Subuh
belum sepenuhnya tumbuh tiap saya mulai lebur dengan dapur. Kotakan sempit
antara ruang tengah dan kamar mandi dengan seperangkat rak piring, beberapa
gelantung wajan dan panci, serta sebuah kompor gas elpiji. Ada air yang sedang
di jerang, beberapa sendok teh gula dan bubuk kopi telah saya siapkan dalam
gelas blimbingan. Setiap pagi, sayalah barista handal dengan sebongkah rasa
yang akan membuat siapapun jatuh cinta. Keterbatasan memahami kopi ini robusta
atau arabika, Jawa, Gayo, atau Toraja termaafkan dengan sebuah senyum yang akan
melengkung sempurna setelah mencecap rasanya. Bakat meracik kopi sudah
turun-temurun di keluarga kami. Meracik kopi telah diajarkan ibu sedari saya
duduk di sekolah dasar. Di kampung, nama buyut saya sudah kondang sebagai
pemilik warung kopi. Kemampuan buyut meracik kopi diwariskan turun-temurun
kepada nenek, ibu, lalu saya. Warung kopi yang kelewat laris membuat saya
terbiasa membantu ibu meracik bergelas-gelas kopi. Tidak hanya itu,
keterampilan menggoreng biji kopi dan menggilingnya juga saya miliki. Kopinya
bisa saja sama, peralatan seperti tungku dan nanangan juga sama, namun hanya tangan-tangan tertentu yang bisa
membuatnya berbeda, membuat bubuk kopi yang tidak terlalu halus itu selalu
istimewa.
Sekarang
saya di sini, kontrakan mungil di pinggiran Jakarta. Saya pergi merantau untuk
melanjutkan sekolah. Kecintaan saya kepada kopi adalah satu-satunya yang
membuat saya bertahan. Nama saya Wulandari, mahasiswi tata boga semester tiga
di sebuah perguruan tinggi swasta. Bapak mau membiayai sekolah saya di tata
boga, bukan sekolah khusus barista. Kata bapak, modal mendirikan kedai kopi
sesuai impian saya terlalu berat baginya. Saya legowo, selesai dengan
pendidikan D3 saya akan bekerja dan menabung sendiri untuk kedai impian saya. Sebuah
kedai kopi besar di tengah kota dengan nuansa kampung halaman.
“Selamat
pagi, Nduk.” Bapak sudah bangun rupanya. Apalagi, kalau bukan karena aroma
segelas kopi.
“Sugeng enjang,Pak.”
Kebiasaan
bapak adalah menuang kopi panas ke atas tatakan gelas, sesekali ditiup sebelum
dihirup. Matanya akan terpejam tiap kali tegukan melewati jakun yang naik
turun. “Pripun, Pak? Kopinya masih enak kan?” gurau saya. Saya menyukai cara
bapak membelai kepela saya, mengelus-elus halus, disempurnakan dengan sebuah
senyum lebar yang teduh, “Kopimu selalu mencerminkan pembuatnya, Nduk. Kopimu
lugu, seperti kamu to. Gadis lugu kebanggaan ibu,” tawanya yang khas menggema.
Bapak, atau tepatnya lelaki yang saya panggil bapak adalah uluran tangan Tuhan
melalui puing-puing kebahagiaan. Benarkah ini sejatinya kebahagiaan? Ah, gadis
keras kepala seperti saya, anak kampung dengan seegudang mimpi, sudah
sewajarnya kalau diberi Tuhan jalan seperti ini.
Gadis
pelosok yang tidak sudi terus terseok-seok. Teman-teman saya, di sebuah kampung
kecil terpencil di pinggiran Bojonegoro memilih menikah usai esempe. Bekerja
seadanya atau pergi ke Surabaya untuk menjadi asisten rumah tangga, penjaga
toko, bisa juga pelayan warung makan. Banyak yang pergi jauh ke Hongkong atau
Malaysia untuk merubah nasib katanya. Jalan Tuhan yang berbeda untuk saya. Hanya
beberapa dari kami yang menembus lebat hutan jati untuk pergi ke sekolah
menengah setiap pagi. Di sekolah yang jauhnya lebih dari delapan puluh kilometer
itulah saya mengenal sebuah profesi peracik kopi. Seorang guru pernah bercerita
tentang adiknya yang sukses menjadi barista di Jakarta. Benar kata bapak, saya
memang lugu. Setelah cerita itu saya tidak pernah ragu, saya menemukan mimpi
baru, barista dan Jakarta.
---
--- ---
Seharian
di akhir pekan sepenuhnya waktu saya adalah milik bapak. Lelaki paruh baya ini
menyukai cara saya melayaninya. Selalu tersedia kuping untuk mendengar tanpa muring-muring. Bapak bilang senyum manis
saya adalah gerigi pengikis kejenuhan. “Lelahku ilang begitu saja kalau ada di
dekat kamu, Nduk. Aku bisa lupa sejenak sama masalah-masalah di luar sana.”
Hanya sejenak ya, Pak. Memang sudah kodrat saya bagian dari selingan. Senyum
dan keceriaan saya adalah pelipur gulana. Memang bukan sejatinya tempat untuk
pulang. Hanya memberi sejenak teduh, sesederhana rekreasi di tiap minggu pagi.
Bapak,
saya, dan segelas kopi adalah simpul-simpul cerita. Pernah dengar kata-kata,
“Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu!” Ya, Tuhan memang
memeluk mimpi-mimpi saya. Jakarta dan barista sudah seperempatnya nyata. Dan
Tuhan yang Maha Mulia meminjam tangan bapak untuk mengulurkan pelukan yang saya
butuhkan.
Panjang
cerita. Pekerjaan bapak sebagai mandor proyek pembangunan saluran air di desa
saya telah membawanya berbaur dengan kehidupan kampung. Bapak berbeda dengan
orang-orang kota lain, sifatnya sangat ramah, guyub, dan andhap asor.
Caranya menyapa penduduk lokal dengan sopan, sifat mengayominya kepada
anak-anak muda, kebaikannya sering membayari sekadar jajan gorengan dan kopi
beberapa lelaki membuat bapak amat dekat dengan kami. Baru kali itu kami
menemui sosok mandor proyek sebaik bapak.
Tiga
bulan lamanya bapak mengerjakan proyek pembangunan saluran air itu. Kebiasaan
bapak ikut berbaur dengan warga membuatnya sering menghabiskan waktu di warung
ibu. Saya tahu dari warga bahwa bapak berasal dari Jakarta. Ketika ada
kesempatan mengobrol, saya bertanya tentang profesi impian saya, barista.
“Peracik
kopi di kedai-kedai mahal, Nduk.”
“Katanya
di Jakarta ada sekolahnya, Pak.”
Bungahlah
hati saya nemu teman bicara yang tahu tentang barista.
“Setahu
saya ada, tapi sepertinya tidak ada lembaga khusus, sekadar kursus mungkin.”
“Punapa awis sanget?”
“Sepertinya
iya.”
“Dangu?”
“Wah,
saya kurang tahu. Atau mending masuk tata boga saja, biasanya ada pelajaran
bikin kopi juga. Kopi yang dikreasikan memang sedang nge-tren. Kopi-kopi dengan
tambahan lain, cappuccino, latte, moccacino, kamu tahu kan?”
“Sumerap, Bapak, dari tivi.”
“Memangnya
kenapa?”
…
Perbincangan
kami tentang kopi, barista, dan sekolah di Jakarta seolah tidak pernah habis.
Saya selalu berhenti membantu ibu saat bapak datang. Semangat saya cecar bapak
dengan banyak sekali pertanyaan. Rasanya sangat bahagia. Di kota, peramu kopi seperti
buyut, nenek, ibu, dipandang sebagai pekerjaan berkelas. Kata bapak, mereka
selalu menempati kotakan dengan alat-alat canggih untuk meracik kopi. Bersih,
rapi, dan wangi. sama persis seperti yang pernah saya lihat di tivi. Orang-orang
kota juga membunuh waktu di warung kopi. Lihatlah, dimanapun tempatnya kopi
adalah pusaran obrolan, tidak di kampung tidak di kota. Bapak bilang beberapa
proyek yang dia tangani juga dibahas di warung kopi. Segelas kopi bukan sekadar
kafein penggajal mata mengatup. Kopi yang akan membuatmu tertahan dalam banyak
obrolan, mengikat kehidupan dengan bercengkrama bersama kawan misalnya. Kopi
adalah pengikat diantara cinta dan cerita. Saya terkesan berlebihan ya? Ah,
memang nyatanya begini.
Kisah
saya dengan kopi memang sering membuat orang heran, biar sudah! Singkat cerita
saya memang harus pergi mengejar mimpi tentang mencintai kopi. Ibu melepas
gadis lugunya ke Jakarta. Ada banjir air mata, ingin saya ikut menagis, tapi
mati-matian ditahan. Tuhan adalah produser dari kehidupan, sedang sutradaranya
tetap saya, mau saya bawa ke mana hidup saya, semua ada di tangan saya. Ya,
saya meninggalkan warung dan kampung, pergi ke Jakarta dibawa bapak untuk
disekolahkan dengan syarat imbalan yang tak pernah sedikitpun saya bayangkan.
Petaka atau bahagia, sudah terlalu drama untuk saya jauh bercerita.
---
--- ---
Akhir
pekan hampir separuh merangkak siang. Kipas angin berputar, mendesis tipis.
Kontrakan di pinggiran Jakarta hampir pukul dua belas, apa lagi kalu bukan rasa
sesak dan panas. Bapak sedang berbaring di kasur. Gelas kotor baru saja di
letakkan di sebelah tempat tidur. Sudah dua gelas untuk hari ini. Bapak
terkekeh pelan menatap saya. “Aku kangen kamu, Nduk.”
“Sebentar,
Pak. Saya taruh gelas kotor dulu.” Saya ambil gelas kemudian berjalan ke bak
cuci piring.
Kran
menyala, mengguyur ampas kopi di dasar gelas. Hening beberapa detik selalu saya
alami. Ada tangis yang hanya mampu saya tahan dengan meringis tiap kali mencuci
ampas kopi. Pekat, pahit, hanya sisa-sisa. Bukankah ini terlalu menggambarkan
tiap Minggu pagi dalam hidup saya? Bapak mendatangi saya sebagai sisa-sisa
pekan untuk sebuah kesenangan. Mungkin saya hanya perempuan kesekian, meskipun bapak bilang saya hanya yang kedua. Pahit, itu yang menggulung-gulung hati saya tiap
kali… “Nduk…” Bapak memanggil. Sudah saatnya saya datang. “Pakai lingery yang kemarin kubelikan ya!” tambahnya.
Inilah
sejatinya melayani. Dunia selalu adil, tidak kenal gratisan, semua butuh
imbalan. Di sini, setelah ini saya membayar segala kebaikan dan kedermawanan.
Saya, kopi, bapak, dan seperempat perjalanan mengejar mimpi.
--- selesai---
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: