Rabu, 06 Agustus 2014

Perempuan Spongebob



“Glo, aku ini dianggap apa ya sama dia?”
“Kamu tahu Spongebob  kalo habis nabrak tembok, trus jadi berkeping-keping?”
“Jadi kubus-kubus, terus nyusun badannya sendiri.”
“Nah, Itu kamu. Perempuan Spongebob!”
Perempuan Spongebob. Benarkah aku seperkasa itu? Aku ingin melanjutkan obrolan dini hari ini, tapi nampaknya hanya mataku yang masih mau terjaga, dia, temanku, sudah mengungkung diri dalam selimut. Tidak perlu segelas kopi murni untuk mengganjal kantuk, hanya butuh beberapa deret kata. Whatsapp-mu Mas, kata-kata di dalam whatsapp yang akan menstimulus nafsuku membalas dengan kalimat berlayar-layar. Lalu satu centang yang dengan pongahnya selalu berhasil mengejekku. “Mungkin koneksi data selular-nya sedang buruk, Nala. Coba ditelvon!” kusebut ini bisikan dari hati perempuan yang teramat merindu. Panggilan televon hingga tiga kali tanpa jawaban, dan inilah saatnya mengibarkan bendera, pertengkaran dimulai.
“Aku sibuk. Ngerti nggak sih?” Maumu kalau miscall dua kali tidak diangkat aku tidak usah menghubungi lagi.
Beri tahu aku bagaimana cara mengertimu, Mas! Bukankah memang man is from Venus and women is from Mars? Karena yang kutahu, dengan hanya mendengar suaramu sekali seminggu itu tidak akan terlalu mengganggu. Setahuku ada jam istirahat, ada hari libur, ada sedikit waktu jika memang punya niat untuk menyempatkan. Atau pekerjaanmu memang sangat padat jadwalnya. Iya Mas, aku masih ingat janjimu akan membawaku ke tempat-tempat indah, semuanya butuh biaya. Atau diam-diam kau menabung untuk masa depan kita? Ah, harusnya aku bersyukur punya lelaki pekerja keras.
Kata Fiersa Besari, antara kita itu ada aku, jempolku, layar, jempolmu, kamu, sejatinya sedekat itu. Sesekali kusempatkan memejamkan mata sejenak untuk meresapi ({ }) :* yang kau kirimkan. Berapa lama keningku dan bibirmu tidak saling menyapa? Jarak. Permasalahan banyak orang, bukan hanya aku dan kamu, tapi tidakkah kita yang paling ruwet? Sawang-sinawang, mungkin aku yang terlalu perasa. Menafsirkan semua status dan PM yang kau buat. Memikirkanmu yang belum memberi kabar semingguan. Bermain tebak-tebakan dengan otakku sendiri. Aku mencintaimu. Kalau kau bilang semua ini alay, itulah cinta Mas, mengasihi secara perempuan yang dari Mars. Kami tumbuh dengan perasaan halus dan sepercik subur kekhawatiran, bukan hanya khawatir kau pergi berkencan dengan perempuan lain, namun juga khawatir apa kau sehat hari ini, bagaimana perjalananmu ke tempat kerja semoga tidak kesrempet becak, apa makananmu cukup sayur, pilekmu sudah sembuh atau belum. Mau bilang apa? Ini perhatian, toh aku juga tidak pernah bawel seperti radio rusak. “Emangnya kalau aku masih flu kamu bisa kesini bawain air sama obat?” Pernahkah memikirkan bagaimana perasaanku ketika mendengarnya. Aku benci ini semua, tapi setahuku memang ini komitmen kita, bersikaplah! Seremeh itu perhatian diartikan olehmu, sedang aku memang tak bisa apa-apa. Tepatnya kita, pun aku Mas, hanya mungkin bedanya membaca pesanmu atau mendengar suaramu akan selalu memberi energi baru. Ah, sampai kapan perempuan akan terus irasional? Sampai dia kehabisan hati sehingga tidak bisa tulus mencintai.
Saat selesai bertengkar seperti ini aku selalu mengigat bagaimana kita telah melalui hal yang lebih ruwet sebelumnya. Anak muda yang saling mencintai, dulu waktu kamu pedekate, kita ketemu di terminal, hobi kita makan bakso, juga setiamu menemaniku mencari pekerjaan hingga beasiswa kuliah, termasuk beberapa bait penghianatan termaafkan, penentangan, macam-macam sudah. Ada senyummu dan senyumku yang sama-sama terkembang saat kita selesai bertengkar, menoleh berbarengan, saling pandang empat detik, lalu tertawa bersama. Semua itu yang membuatku bertahan, perempuanmu.
Semakin lama semakin majal. Sudah kutemukan cara tercepat dan termudah mengembalikan diri seperti semula. Pertengkaran-pertengkaran itu kalau sudah memang waktunya selesai ya pasti akan selesai juga. Dampratanmu kalau kutelevon terasa seperti bercandaan saja. Perang status kita menempaku mengolah kata, banyak manfaatnya. Kalau kamu membahas perempuan lain, aku tahu hatimu tetap aku. Jalan dengan mereka hanya selingan kan?
“Nala, belum tidur?”
Ah, padahal aku Masih ingin melamun. Kenapa bocah ini bangun. “Glo?  Ho’oh, nggak bisa tidur.”
“Masih mau cerita? Apa mau nangis lagi?”
“Enggak kok.”
“Perempuan Spongebob, apa sih yang bikin kamu bertahan? Diginiin tahunan loh.”
 “Udah kebal sih.”
“Kebal, majal, hambar, mati rasa.”
Hening.
“Masih sayang?”
“Sangat,”kuakhiri dengan seulas senyum.
“Yaudah, lanjutkan! Ga ada gunanya nasehatin orang yang masih pakai rasa.”
Tawaku sumbang memecah hening setengah dua pagi.
“Belum tentu sakitmu dengan seseorang akan dibalas bahagia dengan orang yang sama juga, itu aja sih.”
“Maksunya?” alisku mengkerut.
“Yah, I dunno. Yang tahu cara membahagiakan hatimu, ya kamu sendiri. Mungkin dengan menjadi Spongebob yang hancur jadi kepingan kubus, terus dengan memaafkan dan mengikhlaskan kamu balik menjadi seperti semula itu membuatmu bahagia,terus-terusan seperti itu.  Ya kan nggak tahu juga. Versi bahagiaku sama bahagiamu kan nggak sama. “
“Iyasih, kamu mencintai model ginian kan cuma kuat tiga bulan doang.”
“Karena aku bukan perempuan Spongebob kayak kamu, Nala!”
Aku. Kata Gloria aku perempuan spongebob, Mas.



P.S: Untuk Nala dan perempuan-perempuan Spongebob lain di luar sana, yakinlah kalian akan bahagia. Tuhan memeluk hati-hati yang tulus mencintai. Salam salut J


Picture theme was taken from www.moviestation.org

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: