Panas,
Sayang...
Tempat favorit
yang kau sebut cafe, semakin malam semakin bejubel. Orang-orang datang lalu
membentuk lingkaran-lingkaran bersama teman-teman mereka. Mendayu-dayu tawa di telingaku. Tak ada
pilihan, hidungku kembang-kempis terjejali paksa sisa bakaran nikotin. Aku
bersembunyi di balik denting gelas yang sengaja kumainkan.
Tang..ting..tang..ting... gumpalan gula mana lagi yang sebenarnya mau diaduk?
Toh sedari sampai di meja tidak ada endapan gula di dasar gelas. Hiburanku
sederhana, hanya senyummu, mendengar kau tertawa lepas, dan juga suaramu saat
bilang, “Diasikin aja ya, Sayang. Bentar lagi kok.” kata-kata andalan yang
merdu. Berapa kali kamu bilang, aku saja tidak berniat menghitungnya. Cukup
dengan senyum termanis yang kumiliki untuk bilang, “Iya.”
Ini bukan yang
pertama, kau memintaku menemanimu ke mari, nongkrong
bersama teman-temanmu. Kalian, kamu dan teman-temanmu, selalu menempati meja
besar dengan kursi panjang gaya warung-warung jawa, tepat di pojok kanan
ruangan. Aku duduk di sebelahmu dengan posisi paling sopan diantara yang lain.
Sebenarnya untuk sekedar melipat dengkul, bersila, atau memelorotkan posisi
punggung sangat dibenarkan di tempat seperti ini, hanya aku yang kadung
terbiasa duduk dengan benar seperti ajaran mama sejak kanak-kanak. Abaikan,
apalah arti gaya duduk.
Di sini
bersamamu berarti siap berjabat tangan dan tersenyum ramah berkali-kali. Temanmu
seperti tak ada habisnya. Mengenalkanku dengan mereka satu per satu, kamu tak
perah lupa. Aku menyukai ini, berarti kamu menghargai hubungan kita. Secara
tidak langsung juga akan menurunkan kadar kecurigaanku kalau-kalau ada
selingkuhan di belakangku. Selesai sampai di sini? Tidak. Aku mencintaimu, dan
sesekali harus berkorban untukmu. “Gabung sama anak-anak, ya.” Aku mengikuti caramu mendefinisikan membaur
bersama teman-temanmu, demi kamu. Satu, dua, tujuh, sebelas, selusin. Kamu,
teman-temanmu, dan aku, meriah seperti pasar. Kalau mencomot istilahmu, guyub. Obrolan kalian menggema,
melayang-layang diantara cangkir, gelas, piring-piring kecil, dan asbak berisi
abu dan putung rokok yang meluber kemana-mana.
Menjadi sok
tahu, oh tenang itu bukan aku. Aku
tidak akan mempermalukanmu di depan temen-temanmu, Sayang. Iya obrolan kalian
bukan jangkauanku. Ketika kalian melompat-lompat di antara cerier, tracking, Mahameru, nesting,
mdpl, Sembalun dan kawan-kawannya. Hanya sesekali tertawa dan menyumbangkan
omongan seperlunya jika kebetulan aku tahu, cukup. Aku bisa apa? Bentengku
adalah menggigit sedotan, senyum, dan mengaduk gelas. Kau tidak pernah
menyuruhku diam, tapi aku cukup tahu diri.
---
--- --- --- ---
Seperti katamu,
Sayang, imajinasiku tinggi hasil cekokan novel Harry Potter. Sekarang ini yang
muncul di atas kepalaku adalah hamparan gurun yang panas, kering kerontang. Sepuluh
laki-laki ini adalah kafilah yang berjalan beriringan. Di ujung gurun itu ada
oase, ini sungguhan bukan fatamorgana. Oase yang segar dan hijau. Kemana arah
imajimu? Sebentar, jangan salah! Aku tidak akan dengan pe-denya mengatakan
dirikulah oase itu. Tentu saja, ada yang lebih menarik dari sekedar perempuan
yang sedang kau tawari gelas ketiga lemon tea ini. Kulanjutkan, di sini aku
adalah seorang turis yang mengendarai kendaraan 4WD, yang tidak sengaja menemukan gerombolan kafilah sedang
mengerubungi oase. Aku mengambil kamera dan mengamati semuanya lewat bidikan
lensa. Yang lebih indah untuk ukuran oase versi teman-temanmu adalah dia.
Perempuan di sampingku ini. Dulu kamu mengenalkannya sebagai sahabatmu.
Perempuan cantik yang akan membuat lusinan temanmu berhenti sebentar di kotakan
kita, menyapanya, dan berusaha mendapat perhatiannya.
“Cantik,” ah
suaramu tiap memanggil dia. Sayang, hatiku ngilu mendengarmu memanggilnya
seperti itu. Kedengarannya kamu sedang mengaguminya, memuja kecantikannya. Nama
lengkapnya Theresia Cantika. Yang lain memanggil dia Tere, hanya kamu yang
memanggilnya “Cantik.” Apa salahnya?
Memang namanya Cantika kan? Ya,
tidak ada yang salah, mungkin bapaknya saja yang salah, iseng menempel nama
“Cantik” di situ. Umurku bukan tujuh belas tahun lagi, kesimpulannya aku tidak
boleh mengambil pusing hal sesepele ini.
Mungkin
sebagian mengamini namanya, seperti mother
Theresia. Dengan segala keramahan dan senyumnya yang amat memikat, dua tingkat
di atas SPG parfum. Semua terbius,
saat dia bicara tidak ada satupun yang punya niat mengabaikan. Memandangnya,
menyimak dengan penuh perhatian, berlomba-lomba untuk kelihatan pintar.
Perfect! Cantik, cerdas, independent, tepat seperti perempuan impianmu, aku
lemas. Bilang kepadaku jika yang sering kupikirkan ini salah besar. Kamu sering
bercerita betapa cintamu kepada gunung tak bisa dibendung. Born to be mountain hiker! Ayahmu pendaki, ibumu juga, darah
pendaki mengalir deras padamu. Tahukan jika aku selalu memandang dalam pada
matamu saat kamu bilang betapa keren kisah cinta orang tuamu, dua anak manusia
yang di pertemukan alam. Merbabu menyatukan cinta mereka, lalu embel-embel lain
tenteng kisah romantis mereka di gunung-gunung yang sampai aku lupa namanya.
Semoga ini cuma paranoid saja, apa sebenarnya kamu juga ingin
mengalami yang seperti mereka? Saat
ditanya orang, kalian ketemu di mana? Semeru. Kamu melamar dia di mana? Merapi.
Aku membaca dari binar matamu, apa aku terlalu perasa dan over sensitive? Juga tentang ini, betapa kamu begitu mengagumi
ibumu. Ibumu yang tangguh tapi tetap cantik, perempuan anggun yang enggan
mendewakan make up, perempuan yang
semasa mudanya dulu menganggap pergi ke Pangrango seperti shopping ke mall, ibumu
yang cerdas. Sayang, itukah yang akan membentuk pola pikirmu bahwa perempuan
yang kau impikan adalah yang seperti ibumu? Jika iya, tolong jangan katakan,
itu bukan aku. Dan satu lagi, jangan melirik Tere!
Diam-diam aku
selalu memperhatikannya. Tertarik? Aku bukan lesbian. Iri? Entahlah.
Outfit pilihannya selalu mandeg pada celana pendek selutut atau
celana jins yang warnanya antara abu-abu dan hitam tak bisa dipastikan, kaus
oblong, aksesoris jam tangan sport water
resistand, gelang-gelang gembel, dan disempurnakan dengan sendal jepit.
Sialnya dengan tampilan seperti itu saja dia kelihatan sangat cantik. BB cream, two way cake, aye shadow,
pinsil alis, blush on, water proof
mascara, air liner, lip stick, di sebelah mana? Tidak kutemukan di mukanya,
bahkan aku tidak yakin dia tahu beda bright, beige, atau golden beige untuk
bedak. Sayang, membayangkan kamu membandingkan antara aku dan dia, duh!
---
--- --- ---
Mungkin, aku
yang terlalu ketakutan kehilanganmu. Atau ketidak pahamanku atas solidaritas
dan kekeluargaan kalian yang hampir di atas segalanya. Cara berpikir kita saja
yang berbeda, aku yang terlalu berlebihan, cemburu. Tiba-tiba rasanya mual,
mual menahan agar bibirku tidak cemberut. Kalian, kamu dan Tere berdua
menceritakan tentang Rinjani, kompak sekali. Aku mencoba menelan mentah-mentah
tapi sulit, ada yang mengganjal kerelaanku. Berapa jumlah rombongan kalian
kemarin, aku tak peduli. Sayang, kenapa harus Tere satu-satunya perempuan, dan
kenapa harus kamu yang paling dekat dengannya? Hmm... kamu memuji dia,
berkali-kali. Bagaimana dia membantumu melawan hypothermia yang datang tanpa diundang, dia yang malah lebih kuat
bertahan saat tenda kalian di kepung hujan, dia yang dengan sempurna menyusun itinerary, keramahannya kepada para porter, bla..bla..bla. Lingkaran ini
semakin riuh, teman-temanmu bergantian bertanya, kamu dan Tere menjawab satu
per satu. Panas, udara seolah tak bergerak, aku semakin diam. Sayangnya di sini
tidak ada yang bertanya tentang Jimmy Choo, MAC, Louis Vuitton, The Body Shop.
Aku berani taruhan Tere tidak punya jawaban yang lancar tentang itu.
Heran,
sebenarnya dulu waktu membikin perempuan-perempuan seperti Tere jamu apa yang
diminum orang tuanya, apannya yang berbeda dengan yang diminum ayah ibuku.
Kenapa dia kuat sekali duduk di sini sampai nanti subuh, paru-parunya terbuat
dari apa sehingga tidak terus batuk seperti aku. Matanya, mentereng sampai
hampir pagi, apa tidak mengantuk? Lebih dari segelas kopi untuk setiap malam,
Tuhan apa lambungnya tidak akan digerogoti maag,
jangankan dua sampai tiga cangkir, beberapa teguk saja perutku sudah
bergejolak, lambungku seperti dipelintir.
Sayang, tahukah
kamu, jika saja aku bisa aku ingin tangankulah yang kau gandeng saat menuruni
tebing. Aku yang mencidukkan mie instan dari panci untukmu. Aku yang memelukmu
saat hypotermia. Aku yang ada dalam
rangkulanmu di foto-foto yang berlatar samudra awan. Ya bisa atau tidak memang
bergantung kemauanku. Kau tidak pernah salah, “Aku mau muncak ke gunung ini, ke
gunung itu. Kamu mau ikut?” dan aku selalu menolak. Aku mencintaimu,tapi bukan
berarti aku harus memaksakan diri mengikuti semua kegiatanmu. Sebatas itu yang
bisa kujadikan alasan, dan sejauh ini menurutku kamu memakluminya. Ya, kita
jauh berbeda. Tapi bukankah ini gunanya kita bersatu, tak selamanya langit itu
penuh bintang, meskipun itu indah. Kau akan mengerti bahwa kadang langit itu
juga gulita, mendung, pekat. Menjadi berbeda dengan duniamu, biar aku bisa
menyusup ke ruang dalam hidupmu yang lain, yang masih kosong sehingga semua
relung itu akan terisi. Seragam itu terkadang membosankan. Mungkin Tere punya
segala hal tenteng perempuan seperti yang kamu mau. Tapi Tuhan akan membuatmu
mengerti dengan cara-Nya.
---
--- --- ---
Ponselku
bergetar, satu pesan.
From : belovedmom
dek, blm selesai y tugasnya,
dear?
yaudah, nginep aja skalian di
tempat Indie
bahaya kalau pulang jam segini
I love you, nice dream sweet
heart. :*
To : belovedmom
Iya,mom
Makanya tadi adek ijin mau nginep
di Indie dari awal.
Tugasnya banyak bgt sih.
I love you too. GBU :*
Hampir pukul
satu. Obrolan tak ada tanda akan selesai.
Tanganku
melambai, “Mbak, lemon tea satu lagi!”
--- done ---
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: