Kita
adalah sejoli, bukan? Banyak remah-remah dunia yang kusuka dan kau, selalu di
sini, ada dalam genggaman menemaniku menapaki cerita. Kau suka melihat wajahku, aku selalu dengan over dosis percaya diri berkoar bahwa
senyumku memang mengadiksi. Padahal mamang hobimu merekam wajah orang-orang di
serakan tempat mana saja. Bisikmu, “Aku paling tahu kamu. Pelupa! Iya, kamu Ghe
si pelupa. Biar kubantu mengingat keramahan orang-orang itu ya. Kan kita partner,
kamu pelupa, maka aku ada untuk membantumu mengingat biarpun hanya beberapa.”
Ah ya ya, kita memang harus saling melengkapi. Trimakasih ya, Pacar Peracik
Kenangan. J
Hari
ini kita akan bercerita pada mereka, teman-temanku. Perjalanan kecil saja,
melipir berjumpa wajah lain Jakarta. Baru saja kita keluar dari KRL yang
berjubel-jubel, dan seperti biasa aku merutuki badanku yang mulai melar di
sana-sani hingga keluar kerumunan harus sedikit ngos-ngosan. Gendut tidak
enak ya L
Wah
lihat itu ada segerombol keluarga sedang menyeberang jalan. Bahagianya mereka, berlibur
bersama-sama. “Kamu pingin ya?” godamu. Sialan, aku ternyata lebih sering
sendirian. Tiba-tiba kau menyeletuk, “Maksutmu? Aku nggak dianggep!” Ya Tuhan
bodohnya aku, maaf maaf. Iya kamu segalanya kok, Teman Perjalanan Ter-segalanya.
Ini
dia Kota Tua Jakarta. Sudah kubilang sedari kemarin, tempat ini punya banyak
museum yang akan menguras waktu kita seharian. Ayo cepat, aku sudah tidak
sabar!
Hei
Pacar, kok Museum Bank Mandiri-nya tutup. Ini sudah jam sepuluh, atau memang
belum buka?”
“Coba
tanya bapak tukang parkir itu.”
Aku
bercakap sebentar. Tidak bisa kusembunyikan kecewa di mukaku. Pelupa iya aku
pelupa. Termasuk lupa pula bahwa hari ini tanggal merah, tidak ada museum yang
buka.
Kau
berusaha menghiburku dengan seplastik otak-otak dan segelas selendang mayang. Haash!
Kamu pikir apa senyumku, masak cuma ditukar dengan makanan murah pinggir jalan!
“Tadi, katanya mau melihat wajah lain Jakarta,” gumammu. Aku diam, kau
melanjutkan, “Kenapa tidak rekam saja wajah-wajah dalam arti sebenarnya?”
“Maksutmu?”
tanyaku.
“Ayo
memotret orang-orang saja. Kan kota tua nggak
melulu bangunan kuno sama museum. Jangan
glesotan sambil cemberut gitu ah, kayak orang susah!”
Kamu
memang mengerti aku. Hehe.. kita menyetop
metro mini, siap disergap bau anyir pasar ikan, berjingkat-jingkat
menghindari becek, lalu naik sampan ke pelabuhan Sunda Kelapa.
Mendayung
perahu. Selain mencari ikan pada petang hingga subuh, di siang hari bapak ini
juga mendayung perahu, mengantar orang-orang yang hendak menuju tepi dermaga.
Menyebrang dari perkampungan dekat pasar ikan.
Orang-orang
bekerja menaikkan atau menurunkan muatan. Kapal-kapal yang bersandar di
Pelabuhan Sunda Kelapa adalah bagian dari penghidupan mereka.
Kita
sempat mampir juga ke Museum Bahari, meskipun tutup L
Lalu
kembali lagi ke kota tua. Duduk nggelesot
dibawah pohon sambil mengulum es kado. “Hari ini bisa juga disebut
memuaskan hobimu, kan?” katamu.
“Hobi
apa orang museumnya tutup?”
“Duduk
diam mengamati orang. Katamu nama kerennya art
of doing nothing.”
Hahaha..
I’m doing something actually.
Menebak-nebak dan berimajinasi tentang cerita yang melekat pada orang-orang itu
J
Kenapa bocah ini tampan sekali? Kalau mau punya anak
semenggemaskan ini harus mencari bapak yang seperti apa? Hehe
Pacar,
tahu tidak? Dulu aku pernah jatuh cita sama anak punk model begini, sebelum
didamprat ibuku sih hehe :D
Mbaknya
lelah, lelah menunggu pangeran yang mau membonceng dia dengan sepeda kumbang.
Dunia
milik mereka berdua ya. Yang lain ngekos.
“Kadang-kadang
jomblo suka sensitif sih!” kamu melirikku.
“Enak
aja! Siapa yang jomblo? Hih!!!” sahutku ketus
Bertemu
manusia patung yang sedang bersiap-siap di salah satu sudut sepi. Kostum yang
dikenakan warnanya emas, lengkap dengan gliter di sekujur tubuh dan muka. Kalau
orang bilang diam itu emas, bagi
bapak ini diam itu receh rupiah.
*****
Kita
sempat berkeliling, gang-gang sempit diantara dinding tinggi. Dalam
diamku dan diammu yang abadi aku memilih membiarkan imajinasi hinggap di
sana-sini. Tempat ini dan kejayaan Batavia. Hindia menjadi tanah tersohor,
orang-orang kulit putih totok hingga perenakan berserak menggaungkan kejayaan. Sementara
pribumi masih telanjang mandi di tepi-tepi Ciliwung.
“Hei,
jangan melamun!” teriakmu. Aku gelagapan. “Sini kusimpan lagi senyummu, mumpung
memoriku masih punya tempat. Kamu sih suka malas memindah foto-foto lama ke
PC.”
Kliik
Senyumku
“Sampai
kapan kamu ijinkan aku menemanimu, berkenalan dengan banyak hal dan menyimpan
kenangan?” tanyamu tiba-tiba.
“Aku
tidak tahu.”
Hening.
“Terimakasih
sudah membawaku dalam hidupmu yang istimewa.”
“Kamu
yang membuat istimewa. Karena kamu yang merekam semuanya hingga setiap momen
tidak kececeran di ingitanku. Apa gunanya momen indah tapi ujung-unungnya aku
lupa.”
Kamu
tersenyum.
“Trimakasih
ya. Kamu bukan kamera istimewa memang. Tapi momen dan kebersamaan yang kupotret
dalam lensamu membuatnya istimewa,” lanjutku.
“Kamu
selalu berlebihan!”
“Tidak
ada yang berlebihan untuk sebuah kamera yang kucintai seperti seorang pacar.
Kamu pacarku dalam definisi lain. I Love You.”
Keren kak, hitam putih gitu gambarnya :)
BalasHapusmakasih udah mampir, kak :)
BalasHapus