Selasa, 04 November 2014

Kopi Mimpi




Subuh belum sepenuhnya tumbuh tiap saya mulai lebur dengan dapur. Kotakan sempit antara ruang tengah dan kamar mandi dengan seperangkat rak piring, beberapa gelantung wajan dan panci, serta sebuah kompor gas elpiji. Ada air yang sedang di jerang, beberapa sendok teh gula dan bubuk kopi telah saya siapkan dalam gelas blimbingan. Setiap pagi, sayalah barista handal dengan sebongkah rasa yang akan membuat siapapun jatuh cinta. Keterbatasan memahami kopi ini robusta atau arabika, Jawa, Gayo, atau Toraja termaafkan dengan sebuah senyum yang akan melengkung sempurna setelah mencecap rasanya. Bakat meracik kopi sudah turun-temurun di keluarga kami. Meracik kopi telah diajarkan ibu sedari saya duduk di sekolah dasar. Di kampung, nama buyut saya sudah kondang sebagai pemilik warung kopi. Kemampuan buyut meracik kopi diwariskan turun-temurun kepada nenek, ibu, lalu saya. Warung kopi yang kelewat laris membuat saya terbiasa membantu ibu meracik bergelas-gelas kopi. Tidak hanya itu, keterampilan menggoreng biji kopi dan menggilingnya juga saya miliki. Kopinya bisa saja sama, peralatan seperti tungku dan nanangan juga sama, namun hanya tangan-tangan tertentu yang bisa membuatnya berbeda, membuat bubuk kopi yang tidak terlalu halus itu selalu istimewa.
Sekarang saya di sini, kontrakan mungil di pinggiran Jakarta. Saya pergi merantau untuk melanjutkan sekolah. Kecintaan saya kepada kopi adalah satu-satunya yang membuat saya bertahan. Nama saya Wulandari, mahasiswi tata boga semester tiga di sebuah perguruan tinggi swasta. Bapak mau membiayai sekolah saya di tata boga, bukan sekolah khusus barista. Kata bapak, modal mendirikan kedai kopi sesuai impian saya terlalu berat baginya. Saya legowo, selesai dengan pendidikan D3 saya akan bekerja dan menabung sendiri untuk kedai impian saya. Sebuah kedai kopi besar di tengah kota dengan nuansa kampung halaman.
“Selamat pagi, Nduk.” Bapak sudah bangun rupanya. Apalagi, kalau bukan karena aroma segelas kopi.
Sugeng enjang,Pak.”
Kebiasaan bapak adalah menuang kopi panas ke atas tatakan gelas, sesekali ditiup sebelum dihirup. Matanya akan terpejam tiap kali tegukan melewati jakun yang naik turun. “Pripun, Pak? Kopinya masih enak kan?” gurau saya. Saya menyukai cara bapak membelai kepela saya, mengelus-elus halus, disempurnakan dengan sebuah senyum lebar yang teduh, “Kopimu selalu mencerminkan pembuatnya, Nduk. Kopimu lugu, seperti kamu to. Gadis lugu kebanggaan ibu,” tawanya yang khas menggema. Bapak, atau tepatnya lelaki yang saya panggil bapak adalah uluran tangan Tuhan melalui puing-puing kebahagiaan. Benarkah ini sejatinya kebahagiaan? Ah, gadis keras kepala seperti saya, anak kampung dengan seegudang mimpi, sudah sewajarnya kalau diberi Tuhan jalan seperti ini.
Gadis pelosok yang tidak sudi terus terseok-seok. Teman-teman saya, di sebuah kampung kecil terpencil di pinggiran Bojonegoro memilih menikah usai esempe. Bekerja seadanya atau pergi ke Surabaya untuk menjadi asisten rumah tangga, penjaga toko, bisa juga pelayan warung makan. Banyak yang pergi jauh ke Hongkong atau Malaysia untuk merubah nasib katanya. Jalan Tuhan yang berbeda untuk saya. Hanya beberapa dari kami yang menembus lebat hutan jati untuk pergi ke sekolah menengah setiap pagi. Di sekolah yang jauhnya lebih dari delapan puluh kilometer itulah saya mengenal sebuah profesi peracik kopi. Seorang guru pernah bercerita tentang adiknya yang sukses menjadi barista di Jakarta. Benar kata bapak, saya memang lugu. Setelah cerita itu saya tidak pernah ragu, saya menemukan mimpi baru, barista dan Jakarta.
--- --- ---
Seharian di akhir pekan sepenuhnya waktu saya adalah milik bapak. Lelaki paruh baya ini menyukai cara saya melayaninya. Selalu tersedia kuping untuk mendengar tanpa muring-muring. Bapak bilang senyum manis saya adalah gerigi pengikis kejenuhan. “Lelahku ilang begitu saja kalau ada di dekat kamu, Nduk. Aku bisa lupa sejenak sama masalah-masalah di luar sana.” Hanya sejenak ya, Pak. Memang sudah kodrat saya bagian dari selingan. Senyum dan keceriaan saya adalah pelipur gulana. Memang bukan sejatinya tempat untuk pulang. Hanya memberi sejenak teduh, sesederhana rekreasi di tiap minggu pagi.
Bapak, saya, dan segelas kopi adalah simpul-simpul cerita. Pernah dengar kata-kata, “Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu!” Ya, Tuhan memang memeluk mimpi-mimpi saya. Jakarta dan barista sudah seperempatnya nyata. Dan Tuhan yang Maha Mulia meminjam tangan bapak untuk mengulurkan pelukan yang saya butuhkan.
Panjang cerita. Pekerjaan bapak sebagai mandor proyek pembangunan saluran air di desa saya telah membawanya berbaur dengan kehidupan kampung. Bapak berbeda dengan orang-orang kota lain, sifatnya sangat ramah, guyub, dan andhap asor. Caranya menyapa penduduk lokal dengan sopan, sifat mengayominya kepada anak-anak muda, kebaikannya sering membayari sekadar jajan gorengan dan kopi beberapa lelaki membuat bapak amat dekat dengan kami. Baru kali itu kami menemui sosok mandor proyek sebaik bapak.
Tiga bulan lamanya bapak mengerjakan proyek pembangunan saluran air itu. Kebiasaan bapak ikut berbaur dengan warga membuatnya sering menghabiskan waktu di warung ibu. Saya tahu dari warga bahwa bapak berasal dari Jakarta. Ketika ada kesempatan mengobrol, saya bertanya tentang profesi impian saya, barista.
“Peracik kopi di kedai-kedai mahal, Nduk.”
“Katanya di Jakarta ada sekolahnya, Pak.”
Bungahlah hati saya nemu teman bicara yang tahu tentang barista.
“Setahu saya ada, tapi sepertinya tidak ada lembaga khusus, sekadar kursus mungkin.”
“Punapa awis sanget?”
“Sepertinya iya.”
“Dangu?”
“Wah, saya kurang tahu. Atau mending masuk tata boga saja, biasanya ada pelajaran bikin kopi juga. Kopi yang dikreasikan memang sedang nge-tren. Kopi-kopi dengan tambahan lain, cappuccino, latte, moccacino, kamu tahu kan?”
Sumerap, Bapak, dari tivi.”
“Memangnya kenapa?”
Perbincangan kami tentang kopi, barista, dan sekolah di Jakarta seolah tidak pernah habis. Saya selalu berhenti membantu ibu saat bapak datang. Semangat saya cecar bapak dengan banyak sekali pertanyaan. Rasanya sangat bahagia. Di kota, peramu kopi seperti buyut, nenek, ibu, dipandang sebagai pekerjaan berkelas. Kata bapak, mereka selalu menempati kotakan dengan alat-alat canggih untuk meracik kopi. Bersih, rapi, dan wangi. sama persis seperti yang pernah saya lihat di tivi. Orang-orang kota juga membunuh waktu di warung kopi. Lihatlah, dimanapun tempatnya kopi adalah pusaran obrolan, tidak di kampung tidak di kota. Bapak bilang beberapa proyek yang dia tangani juga dibahas di warung kopi. Segelas kopi bukan sekadar kafein penggajal mata mengatup. Kopi yang akan membuatmu tertahan dalam banyak obrolan, mengikat kehidupan dengan bercengkrama bersama kawan misalnya. Kopi adalah pengikat diantara cinta dan cerita. Saya terkesan berlebihan ya? Ah, memang nyatanya begini.
Kisah saya dengan kopi memang sering membuat orang heran, biar sudah! Singkat cerita saya memang harus pergi mengejar mimpi tentang mencintai kopi. Ibu melepas gadis lugunya ke Jakarta. Ada banjir air mata, ingin saya ikut menagis, tapi mati-matian ditahan. Tuhan adalah produser dari kehidupan, sedang sutradaranya tetap saya, mau saya bawa ke mana hidup saya, semua ada di tangan saya. Ya, saya meninggalkan warung dan kampung, pergi ke Jakarta dibawa bapak untuk disekolahkan dengan syarat imbalan yang tak pernah sedikitpun saya bayangkan. Petaka atau bahagia, sudah terlalu drama untuk saya jauh bercerita.

--- --- ---

Akhir pekan hampir separuh merangkak siang. Kipas angin berputar, mendesis tipis. Kontrakan di pinggiran Jakarta hampir pukul dua belas, apa lagi kalu bukan rasa sesak dan panas. Bapak sedang berbaring di kasur. Gelas kotor baru saja di letakkan di sebelah tempat tidur. Sudah dua gelas untuk hari ini. Bapak terkekeh pelan menatap saya. “Aku kangen kamu, Nduk.”
“Sebentar, Pak. Saya taruh gelas kotor dulu.” Saya ambil gelas kemudian berjalan ke bak cuci piring.
Kran menyala, mengguyur ampas kopi di dasar gelas. Hening beberapa detik selalu saya alami. Ada tangis yang hanya mampu saya tahan dengan meringis tiap kali mencuci ampas kopi. Pekat, pahit, hanya sisa-sisa. Bukankah ini terlalu menggambarkan tiap Minggu pagi dalam hidup saya? Bapak mendatangi saya sebagai sisa-sisa pekan untuk sebuah kesenangan. Mungkin saya hanya perempuan kesekian, meskipun bapak bilang saya hanya yang kedua. Pahit, itu yang menggulung-gulung hati saya tiap kali… “Nduk…” Bapak memanggil. Sudah saatnya saya datang. “Pakai lingery  yang kemarin kubelikan ya!” tambahnya.
Inilah sejatinya melayani. Dunia selalu adil, tidak kenal gratisan, semua butuh imbalan. Di sini, setelah ini saya membayar segala kebaikan dan kedermawanan. Saya, kopi, bapak, dan seperempat perjalanan mengejar mimpi.

 --- selesai---

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: