Sabtu, 24 Mei 2014

Meski Rokok dan Soto tak Selalu Kudus




Percaya tidak, dulu jaman SD pernah menulis tiga kota impian yang pengen saya tinggali. Adalah Jogja, Bandung, dan Kudus. Kenapa Kudus? Karena otak tipi saya kena pengaruh iklan Jarum Fondation Menghijaukan Kudus. Yang iklannya ada mobil tangki air lagi nyemprot tanaman di jalan protokol di Kudus itu loh. Ga tau keknya Kudus adem banget, tenang, orang-orangnya ramah. Sebegitunya pengaruh Jarum, eh pengaruh iklan Jarum maksutnya.  Ketika pagi saya terbangun oleh suara adzan Subuh, this is Kudus for real. Semalam saya menginap di rumah Slamet Prasojo, usai mengurungkan niat ngemper di Pom Bensin efek ngejar sunset di Jepara. Di sekeliling saya tergeletak tanpa daya mahkluk-mahkluk banyak dosa, Enggar, Soni, Slamet, dan Mafrido.Euuh, bobo bareng haha…  Hari ini di Kudus, beter if we bring Kudus for more real. Yeaah! 

Rumahnya si Slamet itu… Kudus banget :D nyaman, halamannya kecil, berumput, jarak antar tetangga nggak terlalu jauh, tenang, banyak pohon-pohon, apalagi orang-orang yang ramah. Ya, manusia mempengaruhi lingkungan kali ya, atau dua-duanya saling mempengaruhi. Orangnya enak, rumahnya enak, sarapannya juga enak hahaha…. Ga munafik sih, sarapan gretongan buat anak kos yang demennya nge-brunch itu…. Sederhana dan berarti, kek kamu :p Sekitar jam tujuh kami pamitan ke keluarganya Slamet. Maunya sih langsung pulang Semarang tapi ada yang ganjel aja. Kemarin malam sempat mampir ke Masjid Kudus sih, tapi ini kan weekend man, udah di sini juga, kewajiban untuk melanjutkan permainan! 


Masjid Kudus :)



Bukit Muria
Pernah dengar Sunan Muria? Nah di sini tempatnya  Sunan Muria dimakamkan. kalau Sunan Kudus dimakamkan di kompleks Masjid Kudus. Banyak peziarah yang datang ke mari, sewajarnya tempat ziarah wali sanga, berdoa, ngalap berkah, dkk. Dandanan kami terlalu mencolok saat berbaur dengan ibu-ibu pengajian dan rombongan. Diliatin terus berasa artis euy… Selebihnya kami memutuskan tidak naik ke atas (Makam ada di puncak bukit Muria). Pada lagi nggak ngeh manjat-manjat, meskipun di atas ada iming-iming air terjun dan sumber air tiga rasa. Yasudah, mungkin kapan-kapan bisa balik lagi ke sini. Kami memilih jalan-jalan asal ke pasar oleh-oleh. Nemu makanan-makanan aneh.

Apa esnsinya poto ini? Ga tauk :p


Buah-buahan asli Kudus


Parijoto, yang bikin subur kandungan. Rasanya asem-asem manis :D

Cangklong. Sejenis umbi-umbian. Kalau di Jawa Timur disebutnya ganyong.
Ada rasa ubi dicampur kacang tanah rebus, teksturnya agak keras.


Pecel pakis



Museum Kretek
Kudus dan Rokok. Saling memberi citra satu sama lain, tidak terpisahkan. Mirip kota asal saya, Kediri dan Gudang Garam. Terlepas kata orang  merokok  itu membuatmu mati muda, susah punya anak, cepat terlihat tua, bibir menghitam, bla.. bla.. Indonesia masih butuh duit cukainya. Ga ada habisnya lah kalau ngomongin rokok, apalagi saya sudah terbiasa melihat beribu-ribu orang menggantungkan hidup pada pablik rokok.


Museum Kretek tampak depan
Painting a smile, as simple as morning :D

Mampir ke museum kretek berarti berusaha melek terhadap bagaimana rokok tumbuh hingga mendarah daging di masyarakat. Awal keberadaan rokok di Kudus adalah akibat ketidak sengajaan seseorang bernama H. Jamhari. Beliau menderita penyakit sesak di dada. Biasanya sakit seperti ini disembuhkan dengan mengoleskan minyak cengkeh. Merasa kurang puas, kekreatifannya memunculkan ide melinting cengkeh kering dengan klobot (daun jagung kering). Ujung lintingan klobot ini disulut api kemudian dihisapnya. Bunyi klobot tersulut api, “Kretek..kretek” dari sini timbul sebutan Rokok Kretek. Inovasi ini kemudian diterima dan berkembang sangat pesat di masyarakat. Lika-liku perkembangan industry rokok di Kudus juga tidak terlepas dari sosok Mas Niti Semito, pengusaha rokok ternama di jamannya.  Perjalanan rokok hingga sampai pada industry sebesar Jarum juga beberapa industry rokok kecil-kecil saat ini semua diceritakan dengan baik. Melalui diorama, kertas-kertas tua, peralatan, foto-foto dan peninggalan-peninggalan keren lain, rokok sedalam itu menjerat kita. Datang dan coba simpulkan, bagaimana bisa terlepas?


Cengkeh

Tembakau

Dulunya saus untuk rokok disimpan di sini

Klobot
Alat linting tradisional
Rokok-rokok tua


Orang-orang dibalik Kudus dan dunia rokok


Soto Kudus
Mengitari Kudus, dari ujung Bukit Muria hingga muter-muter kota. Makan Pecel Pakis, minum es campur DPRD.an, nyemil gorengan, kemana akhirnya berlabuh? Emol- Extention Kudus, lhah…. Sambil menunggu Slamet, Soni, dan Mafrido sholat Jumat saya memilih nggendon cantik di Gramedia sementara Enggar muter-muter window shopping gitu. Anteng saya mah sampai mereka balik terus ngajakin makan, hehe :D

Pada akhirnya ke Kudus tanpa makan soto Kudus itu kayak kamu pacaran di sosmed tanpa pernah ketemuan, semu man! Halah… Slamet mengantar kami ke Taman Bojana, tempat jajaran penjual Soto Kudus terhampar. Sebenarnya saya nggak terlalu suka soto, tapi apa salahnya mencoba. Nggak salah! Jaminan jatuh cinta, serius! Soto kudus adalah soto pertama yang  kalau selesai makan misal ada yang nawarin “Mau nambah?” pasti jawabannya MAU BANGET.  Begini komposisinya, nasi, kecambah, kubis, potongan daging kerbau lalu diguyur kuah bening. Mak! Aku menyempurnakannya dengan perasan jeruk dan sambel kecap, seperti menyempurnakan cinta dengan asam dan manis perjalanan. Astofirullah…. Eh salah, Subhanallah… Selain rasanya yang sangat recommended, potongan daging kerbau juga memberi ciri khas tersendiri. Tekstur daging kerbau lebih kasar dibandingkan sapi, juga cenderung sedikit lebih gurih. Kudus dan kerbau, tahu kan sejarahnya? Dahulu masyarakat menghindari makan daging sapi untuk menghormati penduduk beragama hindu yang menyembah  Dewa Brahmana. Toleransinya sekeren itu ya J


Taman Bojana

Kedai Pak Sulichan, recomended by Slamet :)

Soto kudus yang bikin jatuh cinta :*
Kudus. dibunyiin aja udah kek ayem gitu... elu aja yang sebegitunya Ghe! hehe..  Kalau Shakespeare bilang apalah artinya sebuah nama, menurut saya berarti banget sih. Iya memang mungkin Kudus yang berarti suci tidak membuat kota ini suci dari kriminalitas, cabe-cabean, dan segala bentuk kejahilan. Tempat ini bernuansa Islam, bukan pekara ada Sunan Muria dan Sunan Kudus, cuma hawanya beda aja gitu. Kota kecil yang mulai berkembang, tidak ketinggalan tumbuh dengan kebutuhan gaul seperti mall, bioskop, dan tempat nongkrong, tapi di sisi lain masih saja kamu temukan mas-mas bersarung dan berpeci berkeliaran. Bukan tentang berdiri tegak dan bilang GUA SUCI tapi tentang usaha mempertahankan diri menjaga ketaatan diri kepada Tuhan. Mungkin inilah doa para tetua dahulu, Kudus-suci, ya nama adalah doa. Pekara kudus beneran suci atau jadi-jadian kan urusan Tuhan. Masih banyak tempat yang harus di pijak, mungkin kota-kota lain juga punya nuansa seperti ini. Ah, jalan memang selalu menyenangkan. Terima kasih Kudus, terima kasih pelajaran bahwa tidak ada salahnya mencoba soto lalu jatuh cinta :* Muuuah :* :*

4 komentar:

  1. Wah seru juga jalan - jalan di Kota Kudusnya

    Salam
    Catur

    BalasHapus
  2. kalo buat yang bukan perokok nyaman gak sih kotanya?
    agak kurang bersahabat dengan asap rokok... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selama masih Indonesia keknya perokok tetap ada di mana-mana ya mas :) . Tapi karena mungkin kota kecil jadi jauh lebih nyaman kok ketimbang Jakarta atau Surabaya

      Hapus

Yours: