Jumat, 09 Januari 2015

Wajah Lain Jakarta bersama Pacar Peracik Kenangan





 Kita adalah sejoli, bukan? Banyak remah-remah dunia yang kusuka dan kau, selalu di sini, ada dalam genggaman menemaniku menapaki cerita.  Kau suka melihat wajahku, aku selalu dengan over dosis percaya diri berkoar bahwa senyumku memang mengadiksi. Padahal mamang hobimu merekam wajah orang-orang di serakan tempat mana saja. Bisikmu, “Aku paling tahu kamu. Pelupa! Iya, kamu Ghe si pelupa. Biar kubantu mengingat keramahan orang-orang itu ya. Kan kita partner, kamu pelupa, maka aku ada untuk membantumu mengingat biarpun hanya beberapa.” Ah ya ya, kita memang harus saling melengkapi. Trimakasih ya, Pacar Peracik Kenangan. J
Hari ini kita akan bercerita pada mereka, teman-temanku. Perjalanan kecil saja, melipir berjumpa wajah lain Jakarta. Baru saja kita keluar dari KRL yang berjubel-jubel, dan seperti biasa aku merutuki badanku yang mulai melar di sana-sani hingga keluar kerumunan harus sedikit ngos-ngosan. Gendut tidak enak  ya L


Wah lihat itu ada segerombol keluarga sedang menyeberang jalan. Bahagianya mereka, berlibur bersama-sama. “Kamu pingin ya?” godamu. Sialan, aku ternyata lebih sering sendirian. Tiba-tiba kau menyeletuk, “Maksutmu? Aku nggak dianggep!” Ya Tuhan bodohnya aku, maaf maaf. Iya kamu segalanya kok, Teman Perjalanan Ter-segalanya.

Ini dia Kota Tua Jakarta. Sudah kubilang sedari kemarin, tempat ini punya banyak museum yang akan menguras waktu kita seharian. Ayo cepat, aku sudah tidak sabar!

Hei Pacar, kok Museum Bank Mandiri-nya tutup. Ini sudah jam sepuluh, atau memang belum buka?”
“Coba tanya bapak tukang parkir itu.”
Aku bercakap sebentar. Tidak bisa kusembunyikan kecewa di mukaku. Pelupa iya aku pelupa. Termasuk lupa pula bahwa hari ini tanggal merah, tidak ada museum yang buka.

Kau berusaha menghiburku dengan seplastik otak-otak dan segelas selendang mayang. Haash! Kamu pikir apa senyumku, masak cuma ditukar dengan makanan murah pinggir jalan! “Tadi, katanya mau melihat wajah lain Jakarta,” gumammu. Aku diam, kau melanjutkan, “Kenapa tidak rekam saja wajah-wajah dalam arti sebenarnya?”
“Maksutmu?” tanyaku.
“Ayo memotret orang-orang saja. Kan kota tua nggak melulu bangunan kuno sama museum. Jangan glesotan sambil cemberut gitu ah, kayak orang susah!”





Kamu memang mengerti aku. Hehe.. kita menyetop metro mini, siap disergap bau anyir pasar ikan, berjingkat-jingkat menghindari becek, lalu naik sampan ke pelabuhan Sunda Kelapa.





Mendayung perahu. Selain mencari ikan pada petang hingga subuh, di siang hari bapak ini juga mendayung perahu, mengantar orang-orang yang hendak menuju tepi dermaga. Menyebrang dari perkampungan dekat pasar ikan.




Orang-orang bekerja menaikkan atau menurunkan muatan. Kapal-kapal yang bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa adalah bagian dari penghidupan mereka.


Kita sempat mampir juga ke Museum Bahari, meskipun tutup L




Lalu kembali lagi ke kota tua. Duduk nggelesot dibawah pohon sambil mengulum es kado. “Hari ini bisa juga disebut memuaskan hobimu, kan?” katamu.
“Hobi apa orang museumnya tutup?”
“Duduk diam mengamati orang. Katamu nama kerennya art of doing nothing.”
Hahaha.. I’m doing something actually. Menebak-nebak dan berimajinasi tentang cerita yang melekat pada orang-orang itu J


Kenapa  bocah ini tampan sekali? Kalau mau punya anak semenggemaskan ini harus mencari bapak yang seperti apa? Hehe


Pacar, tahu tidak? Dulu aku pernah jatuh cita sama anak punk model begini, sebelum didamprat ibuku sih hehe :D


Mbaknya lelah, lelah menunggu pangeran yang mau membonceng dia dengan sepeda kumbang.


Dunia milik mereka berdua ya. Yang lain ngekos.
“Kadang-kadang jomblo suka sensitif sih!” kamu melirikku.
“Enak aja! Siapa yang jomblo? Hih!!!” sahutku ketus


Bertemu manusia patung yang sedang bersiap-siap di salah satu sudut sepi. Kostum yang dikenakan warnanya emas, lengkap dengan gliter di sekujur tubuh dan muka. Kalau orang bilang diam itu emas, bagi bapak ini diam itu receh rupiah.
 *****
Kita sempat berkeliling, gang-gang sempit diantara dinding tinggi. Dalam diamku dan diammu yang abadi aku memilih membiarkan imajinasi hinggap di sana-sini. Tempat ini dan kejayaan Batavia. Hindia menjadi tanah tersohor, orang-orang kulit putih totok hingga perenakan berserak menggaungkan kejayaan. Sementara pribumi masih telanjang mandi di tepi-tepi Ciliwung.
 “Hei, jangan melamun!” teriakmu. Aku gelagapan. “Sini kusimpan lagi senyummu, mumpung memoriku masih punya tempat. Kamu sih suka malas memindah foto-foto lama ke PC.”
Kliik

Senyumku

“Sampai kapan kamu ijinkan aku menemanimu, berkenalan dengan banyak hal dan menyimpan kenangan?” tanyamu tiba-tiba.
“Aku tidak tahu.”
Hening.
“Terimakasih sudah membawaku dalam hidupmu yang istimewa.”
“Kamu yang membuat istimewa. Karena kamu yang merekam semuanya hingga setiap momen tidak kececeran di ingitanku. Apa gunanya momen indah tapi ujung-unungnya aku lupa.”
Kamu tersenyum.
“Trimakasih ya. Kamu bukan kamera istimewa memang. Tapi momen dan kebersamaan yang kupotret dalam lensamu membuatnya istimewa,” lanjutku.
“Kamu selalu berlebihan!”
“Tidak ada yang berlebihan untuk sebuah kamera yang kucintai seperti seorang pacar. Kamu pacarku dalam definisi lain. I Love You.”







2 komentar:

Yours: