Kamis, 16 Oktober 2014

Pendakian Lawu 3265 mdpl, Meramu Rindu, Haru Biru Saudara Baru



Rahim ibu memang tidak pernah mengandung anak laki-laki, apalagi melahirkannya. Tuhan yang Maha baik mencukupkan banyak hal yang saya butuhkan. Ketika akhir-akhir ini hati saya lebih menyublim dengan alam, dengan gunung, Tuhan menyempurnakannya dengan dua lelaki  baru dalam hidup saya. Adalah Ali dan Mas Andri, saudara laki-laki baru yang menyusup diantara beratnya cerrier, tenda, matras,  dan remah-remah pendakian. Lawu 3265 mdpl,  satu diantara secuil pengalaman mendaki saya bersama keduanya.
Siang itu saya dan Mas Andri membelah jalanan Semarang-Surakarta. Tuhan panasnya.. lagi, derita ngantuk dan nggaak bisa pegangan pinggang pacar orang haha…  Rumah Ali di belakang UNS menjadi tempat beristirahat sebelum bersama-sama menuju Magetan sore harinya. Kami sempat makan siang dan sholat sebelum akhirnya berpamitan. Titik kumpul selanjutnya adalah Leter U Fotocopy di depan UNS. Saya tidak tahu menahu berapa orang yang akan mendaki malam nanti. Beberapa orang datang, kami berkenalan dan mulai ngobrol akrab. Ternyata saya satu-satunya perempuan. Sedih? Iya, sudah pasti saya akan di bully sepanjang jalan. Senang? Iya, akhirnya saya mendapat label itu, The Most Beautiful One, haha. Efek selalu kalah cantik dalam pergaulan sosialita kampus, heuheu…
Sekitar setengah lima sore kami bersepuluh beragkat menuju Magetan. Jalur pendakian Lawu ada empat, Jalur candi Cetho dan jalur Cemoro Kandang, berada di Kabupaten Karang Anyar. Jalur Jogorogo, pintu masuknya berada di daerah Ngawi-Jawa Timur. Sedangkan jalur yang kami pilih adalah jalur Cemoro Sewu yang berada di Magetan, Jawa Timur. Dari arah kota Solo motor melaju ke arah timur melalui Karang Anyar, kemudian Tawang Mangu, terus ke timur melewati perbatasan provinsi. Bibir saya reflek tersenyum, teringat perjalanan solo travelling pertama saya dua tahun yang lalu ke tempat-tempat wisata daerah ini, Tawang Mangu, Cetho, Sukuh, Jumog hingga Sarangan. Dih, dulu pernah hampir mewek di pojokan pasar Tawang Mangu. Dulu cengeng banget, sekarang juga masih ding hehe.
Untuk menuju Magetan ada dua jalur yang bisa di pakai, jalan lama dengan tanjakan tajam namun pendek atau jalur baru yang lebih panjang namun tidak terlalu ekstrem tanjakannya. Oh, kelokan jalan mulus ini, gelap dan sepinya, lalu langit yang disesaki bintang, “Mas, brasa jalan bapak moyangmu dewe ya ini. Mana langitnya ayu banget lagi,” Mas Andri hanya tertawa menimpalinya. Jiwa alay saya langsung termudakan, haha.. “Mesti meh gae puisi, euh dasar!” hehe…

Sisa-sisa purnama :)

Begitu sampai di basecamp Cemoro Sewu saya langsung sholat, err… Tuhan ampuni telatnya, jilbabmu iku lo.. isin Ghe isiiin :D . Lalu kami bersepuluh memutuskan menunggu hingga pukul delapan untuk memulai pendakian. Ali masih membawa sebungkus nasi goreng dari rumah, saya makan bersama mas Grandong. Oiya orang ini, Mas Grandong, (duh pasti snobnya tambah merajalela kalau saya tulis macam begini). Kalau sempat membuka @pink_hiker, mas Grandong adalah salah satu membernya, member militan. Iyadeh keren (terpaksa) hehe. Kalau suatu hari menemukan sosok tinggi, besar, item, tapi dengan gantengnya memakai peralatan mendaki berwarna pink total, ya itu mas Grandong. Totalitas pink-nya sudah tidak bisa diragukan, matras, cover bag, senter, hingga tempat minum semuanya pink. Warning: Sembunyikan semua barang berwarna pink, cari aman.. cari selamat sebelum dia ngerayu, “Sarung tanganmu bagus deh, sendokmu bagus… ya pada intinya itu. Atau kadoin aja sekalian, dia lagi butuh topi pantai lebar warna pink (mas aku wes iklan lo iki, royalty!)

The fenomenal one, GRANDONG PUNYA CERITA

Ada satu hal yang sepertinya cukup menarik kalau saya ceritakan (menurut saya sih). Efek mendaki gunung yang paling kelihatan pada diri saya. kata teman-teman, saya banyak berubah, jauh lebih PEREMPUAN. Yep, usai pendakian pertama ke Sumbing dulu, sekarang kalau ngampus jadi doyan pakai rok, kenal eye liner cair, gincuan, beli conditioner rambut, rajin mandi dan pakai parfum, dsb. Lha hubungannya apa? Ada penemuan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sering iseng melintas. Ternyata laki-laki memang lebih kuat, Mas Andri menampung separuh barang-barang saya di cerrier-nya yang segede kulkas, atau Ali yang mengulurkan tangan di beberapa tanjakan. Teman saya yang perempuan instingnya lebih kuat saat memilih belokan ketika kami tersesat di Sumbing. Kodrat-kodrat yang dulu sering saya pertanyakan sisi masuk akalnya. Tetiba saya dibikin mengerti bahwa sudah keharusan perempuan melakukan A dan laki-laki melakukan B. laki-laki memiliki sifat X, dan perempuan Y, banyak sekali hal. Tuh, mendaki gunung sekeren itu lho mas, lha kamu nggak pengen? #eh
Mari kembali ke jalan yang benar, ini catatan pendakian, Ghe! Oke, baiklah… derita merajalela itu dimulai usai registrasi Rp 10.000,- dan doa bersama. Apa? Ya, saya siap di bully.  Aku strong, aku rak popo!  “Cie.. sing paling ayu. Ciye mesti nek kampus paling rak ayu, makane mlayu neng gunung.” … “Satu, dua, tiga…. Semuanya sepuluh laki-laki. Geriel emang wadon?” “Wolha manja bali diglundungne dalan tawang mangu wae!” “Rak sah diwenehi tenda, umbar ben SB-an neng njobo wae! Ben njarke, ben nangis!” Tabahku Tuhan, adalah dengan senyum termanis yang akan membuat beku di puncak Lawu meleleh. Tabahku adalah tawa sumbang untuk bertubi bahagia yang membuatmu terbang, tsaaaaaaaaah generasi kakean digombali tapi ujung-ujunge diselingkuhi yo ngeneniki men :p

Nemu Daisy cantik, terus pingin ke Prau gitu #kode

Jalur pendakian gunung Lawu via Cemoro Sewu bisa dibilang cukup bersahabat. Ih gaya, ga inget yang ngos-ngosan merem-melek padahal cuma modal daypack hehe. Di sini tidak ada drama merangkak dan prosotan, susunan batu yang lumayan rapi hingga besi pegangan di kanan-kiri track sangat membantu. Tapi katanya track batu terjal itu lebih ngena cekot-cekotnya, hehe.. kaki saya mah track apa aja juga tetep celot-cekot. Jalur ini banyak dipilih pendaki karena katanya (lagi-lagi katanya) lebih pendek dibanding Cemoro Kandang, lebih mudah dibanding Jogorogo dan Cetho. FYI, cerita Lawu dan napak tilas perjalanan Prabu Brawijaya V juga sangat kental dengan hal-hal mistis. Jangan heran di beberapa tempat akan nemu sesajen atau dupa. Bahkan saat malam satu Suro tempat ini akan ramai dikunjungi orang sebagai salah satu tradisi kental Jawa untuk bertapa atau sekedar berziarah ngalap berkah. Sri Sultan dan beberapa pejabat pun ikut dalam rombongan tersebut. “Satu Suro ini jalur pendakian juga sampai macet, Ghe. Makanan banyak. Lagi terang, ada lampu,” kata salah satu teman. Banyak uniknya Lawu mah, tapi mistis juga. Kyaaa baru ini saya mendengar suara-suara gaib, dua kali lagi. Yang pertama hanya saya dan mas Andri, mendengar suara laki-laki seperti mengumam, lalu ketika saya, mas Andri dan Mas Grandong istirahat, ada suara “Hussst..hussst!” halusinasi atau apa saya tidak tahu, tapi memang dari beberapa cerita teman, mendaki Lawu memang sering disisipi pengalaman-pengalaman seperti itu.

Anapalis Javanica (some people call it EDELWEISS)



Meskipun bebatuan cukup terjal, bonus track datar lumayan banyak. Satu yang saya rasa berat di Lawu. Suhu. Dinginnya men… belum sampai pos tiga saya sudah menyerah. “Mas Andri, jaket dong ..” kata saya. Baju lengan panjang saya tidak bisa bertahan lama. Hampir pukul dua belas ketika kami memutuskan berhenti di pos tiga dan mendirikan tenda. “Udah kamu SB-an, masuk tenda aja, biar aku yang masak.” Kalau saya manja, salahkan mereka. Mas Andri, Ali, dan mas-mas yang lain punya andil untuk kemanjaan itu. Haha..
Butuh sekitar empat jam dari pos tiga ke puncak. Seharusnya kami bangun sekitar pukul dua untuk mengejar sunrise. “Kalian tidurnya pules banget, nggak tega mbangunin jam dua,” Mas Andri tidak tidur semalaman (melasi nemen), dia ngobrol dengan Pak Joko, seorang polisi  dari Ngawi. Etah itu gegara ngalah nggak mau setenda sama perempuan. Oh, anakku yang masih di angan-angan, contoh ini om-mu nak, contoh! Hehe…


Bagian yang sempat terbakar beberapa bulan lalu

Sendang Panguripan, salah satu dari beberapa... Letaknya sebelum Pos 5


Ini dia kyai Jalak Lawu. Konon burung-burung jalak di gunung Lawu adalah jelmaan prajurit Prabu Brawijaya V yang berugas sebagai penunjuk arah. Sepanjang pendakian burung ini terbang di depan kami.


Jalaknya kecil, gagah tapi bersahabat.. #apajobak

Setelah pos lima kami bertemu teman-teman yang telah melanjutkan pendakian sejak dini hari tadi, mereka menunggu saya, Ali, Mas Andri, dan Mas Grandong untuk sama-sama summit attact. Oiya yang tak terpisahkan dari Lawu juga adalah keberadaan warung milik Mbok Prapto dan Mbok Yem. Hanya Lawu yang punya beginian men. Warung Tertinggi di Indonesia.

Sleeping bag... oh sleeping bag...


Ini bocah kegantengan banget.. Setelah galau ga ketemu Mbok Yem :p


And finally, pukul sepuluh lebih sedikit. 12 Oktober 2014, Hargo Dumilah 3265 mdpl. Tuhan itu baik, Tuhan itu asyik. :D

Langit biru dan gantungan kunci Mahameru :)

Tugu 3265 mdpl

Kami menyempurnakan senyuman itu dengan kue setengah beku dan lilin merah yang telah patah. Yep, Mas Andri’s Birth Day. Saudara laki-laki yang dilahirkan semesta.


Ulang tahun pertamanya di puncak. :D

Yes GOD, I am the most beautiful girl :p


Saya merasa berharga ketika Tuhan telah banyak percaya. Kepercayaannya menganugerahkan pelajaran melalui perjalanan dan petualangan adalah dambaan banyak orang. Mencoba. Satu hal yang saya tahu, kadang kita terlalu sibuk untuk menyadari bahwa, “Saya mahkluk-Nya yang sangat pantas bahagia.” Sudah sadar? Jika sudah ya keluar, gendong ransel dan mencobalah! Semua sama saja sebenarnya, kalau teman-teman bilang, “Wah, enak ya kamu maen terus. Mau dong ikut.” Yakalo hanya bicara tanpa mencoba bagaimana bisa. Tuhan tidak dengan tiba-tiba menurunkan kesempatan termasuk teman perjalanan kalau kita hanya diam di depan tivi nonton acara travelling sambil bermimpi. Boleh bermimpi, tapi ingat, kan umur kita nggak abadi. Bangun dan beranilah! Ya, berani juga punya konsekuensi, ijin oran tua misalnya, tugas-tugas kuliah atau pekerjaan, daya tahan ngirit, dan lain-lain. Sudahlah, Indonesia… eh Jawa Tengah dulu ding. Ya, Jawa Tengah itu indah men…. Entar keburu ada jembatan Sindoro-Sumbing, keburu ada flying fox Merbabu-Merapi, keburu ada kereta ke Karimun Jawa (padahal belum pernah ke Sindoro, Merbabu, dan Karimun Jawa haha) Yuk sama-sama, mewujudkan kata “secepatnya ke sana” Woyy…. Sekripsi woy… Eh iya ding, ya skripsi, ya lulus, ya kerja , ya nikah, ya punya anak TAPI TETEP JALAN SUKA-SUKA KE MANA-MANA! :D 


Tanpa tendensi :)


 So, thank you for reading. Selamat memaknai perjalanan, selamat merayakan petualangan :)




All photoes were taken by Andri Mandala, Santoso Ali, and me.

Categories: ,

2 komentar:

  1. waah dapat cuaca bagus ya mbak, gw dulu ke Lawu pas cuacanya jelek bgt, jadi gak bisa dapet view yg bagus2.. :(

    BalasHapus
  2. Iya Bang, alhamdulillah. Musim menggunung lebih panjang keknya, hujannya telat di sini hehe.. Naik lagi aja Bang, siapa tau cerah :D

    BalasHapus

Yours: