“Glo,
aku ini dianggap apa ya sama dia?”
“Kamu
tahu Spongebob kalo habis nabrak tembok,
trus jadi berkeping-keping?”
“Jadi
kubus-kubus, terus nyusun badannya sendiri.”
“Nah,
Itu kamu. Perempuan Spongebob!”
Perempuan
Spongebob. Benarkah aku seperkasa itu? Aku ingin melanjutkan obrolan dini hari
ini, tapi nampaknya hanya mataku yang masih mau terjaga, dia, temanku, sudah
mengungkung diri dalam selimut. Tidak perlu segelas kopi murni untuk mengganjal
kantuk, hanya butuh beberapa deret kata. Whatsapp-mu Mas, kata-kata di dalam
whatsapp yang akan menstimulus nafsuku membalas dengan kalimat berlayar-layar.
Lalu satu centang yang dengan pongahnya selalu berhasil mengejekku. “Mungkin
koneksi data selular-nya sedang buruk, Nala. Coba ditelvon!” kusebut ini
bisikan dari hati perempuan yang teramat merindu. Panggilan televon hingga tiga
kali tanpa jawaban, dan inilah saatnya mengibarkan bendera, pertengkaran
dimulai.
“Aku
sibuk. Ngerti nggak sih?” Maumu kalau miscall
dua kali tidak diangkat aku tidak usah menghubungi lagi.
Beri
tahu aku bagaimana cara mengertimu, Mas! Bukankah memang man is from Venus and women is from Mars? Karena yang kutahu,
dengan hanya mendengar suaramu sekali seminggu itu tidak akan terlalu
mengganggu. Setahuku ada jam istirahat, ada hari libur, ada sedikit waktu jika
memang punya niat untuk menyempatkan. Atau pekerjaanmu memang sangat padat
jadwalnya. Iya Mas, aku masih ingat janjimu akan membawaku ke tempat-tempat
indah, semuanya butuh biaya. Atau diam-diam kau menabung untuk masa depan kita?
Ah, harusnya aku bersyukur punya lelaki pekerja keras.
Kata
Fiersa Besari, antara kita itu ada aku, jempolku, layar, jempolmu, kamu,
sejatinya sedekat itu. Sesekali kusempatkan memejamkan mata sejenak untuk
meresapi ({ }) :* yang kau kirimkan. Berapa lama keningku dan bibirmu tidak
saling menyapa? Jarak. Permasalahan banyak orang, bukan hanya aku dan kamu,
tapi tidakkah kita yang paling ruwet?
Sawang-sinawang, mungkin aku yang
terlalu perasa. Menafsirkan semua status dan PM yang kau buat. Memikirkanmu
yang belum memberi kabar semingguan. Bermain tebak-tebakan dengan otakku
sendiri. Aku mencintaimu. Kalau kau bilang semua ini alay, itulah cinta Mas,
mengasihi secara perempuan yang dari Mars. Kami tumbuh dengan perasaan halus
dan sepercik subur kekhawatiran, bukan hanya khawatir kau pergi berkencan
dengan perempuan lain, namun juga khawatir apa kau sehat hari ini, bagaimana
perjalananmu ke tempat kerja semoga tidak kesrempet
becak, apa makananmu cukup sayur, pilekmu sudah sembuh atau belum. Mau
bilang apa? Ini perhatian, toh aku juga tidak pernah bawel seperti radio rusak.
“Emangnya kalau aku masih flu kamu bisa kesini bawain air sama obat?” Pernahkah
memikirkan bagaimana perasaanku ketika mendengarnya. Aku benci ini semua, tapi
setahuku memang ini komitmen kita, bersikaplah! Seremeh itu perhatian diartikan
olehmu, sedang aku memang tak bisa apa-apa. Tepatnya kita, pun aku Mas, hanya
mungkin bedanya membaca pesanmu atau mendengar suaramu akan selalu memberi
energi baru. Ah, sampai kapan perempuan akan terus irasional? Sampai dia
kehabisan hati sehingga tidak bisa tulus mencintai.
Saat
selesai bertengkar seperti ini aku selalu mengigat bagaimana kita telah melalui
hal yang lebih ruwet sebelumnya. Anak
muda yang saling mencintai, dulu waktu kamu pedekate, kita ketemu di terminal,
hobi kita makan bakso, juga setiamu menemaniku mencari pekerjaan hingga
beasiswa kuliah, termasuk beberapa bait penghianatan termaafkan, penentangan,
macam-macam sudah. Ada senyummu dan senyumku yang sama-sama terkembang saat
kita selesai bertengkar, menoleh berbarengan, saling pandang empat detik, lalu
tertawa bersama. Semua itu yang membuatku bertahan, perempuanmu.
Semakin
lama semakin majal. Sudah kutemukan cara tercepat dan termudah mengembalikan
diri seperti semula. Pertengkaran-pertengkaran itu kalau sudah memang waktunya
selesai ya pasti akan selesai juga. Dampratanmu kalau kutelevon terasa seperti
bercandaan saja. Perang status kita menempaku mengolah kata, banyak manfaatnya.
Kalau kamu membahas perempuan lain, aku tahu hatimu tetap aku. Jalan dengan
mereka hanya selingan kan?
“Nala,
belum tidur?”
Ah,
padahal aku Masih ingin melamun. Kenapa bocah ini bangun. “Glo? Ho’oh, nggak bisa tidur.”
“Masih
mau cerita? Apa mau nangis lagi?”
“Enggak
kok.”
“Perempuan
Spongebob, apa sih yang bikin kamu bertahan? Diginiin tahunan loh.”
“Udah kebal sih.”
“Kebal,
majal, hambar, mati rasa.”
Hening.
“Masih
sayang?”
“Sangat,”kuakhiri
dengan seulas senyum.
“Yaudah,
lanjutkan! Ga ada gunanya nasehatin orang yang masih pakai rasa.”
Tawaku
sumbang memecah hening setengah dua pagi.
“Belum
tentu sakitmu dengan seseorang akan dibalas bahagia dengan orang yang sama
juga, itu aja sih.”
“Maksunya?”
alisku mengkerut.
“Yah,
I dunno. Yang tahu cara membahagiakan hatimu, ya kamu sendiri. Mungkin dengan
menjadi Spongebob yang hancur jadi kepingan kubus, terus dengan memaafkan dan
mengikhlaskan kamu balik menjadi seperti semula itu membuatmu bahagia,terus-terusan
seperti itu. Ya kan nggak tahu juga.
Versi bahagiaku sama bahagiamu kan nggak sama. “
“Iyasih,
kamu mencintai model ginian kan cuma kuat tiga bulan doang.”
“Karena
aku bukan perempuan Spongebob kayak kamu, Nala!”
Aku.
Kata Gloria aku perempuan spongebob, Mas.
P.S: Untuk Nala dan perempuan-perempuan
Spongebob lain di luar sana, yakinlah kalian akan bahagia. Tuhan memeluk
hati-hati yang tulus mencintai. Salam salut J
Picture
theme was taken from www.moviestation.org
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: