dalam hal ini. Sudah cepatlah, to
the point saja, cukup basa-basinya.
“Kamu masih hobby ngetrip?” aku ganti bertanya.
“Aku sampai di titik jenuh. Cari
duit, menjalani hidup, memenuhi kebutuhan, liburan. Begitu-begitu saja. Semacam
sudah sampai kulminasinya.”
“Ada ya ngetrip jenuh? Bersenang-senang
ada titik jenuhnya?”
“Tak kira cerdasmu sudah
mendingan, masih sama ternyata.”
Dan kapasitasku memahami
perkataanmu mungkin akan selalu terbelakang. Jika sudah begitu aku hanya bisa
cengengesan.
“Bersenang-senang punya
tingkatannya masing-masing. Aku sudah kenyang bersenang-senang di level ini.
Makannya butuh level lebih tinggi dari ini.”
“Semacam mengupgrade hidup? Mendaki gunung mana lagi?”
“Kapan mudengnya sih kamu?”
Ya Tuhan salah lagi. “Emm, aku endak pahaman og orangnya.”
“Aku siap selalu membantumu
untuk lebih cerdas, biar nggak gagal
paham terus.”
Aku tertawa.
“Aku ingin menikah. Aku ingin
membangun keluarga. Dan itu sama kamu.”
Jreeeeeeeeng
Refleks. Pecah tawaku
seketika.
Hei Tuan Tiba-tiba, tawaku
mendera setiba-tiba pernyataanmu. Setiba-tiba pergimu dulu. Setiba-tiba
datangmu.
Kamu mungkin tidak pernah
tahu gadis kecilmu pernah porak poranda lalu tertatih-tatih memunguti banyak rasa
yang awur-awuran.
“Aku sedikitpun tidak pernah
berniat pergi untuk menyakiti. Aku tidak tega mengajak kamu hidup susah. Dan aku
butuh waktu untuk memastikan itu semua terjadi. Kamu drama, lebih tidak tega
lagi.”
Aku tertawa lagi, betapa
ketetapan Tuhan terkadang terlalu konyol untuk dicerna.
“Kamu benci?”
Tidak Tuan, sama sekali
tidak. Sedikitpun aku tidak pernah membencimu. Jika aku pernah tersungkur, itu
murni jalan yang memang harus aku lalui. Aku mengamini pendewasaan itu terjadi
melalui proses. Dan dengan bersamamu aku pernah berproses. Dulu aku
memaki-maki, namun seberjalannya waktu jadi mengerti. Syukurku, pernah jatuh
cinta dan pernah terluka, pernah memuja harap dan aus begitu saja. Pernah menunggu
kemudian merelakan untuk lalu. Jika tidak karenamu aku tidak akan ada di masa
ini. Karena Tuhan menempa tanpa pernah bertanya kamu siap atau tidak. Nyatanya,
aku memang sebebal itu, bisa karena dipaksa. Dan dipaksa Tuhan tidak pernah ada
yang sia-sia.
“Kamu sedikit lebih dewasa,
tapi tetap saja drama,” katamu.
Terima kasih, telah
sebegitunya memperhatikan aku.
Tabik
Gadis kecilmu yang belum
berhenti lugu.
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: