Jumat, 13 November 2015

Kenapa Tiba-tiba ?



Hai, Tuan Tiba-tiba.

Hujan sedang begitu populer saat ini di sini, mungkin juga di tempat asalmu sana. Kami sedang hobi benar membicarakan cuaca. Seperti merujuk mendung sebagai pertanda hujan meskipun belum tentu terjadi demikian. Setidaknya cuaca punya cara tersendiri untuk berkabar bahwa aku perlu melipat mantel atau memastikan payungku tidak bolong sebelum ke luar rumah.
Itu cuaca, Tuan. Dia saja punya pertanda, hujan hampir tidak pernah datang tiba-tiba. Lalu kau?  Hingga namamu menjadi Tuan Tiba-tiba begitu. Ah kau pasti dengan sombongnya bilang, “Aku memang selalu penuh kejutan. Tidak akan membosankan.”

--- --- ---

Seharusnya malam itu ada dua gelas kopi di meja kecil yang letaknya di pojokan timur tempat kita biasa ngopi dulu. Aku tentu masih akan merutuki hujan yang membuatku akan semakin sendu, iya aku benci menjadi sendu di waktu yang salah. Seperti katamu, apalah aku gadis kecil yang selalu gagal menutupi grogi dan kepanikan, lugu, liar dengan rindu, dan tentu saja….naif. Aku tidak berubah, mungkin memang iya.
Tiba-tiba kau datang, berkabar, bercakap panjang lebar. Lalu, “Kamu bahagia aku menghubungimu lagi?”

Aku diam.

“Bukankah ini yang pernah ada di doa-doamu sepanjang malam ketika kamu insomnia?”
Ludahku kering seketika, “Iya. Pernah. Benar.”
“Jadi, sebentar lagi kamu wisuda, kan?”
“Iya”
“Gimana, skripsi apa kabar?”
“InsyaAllah lancar.”
Aku tahu basa-basi, ini semua cuma basa-basi. Aku tahu. Kamu cerdas, tapi sepertinya lebih ahli aku si tukang drama dalam hal ini. Sudah cepatlah, to the point saja, cukup basa-basinya.

“Kamu masih hobby ngetrip?” aku ganti bertanya.
“Aku sampai di titik jenuh. Cari duit, menjalani hidup, memenuhi kebutuhan, liburan. Begitu-begitu saja. Semacam sudah sampai kulminasinya.”
“Ada ya ngetrip jenuh? Bersenang-senang ada titik jenuhnya?”
“Tak kira cerdasmu sudah mendingan, masih sama ternyata.”
Dan kapasitasku memahami perkataanmu mungkin akan selalu terbelakang. Jika sudah begitu aku hanya bisa cengengesan.
“Bersenang-senang punya tingkatannya masing-masing. Aku sudah kenyang bersenang-senang di level ini. Makannya butuh level lebih tinggi dari ini.”
“Semacam mengupgrade hidup? Mendaki gunung mana lagi?”
“Kapan mudengnya sih kamu?”
Ya Tuhan salah lagi. “Emm, aku endak pahaman og orangnya.”
“Aku siap selalu membantumu untuk lebih cerdas, biar nggak gagal paham terus.”
Aku tertawa.

“Aku ingin menikah. Aku ingin membangun keluarga. Dan itu sama kamu.”

Jreeeeeeeeng

Refleks. Pecah tawaku seketika.

Hei Tuan Tiba-tiba, tawaku mendera setiba-tiba pernyataanmu. Setiba-tiba pergimu dulu. Setiba-tiba datangmu.

Kamu mungkin tidak pernah tahu gadis kecilmu pernah porak poranda lalu tertatih-tatih memunguti banyak rasa yang awur-awuran.

“Aku sedikitpun tidak pernah berniat pergi untuk menyakiti. Aku tidak tega mengajak kamu hidup susah. Dan aku butuh waktu untuk memastikan itu semua terjadi. Kamu drama, lebih tidak tega lagi.”
Aku tertawa lagi, betapa ketetapan Tuhan terkadang terlalu konyol untuk dicerna.
“Kamu benci?”

Tidak Tuan, sama sekali tidak. Sedikitpun aku tidak pernah membencimu. Jika aku pernah tersungkur, itu murni jalan yang memang harus aku lalui. Aku mengamini pendewasaan itu terjadi melalui proses. Dan dengan bersamamu aku pernah berproses. Dulu aku memaki-maki, namun seberjalannya waktu jadi mengerti. Syukurku, pernah jatuh cinta dan pernah terluka, pernah memuja harap dan aus begitu saja. Pernah menunggu kemudian merelakan untuk lalu. Jika tidak karenamu aku tidak akan ada di masa ini. Karena Tuhan menempa tanpa pernah bertanya kamu siap atau tidak. Nyatanya, aku memang sebebal itu, bisa karena dipaksa. Dan dipaksa Tuhan tidak pernah ada yang sia-sia.

“Kamu sedikit lebih dewasa, tapi tetap saja drama,” katamu.

Terima kasih, telah sebegitunya memperhatikan aku.



Tabik

Gadis kecilmu yang belum berhenti lugu.

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: