JOGJA hampir kelabu. Baru saja aku berhasil keluar dari kotakan sempit shelter Trans Jogja. Aku menemukan senyum samarmu. Berjalan menyeberang zebra cross di depan Vrederburg. Sepertinya hujan baru saja reda, meninggalkan beberapa kubangan yang membuat langkahmu sesekali berjingkat menghindari.
“Hai!” Aku berniat menyapamu renyah. Namun, entah, suara yang keluar dari tenggorokan justru canggung, grogi, bernada rendah. Kiraku resah yang bercokol di dada akan seketika lenyap seperti hari-hari sebelumnya, saat kita berjabat tangan dan sekadar basa-basi apa kabar. Ternyata resah itu makin mendera. Entah bagaimana caranya naik ke jantung dan andil memompa dalam detak sangat tidak beraturan.
Aku makin gusar. Apalagi menemukan jabatan tanganmu sedikit bergetar. Caramu melengos, ah pasti ada apa-apa di sana, di matamu. Padahal, kita sama-sama tahu, ada rindu yang seharusnya terpecah dengan perbincangan panjang, gelak tawamu, membagi keluh-kesah hingga mereka-reka masa depan.
Oh, Dik, membunuh waktu bersamamu bukan sebatas bercumbu menuntaskan nafsu. Bukan sekadar membawamu kabur ke Kaliurang dan menelusuri lekuk tubuhmu yang sekarang hanya kaubalut kaus V-neck dan celana tiga perempat. Caramu mengerutkan dahi, diam, dan menatap tajam, serius berpikir, atau juga sedikit kemayu menyelipkan rokok mentol, mengebulkan asap dengan angkuh sebelum berkata-kata, lalu menyambung obrolan, dari Khatmandu hingga Karimunjawa, Das Kapital hingga Pramoedya, inflasi, nilai tukar rupiah, hingga pelecehan seks perempuan-perempuan di Afrika, semua seolah tanpa muara. Mengalir terus, sederhana, tetapi penuh gairah.
Makin mengenalmu kian banyak kesempatan menyelusup ke ceruk-ceruk pemikiranmu bertapa, aku makin jatuh cinta. Tingkah manjamu yang tidak berlebihan, hobimu mengeratkan genggaman, lalu mengelus lembut, atau pelukan hangatmu, aku hanya seperti selalu menemukan suara, “Tenanglah, Mas, pulanglah kemari kapan pun kau mau. Semua akan baik-baik saja.”
Di antara jibunan tuntutan dunia, menemukan sore dan senyummu adalah garba menuju gua ketenangan tanpa terlalu banyak dentuman dan gesekan. Masa bodoh mereka di luar sana menyebutku terlampau terlena. “Bukankah cinta yang tulus sudah cukup, Mas?” katamu selalu meyakinkanku. Setidaknya aku terlena oleh cinta yang tulus. Toh nafsu hanya bumbu.
***
KITA berjalan dalam diam, seperti dua orang tidak saling kenal. Aku membuntutimu, melangkah tergesa di antara orang-orang yang berjubel memburu suvenir. Kau tidak ingin bernostalgia sepertinya, sekadar mengangkat Nikon-mu dari kalungan. Lalu membidikkan lensa ke beberapa arah. Padahal, katamu, dulu Malioboro selalu cantik, menggoda dipotret, auranya bak perempuan bergincu merah muda. Dulu, kita sering hunting bersama bukan? Aku ketularan aliran street photography-mu, hingga murtad dari landscape. “Jalanan punya segalanya, Mas. Mau drama model apa saja, asal Mas jeli. Aliran yang paling mudah mengungkap banyak cerita,” katamu dulu.
Kau yang mengajarkan bagaimana candid dengan POI yang akan tampak begitu menarik, setelan aperture, memilih lensa, hingga interaksi dengan objek.
Aku baru sadar, kita sudah sejak tadi melewati Bringharjo. Kujajari langkahmu, “ Eh, Dik, kita mau ke mana?”
Datar saja kauucapkan sebuah kedai donat premium di Malioboro Mall. “Padahal, aku kangen dawet di dalam Bringharjo. Gimana kalau ke sana saja?”
Langkahmu terhenti. Nah, akhirnya bertemu matamu. “Tempat seramai itu, Mas? Obrolan kita….”
Dari matamu aku tahu, kata-katamu tercekat di tenggorokan, tercekat sesak yang sejak tadi menyumpal ulu hati. Kau membuang pandangan. Artinya, usahaku membuat kita tidak sekaku ini kautolak mentah-mentah. Baiklah, Dik, obrolan kita memang dewa sore ini. Terserah, mau dibawa ke mana kita selanjutnya. Hanya obrolan. Ah, begini benar!
Kita berbelok ke Malioboro Mall, kotak kaca besar di sebelah kanan pintu masuk, kedai yang tidak terlalu ramai sore ini. Sementara di luar gerimis merintis, pendingin ruangan dan dingin hujan membekukanku, juga mungkin membuat bibirmu kelu. Aku memperhatikan caramu terdiam, menatap kosong rintik air di luar. Kau masih suka gerimis. Caramu menatap seolah menginginkan menari di bawahnya. Bukankah kita pernah berlarian di bawah gerimis waktu gagal memotret senja di Ratu Boko? Kau kedinginan, tetapi sangat bahagia waktu itu. Lalu kita naik Trans Jogja menuju kontrakanmu. Sesekali kaukagumi caraku memotret kota dengan rintik gerimis di dinding kaca bus.
“Sendu,” ucapmu, lalu kusambung, “Ya, sendu seperti wajahmu.”
Kau tergelak. Tawamu lepas, memamerkan deretan gigi rapi hasil behel dua tahun katamu. Oh, Dik, bahagia memang milik kita waktu itu.
Sejak kapan di meja kita ada dua cangkir cokelat panas dan tiga buah donat warna-warni? Aku terlalu larut dalam lamunan. Mungkin kau juga. Sekarang kauseruput pelan cokelat panasmu. Aku menunggu, tetapi tidak tahu menunggu apa.
“Jadi….”
Terima kasih Dik, akhirnya kau mengawali.
“Jadi, aku….” Semalam sudah kususun apa yang ingin aku katakan. Namun ke mana semua? Oh, Dik, aku sebenarnya tahu, kau tahu apa yang akan kita bicarakan. Media sosialku telah gamblang menceritakan semua kan?
“Foto-foto di Instagram-mu, Mas.”
“Iya, Dik. Sebenarnya sore ini aku ingin memberikan ini,” ujarku sambil mengambil sesuatu dari ransel, lalu meletakkan di meja. Adakah warna jingga di sana makin menohok ulu hatimu? Aku juga tahu setelah gerimis kau menggilai senja yang jingga. Jangan kaugigit bibir bawahmu sekuat itu Dik. Perih. Berhentilah! Apa yang kautahan? Air mata? Toh matamu tetap berkaca-kaca. Matamu kaupaksa tak mengalihkan pandangan, meski tanpa berniat menyentuh benda itu sama sekali.
“Aku hanya tiba-tiba lupa berekspresi, Mas.” Nafasmu sesak. Kauambil oksigen sepanjang yang kau kuat. “Mas….” Emosimu tertahan. Dahimu tiba-tiba bercucuran keringat di ruangan sedingin ini dan Jogja yang gerimis?
Aku menatap matamu. Pasti juga bisa kaubaca apa yang ingin meluap dari lelakimu ini. Banyak sekali hal ingin kuutarakan. Namun tak bisa, Dik. Aku tiba-tiba bodoh dan terbata. “Maafkan aku, Dik.” Hanya itu yang mampu kukeluarkan. Sangat lirih.
“Maafkan aku juga. Aku tidak bisa berpura-pura memberimu doa, Mas. Sakit, Mas. Aku juga tidak bisa memberimu selamat. Maaf.”
Tuhan, rasanya seperti ada paku dipalu tepat ke gendang telinga. Nyeri, ngilu. Sakitnya semenyiksa ini. Aku hanya tampak begitu kejam, seperti menuli, tak punya hati. Oh, Dik, ingin memelukmu dan menampung tangisanmu di bahuku. Kita pernah mengobrolkan semua itu sebelumnya. Pernah juga saling meyakinkankan: kita tidak akan serapuh ini ketika semua itu terjadi.
“Memang akhirnya harus begini, Mas. Sudah, jangan khawatirkan aku.”
Jemariku bergerak hendak menggenggammu. Kau menarik diri. “Dik, aku selalu mencintaimu,” kataku.
“Dunia yang tidak pernah mencintai kita,” nadamu lelah dan pasrah.
Kali ini, benar-benar jatuh air matamu. Tidak peduli beberapa pasang mata memperhatikan kita. “Kenapa saling mencintai saja tidak pernah cukup, Mas? Aku mencintaimu bukan sebatas kamu top dan aku bot.”
Aku juga Dik, aku pakai hati denganmu. Sayang aku tetap tak bisa menjawab pertanyaan, “Kenapa aku harus lagi-lagi kehilangan?”
Seharusnya aku membawamu lari ke Belanda, hidup tenteram dan sama-sama mewujudkan mimpi-mimpi kita. Seharusnya aku tidak memilih pergi. Lagi-lagi kau harus bertemu pecundang yang tak berani mempertaruhkan diri. Masih kuingat getir suaramu pada suatu sore gerimis di Parangtritis. “Kenapa dunia, manusia-manusia itu, harus mengendalikan segalanya? Mengendalikan cara berpikir, mengendalikan persepsi, mengendalikan mana yang benar dan salah. Mas, cinta pun harus dikendalikan mereka? Cinta kan hanya aku dan kamu yang tahu, yang menjalani. Kenapa harus tunduk pada kendali mereka, persepsi mereka, benar-salah mereka?”
Aku menyimpan kata-kata itu, termasuk ekspresi marah dan kecewamu yang tak tahu hendak kauluapkan pada siapa.
Menyembunyikan cinta kita tidak pernah semudah menyembunyikan vigel dalam sneakersusang di pojok rumahku. Kalau sampai ketahuan Ibu, aku hanya akan bilang itu minyak bulus penumbuh rambut. Semua penuh konsekuensi, dan aku lelakimu yang pecundang ini tak punya cukup keberanian untuk memperjuangkan. Aku memilih memaksa diri tunduk pada persepsi mereka, benar-salah mereka.
“Aku harus pergi, Mas. Terima kasih untuk semuanya.”
Suaramu masih sesenggukan. Dalam sekali tangismu sore ini. Nafasmu tersengal-sengal. Aku ingin menahan kepulanganmu, menarik pergelanganmu. Namun aku juga tidak tahu, jika terus di sini aku bisa memberimu apa. Oh, Dik, lelakimu ini hanya mampu memandang kau berjalan keluar kedai yang mulai ramai, lalu tertelan kerumunan dan hilang. Sementara orang-orang di sekitar meja bertanya-tanya melalui pandangan mereka.
Aku menyesap cokelat yang tadi kaupesankan. Terlalu pahit. Kubalik benda jingga yang telah menamparmu, meski tanpa bergerak sedikit pun. Aku membaca di sampulnya, ada namaku Satriya Astapraja, dan nama calon istriku, Tulip Sasmita Prihantari. Ada pula foto kami: aku menggendong dia di punggungku berlatar belakang jalanan Jakarta waktu senja. Foto yang tadi kausebut ada di akun Instagram-ku dengan hastag #prewed. Dan, di pojok bawah itu, namamu, Diki Rahadian Soetopo. Aku yang mengetik huruf-huruf itu, mencetak di atas label nama, dan baru tadi di atas Trans Jogja kutempel di sana.
Aku melihat keluar. Masih gerimis. Semoga kau sedang menari di bawahnya, melenyapkan luka. Semoga setiap luka memang ada obatnya. Semoga Tuhan berhenti menggodamu dengan kebahagiaan semu. Oh, Dik!
-selesai-
Editor : Kang Putu
Gambar ilustrasi : http://www.flickriver.com/
Ceritanya bagus, tulisannya agak dirapiin lagi pasti lebih bagus :)
BalasHapusTrimakasih sarannya, mas :)
BalasHapus