Sabtu, 09 November 2013

Tere !

Panas, Sayang...
Tempat favorit yang kau sebut cafe, semakin malam semakin bejubel. Orang-orang datang lalu membentuk lingkaran-lingkaran bersama teman-teman mereka.  Mendayu-dayu tawa di telingaku. Tak ada pilihan, hidungku kembang-kempis terjejali paksa sisa bakaran nikotin. Aku bersembunyi di balik denting gelas yang sengaja kumainkan. Tang..ting..tang..ting... gumpalan gula mana lagi yang sebenarnya mau diaduk? Toh sedari sampai di meja tidak ada endapan gula di dasar gelas. Hiburanku sederhana, hanya senyummu, mendengar kau tertawa lepas, dan juga suaramu saat bilang, “Diasikin aja ya, Sayang. Bentar lagi kok.” kata-kata andalan yang merdu. Berapa kali kamu bilang, aku saja tidak berniat menghitungnya. Cukup dengan senyum termanis yang kumiliki untuk bilang, “Iya.”
Ini bukan yang pertama, kau memintaku menemanimu ke mari, nongkrong bersama teman-temanmu. Kalian, kamu dan teman-temanmu, selalu menempati meja besar dengan kursi panjang gaya warung-warung jawa, tepat di pojok kanan ruangan. Aku duduk di sebelahmu dengan posisi paling sopan diantara yang lain. Sebenarnya untuk sekedar melipat dengkul, bersila, atau memelorotkan posisi punggung sangat dibenarkan di tempat seperti ini, hanya aku yang kadung terbiasa duduk dengan benar seperti ajaran mama sejak kanak-kanak. Abaikan, apalah arti gaya duduk.
Di sini bersamamu berarti siap berjabat tangan dan tersenyum ramah berkali-kali. Temanmu seperti tak ada habisnya. Mengenalkanku dengan mereka satu per satu, kamu tak perah lupa. Aku menyukai ini, berarti kamu menghargai hubungan kita. Secara tidak langsung juga akan menurunkan kadar kecurigaanku kalau-kalau ada selingkuhan di belakangku. Selesai sampai di sini? Tidak. Aku mencintaimu, dan sesekali harus berkorban untukmu. “Gabung sama anak-anak, ya.”  Aku mengikuti caramu mendefinisikan membaur bersama teman-temanmu, demi kamu. Satu, dua, tujuh, sebelas, selusin. Kamu, teman-temanmu, dan aku, meriah seperti pasar. Kalau mencomot istilahmu, guyub. Obrolan kalian menggema, melayang-layang diantara cangkir, gelas, piring-piring kecil, dan asbak berisi abu dan putung rokok yang meluber kemana-mana.
Menjadi sok tahu, oh tenang itu bukan aku. Aku tidak akan mempermalukanmu di depan temen-temanmu, Sayang. Iya obrolan kalian bukan jangkauanku. Ketika kalian melompat-lompat di antara cerier, tracking, Mahameru, nesting, mdpl, Sembalun dan kawan-kawannya. Hanya sesekali tertawa dan menyumbangkan omongan seperlunya jika kebetulan aku tahu, cukup. Aku bisa apa? Bentengku adalah menggigit sedotan, senyum, dan mengaduk gelas. Kau tidak pernah menyuruhku diam, tapi aku cukup tahu diri.
--- --- --- --- ---

Seperti katamu, Sayang, imajinasiku tinggi hasil cekokan novel Harry Potter. Sekarang ini yang muncul di atas kepalaku adalah hamparan gurun yang panas, kering kerontang. Sepuluh laki-laki ini adalah kafilah yang berjalan beriringan. Di ujung gurun itu ada oase, ini sungguhan bukan fatamorgana. Oase yang segar dan hijau. Kemana arah imajimu? Sebentar, jangan salah! Aku tidak akan dengan pe-denya mengatakan dirikulah oase itu. Tentu saja, ada yang lebih menarik dari sekedar perempuan yang sedang kau tawari gelas ketiga lemon tea ini. Kulanjutkan, di sini aku adalah seorang turis yang mengendarai kendaraan 4WD, yang tidak sengaja menemukan gerombolan kafilah sedang mengerubungi oase. Aku mengambil kamera dan mengamati semuanya lewat bidikan lensa. Yang lebih indah untuk ukuran oase versi teman-temanmu adalah dia. Perempuan di sampingku ini. Dulu kamu mengenalkannya sebagai sahabatmu. Perempuan cantik yang akan membuat lusinan temanmu berhenti sebentar di kotakan kita, menyapanya, dan berusaha mendapat perhatiannya.
“Cantik,” ah suaramu tiap memanggil dia. Sayang, hatiku ngilu mendengarmu memanggilnya seperti itu. Kedengarannya kamu sedang mengaguminya, memuja kecantikannya. Nama lengkapnya Theresia Cantika. Yang lain memanggil dia Tere, hanya kamu yang memanggilnya “Cantik.” Apa salahnya? Memang namanya Cantika kan?  Ya, tidak ada yang salah, mungkin bapaknya saja yang salah, iseng menempel nama “Cantik” di situ. Umurku bukan tujuh belas tahun lagi, kesimpulannya aku tidak boleh mengambil pusing hal sesepele ini.
Mungkin sebagian mengamini namanya, seperti mother Theresia. Dengan segala keramahan dan senyumnya yang amat memikat, dua tingkat di atas SPG parfum. Semua terbius, saat dia bicara tidak ada satupun yang punya niat mengabaikan. Memandangnya, menyimak dengan penuh perhatian, berlomba-lomba untuk kelihatan pintar. Perfect! Cantik, cerdas, independent, tepat seperti perempuan impianmu, aku lemas. Bilang kepadaku jika yang sering kupikirkan ini salah besar. Kamu sering bercerita betapa cintamu kepada gunung tak bisa dibendung. Born to be mountain hiker! Ayahmu pendaki, ibumu juga, darah pendaki mengalir deras padamu. Tahukan jika aku selalu memandang dalam pada matamu saat kamu bilang betapa keren kisah cinta orang tuamu, dua anak manusia yang di pertemukan alam. Merbabu menyatukan cinta mereka, lalu embel-embel lain tenteng kisah romantis mereka di gunung-gunung yang sampai aku lupa namanya. Semoga ini cuma paranoid saja, apa sebenarnya kamu juga ingin mengalami yang seperti mereka? Saat ditanya orang, kalian ketemu di mana? Semeru. Kamu melamar dia di mana? Merapi. Aku membaca dari binar matamu, apa aku terlalu perasa dan over sensitive? Juga tentang ini, betapa kamu begitu mengagumi ibumu. Ibumu yang tangguh tapi tetap cantik, perempuan anggun yang enggan mendewakan make up, perempuan yang semasa mudanya dulu menganggap pergi ke Pangrango seperti shopping ke mall, ibumu yang cerdas. Sayang, itukah yang akan membentuk pola pikirmu bahwa perempuan yang kau impikan adalah yang seperti ibumu? Jika iya, tolong jangan katakan, itu bukan aku. Dan satu lagi, jangan melirik Tere!
Diam-diam aku selalu memperhatikannya. Tertarik? Aku bukan lesbian. Iri? Entahlah.
Outfit pilihannya selalu mandeg pada celana pendek selutut atau celana jins yang warnanya antara abu-abu dan hitam tak bisa dipastikan, kaus oblong, aksesoris jam tangan sport water resistand, gelang-gelang gembel, dan disempurnakan dengan sendal jepit. Sialnya dengan tampilan seperti itu saja dia kelihatan sangat cantik. BB cream, two way cake, aye shadow, pinsil alis, blush on, water proof mascara, air liner, lip stick, di sebelah mana? Tidak kutemukan di mukanya, bahkan aku tidak yakin dia tahu beda bright, beige, atau golden beige untuk bedak. Sayang, membayangkan kamu membandingkan antara aku dan dia, duh!
--- --- --- ---

Mungkin, aku yang terlalu ketakutan kehilanganmu. Atau ketidak pahamanku atas solidaritas dan kekeluargaan kalian yang hampir di atas segalanya. Cara berpikir kita saja yang berbeda, aku yang terlalu berlebihan, cemburu. Tiba-tiba rasanya mual, mual menahan agar bibirku tidak cemberut. Kalian, kamu dan Tere berdua menceritakan tentang Rinjani, kompak sekali. Aku mencoba menelan mentah-mentah tapi sulit, ada yang mengganjal kerelaanku. Berapa jumlah rombongan kalian kemarin, aku tak peduli. Sayang, kenapa harus Tere satu-satunya perempuan, dan kenapa harus kamu yang paling dekat dengannya? Hmm... kamu memuji dia, berkali-kali. Bagaimana dia membantumu melawan hypothermia yang datang tanpa diundang, dia yang malah lebih kuat bertahan saat tenda kalian di kepung hujan, dia yang dengan sempurna menyusun itinerary, keramahannya kepada para porter, bla..bla..bla. Lingkaran ini semakin riuh, teman-temanmu bergantian bertanya, kamu dan Tere menjawab satu per satu. Panas, udara seolah tak bergerak, aku semakin diam. Sayangnya di sini tidak ada yang bertanya tentang Jimmy Choo, MAC, Louis Vuitton, The Body Shop. Aku berani taruhan Tere tidak punya jawaban yang lancar tentang itu.
Heran, sebenarnya dulu waktu membikin perempuan-perempuan seperti Tere jamu apa yang diminum orang tuanya, apannya yang berbeda dengan yang diminum ayah ibuku. Kenapa dia kuat sekali duduk di sini sampai nanti subuh, paru-parunya terbuat dari apa sehingga tidak terus batuk seperti aku. Matanya, mentereng sampai hampir pagi, apa tidak mengantuk? Lebih dari segelas kopi untuk setiap malam, Tuhan apa lambungnya tidak akan digerogoti maag, jangankan dua sampai tiga cangkir, beberapa teguk saja perutku sudah bergejolak, lambungku seperti dipelintir.
Sayang, tahukah kamu, jika saja aku bisa aku ingin tangankulah yang kau gandeng saat menuruni tebing. Aku yang mencidukkan mie instan dari panci untukmu. Aku yang memelukmu saat hypotermia. Aku yang ada dalam rangkulanmu di foto-foto yang berlatar samudra awan. Ya bisa atau tidak memang bergantung kemauanku. Kau tidak pernah salah, “Aku mau muncak ke gunung ini, ke gunung itu. Kamu mau ikut?” dan aku selalu menolak. Aku mencintaimu,tapi bukan berarti aku harus memaksakan diri mengikuti semua kegiatanmu. Sebatas itu yang bisa kujadikan alasan, dan sejauh ini menurutku kamu memakluminya. Ya, kita jauh berbeda. Tapi bukankah ini gunanya kita bersatu, tak selamanya langit itu penuh bintang, meskipun itu indah. Kau akan mengerti bahwa kadang langit itu juga gulita, mendung, pekat. Menjadi berbeda dengan duniamu, biar aku bisa menyusup ke ruang dalam hidupmu yang lain, yang masih kosong sehingga semua relung itu akan terisi. Seragam itu terkadang membosankan. Mungkin Tere punya segala hal tenteng perempuan seperti yang kamu mau. Tapi Tuhan akan membuatmu mengerti dengan cara-Nya.

--- --- --- ---

Ponselku bergetar, satu pesan.
From               : belovedmom
dek, blm selesai y tugasnya, dear?
yaudah, nginep aja skalian di tempat Indie
bahaya kalau pulang jam segini
I love you, nice dream sweet heart. :*

To                    : belovedmom
Iya,mom
Makanya tadi adek ijin mau nginep di Indie dari awal.
Tugasnya banyak bgt sih.
I love you too. GBU :*

Hampir pukul satu. Obrolan tak ada tanda akan selesai.

Tanganku melambai, “Mbak, lemon tea satu lagi!”

--- done ---
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: