Rabu, 08 Mei 2013

CANDHI CETHO, Perjalan Dupamu, Sawahmu, Kamu



Melukis indah jurnal, laporan arus kas, dan rekonsiliasi selama sembilan puluh menit wuss...wusss...kelar. Lari pulang, sholat ashar dan ambil ranselnya. Angkot ijo membawa keluar dari sarang nun dipucuk Sekaran, Semarang. Dari Pasar Ungaran, tidak ada istilah menunggu lama untuk bis Semarang-Solo. Rp 15.000 untuk selembar tiket Taruna yang dengan kerennya mengharuskan berdiri satu jam. Penuh..Sabaar..
“Kalau ke UNS bisa, pak?”
“Bisa dek khusus Taruna kalau sore. Ini nanti langsung pulang ke garasi, lewat UNS.”
Syukur deh... mengurangi beban merepotkan teman. Sebelum jalan ke Tawangmangu-Sarangan nebeng tidur dulu di tempat salah satu teman SMA, Mbak Isna namanya.
Sampai UNS sekitar jam tujuh kurang, dijemput si teman yang baik hati ini di halte depan gerbang UNS. Lalu mandi dan sholat magrib. Astafirullah.. baru atakhiat akhir adzan Isya sudah menyusul. Ampun ya Alloh..
Selesai sholat muter-muter nyari warung makan. Lagi-lagi nasib nasi rames, mahasiswa banget dah heheg. “Udah pernah maem sate kere?” Pernah lihat, belum pernah makan. Okedeh di coba. Satu tusuk sate kere Rp 500,-. Itu loh yang bahan dasarnya tempe gembus (ampas tahu), dibumbu mirip sate plus dibakar. Rasanya sih, ya gitu deh..




Sabtu pagi, yuhuu semangat jalan! Mata yang luar biasa, pas nebeng di tempat orang dia melek cepet banget. Adzan Subuh mandi terus dilanjut sholat. Semangat banget dah, okelah cuma Tawangmangu-Sarangan, lebih baik memulai dari yang kecil kan daipada nggak sama sekali. Mimpi selangitnya sih bisa sekeren mbak Elok Diah Messwati atau Dina @DuaRansel, apalah daya kantong belum nyukup..nabung..nabung.. J

Jam setengah tujuh keluar dari kosnya Mbak Isna. Bis jurusan Tawangmangu yang krik..krikk..krikk agak reyot.. ta apelah. Pemandangan masih kota Solo, manfaatkan untuk tidur saja. Pas masuk Karang Anyar dengan sawahnya, melek dong. Comot roti dan ganjalkan untuk sarapan. O iya.. bis Solo-Karang Pandan Rp 7000,-. Kenapa Karang Pandan? Karena tujuan pertama adalah Candi Cetho.

Sekitar setengah delapan sampailah di terminal Karang Pandan. Suasananya khas banget, agak kabut dan dingin, ibu-ibu dengan keranjang dagangan menjulang, dan satu lagi ramah semua.
Menggunakan mikro bus sampai ke Terminal Kemuning hanya Rp 3000,-. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan ojek. Tawar menawar dengan bapak ojek, akhirnya sepakat Rp 35.000,- untuk Kemuning-Cetho-Sukuh. Nah, disini saya percaya kata-kata yang sering muncul di blog-blog traveling. ‘Solo traveling nggak selamanya sendiri dan membosankan. Temukan teman baru’ . Travelmate untuk hari ini namanya Yamazaki. Saat turun dari microbus dia sih niatnya nanya ke tukang ojek. Bapaknya nggak ngerti. Pas saya tanya mau kemana, ternyata tujuan dia sama kek saya. Yawis barengan wae.




Jalanan menanjak sekitar tujuh kilo meter, pemandangannya Tuhaaaan keren gila. Sawah terasering, kebun teh, tanaman sayur, plus latar belakang gunungnya..heduh..bodohnya nggak sempat foto.Oke...lanjut tentang candi Cetho. Untuk sejarah dan lain-lain silahkan search gugel saja lebih praktis. Sejujurnya saya tidak terlalu mudeng dengan santapan sejarah yang seperti ini. Informasi tentang candi sempat sekilas lalu dibaca, sama saja hasil searching gugel juga.heheg... :p (Generasi muda yang mengenaskan). Untuk masuk ke kawasan candi hanya dipatok RP 10.000,- untuk wisatawan asing dan Rp 3.000,- untuk lokal. Candi Cetho sendiri merupakan bangunan candi Hindu yang sampai saat ini masih digunakan untuk tempat ibadah. Bangunan utama candi di bagian paling atas dikhususkan untuk peribadatan, selain itu ada beberapa balai yang sering dikunakan untuk ibadah bersama. 














Satu hal yang saya heran adalah dengan patung-patung di kawasan candi. Awalnya saya nggak ngeh, tapi Ymazaki bertanya “Where is the had?” Iya, kemana kepalanya, delapan puluh persen patung di sini tak punya kepala.Relief di Candi Cetho lebih sederhana, detail ceritanya kebanyakan tentang kehidupan binatang atau manusia setengah binatang. Seperti candi-candi pada umumnya di sini juga bertebaran sesajen seperti kembang setaman, uang, atau buah-buahan. 


Wangi dupa semerbak tertiup angin lembut nan dingin khas pegunungan. Pemandangan kerennya membuat saya semakin ingat bahwa Tuhan itu ada dengan segala keajaiban-Nya. Beautiful deh kek saya.. heheheg :p




0 komentar:

Posting Komentar

Yours: