Selasa, 06 Agustus 2013

Kastengel


Malam bergerak pelan, terselubunng oleh desau dingin bulan Agustus yang masuk melalui lubang angin-angin. Timbul tenggelam terdengar suara takbir, hatiku berdesir. Kulihat sekeliling, kosong tanpa senyum ibu dan tawa khas adikku. Dengung halus mixer memecah keheningan. Malam lebaran pertamaku di kota perantauan. Sebuah ruangan yang diberi nama dapur meski tanpa kompor atau panci-panci yang bergelantungan. Beberapa peralatan makan, satu dispenser dan kulkas, hanya itu perabotnya. Sekarang aku berdiri di dekat meja yang letaknya di tengah-tengah, mata dan tanganku menimbang tepung dan keju. Sementara di sampingku, seseorang dengan muka serius sedang mengkocok kuning telur, mentega, dan margarin. Gerakannya sedikit kaku, tapi dia tak peduli. Alris, sebatas nama yang kutahu. Cerita teman-teman selalu melengkapi namanya, Alris the ice man. Laki-laki cuek, acuh tak peduli, diam, dan tidak bersentuhan dengan basa-basi. Alris dingin dan sepi bak alas Purwo tengah malam.
“Jangan lupa garam dan emplex-nya!”
Tangannya mengikuti instruksiku, “Berapa?”
“Satu sendok teh.”
Baling-baling mixer bergoyang melambat, kutuangkan fresh cream perlahan-lahan. “ Nanti kalau sudah rata masukkan parutan keju edam-nya. Aku siapkan tepung dulu.”
“Ya.”
Aku tak menemukan kecintaan akan memasak atau bahkan membuat kue pada Alris, terlihat dari kekikukan tangannya. Tapi apa yang membuat dia begitu terobsesi membuat kue kering ini? Kastengel. Sekedar kue kering berbentuk balok rasa keju. Mulanya dari kemarin. Aku membuka paketan kastengel dari adikku. Setoples besar kastengel yang kumakan bersama teman-teman kerja, hanya untuk mengganjal perut membatalkan puasa di jam lembur. Entah kapan Alris ikut mengambil aku tidak tahu, atau mungkin mencicipi beberapa keping yang dibawa teman seruangannya. Semua orang yang mencoba kastengelku memang berkomentar, “enak”, “renyah”, “gurihnya pas”, “kejunya nendang”, sewajarnya komentar untuk makanan gratis. Tapi Alris, rasaku reaksinya terlalu berlebihan. Kemarin malam itu untuk pertama kalinya dia menyapaku, kami hanya sekedar tahu nama, tidak kenal, maklum beda divisi.
“Sekar,” suaranya canggung.
“Ya?” balasku.
“Kastengelnya enak.”
“Trima kasih. Itu buatan ibu dan adik, kiriman dari rumah.”
“Kamu bisa membuat yang seperti itu?”
“Bisa,” jawabku pasti,”Kenapa?”
“Boleh minta tolong?”
Alisku trangkat, “Ada apa?” heran.
“Kamu bisa membuat kue itu. Em... maksutku kita, aku minta tolong. Bisa menemani membuat kastengel seperti itu. Aku pingin belajar.”
Dan aku juga tidak tahu mengapa mlihat wajahnya yang memohon aku tiba-tiba dengan sukarela mengiyakan permintaannya. Juga kutanyakan kapan dia mau belajar, lalu aku sndiri yang memilih malam ini. Tadi sepulang bekerja kami berbelanja. Gayanya tetap ice man saat membuntutiku sambil mendorong troli. Satu dua kali aku berusaha membuka percakapan, tapi apa sambungnya, hanya “ya”, “oh”, “enggak”. Mungkin memang bawaan lahir, ya sudah, aku pasrah ikut diam.
“Kamu suka warna apa?”
“Apa? Sorry?” ulangku sedikit tidak percaya dia menanyai warna kesukaanku saat memilih oven.
“Oven. Putih, hitam, atau merah?”
“Merah,” kataku. Benar-benar laki-laki irit omongan. Masak selama di supermarket aku menghitung dia hanya mengajakku berbicara sebanyak tiga kali. Bertanya warna oven, bertanya aku suka mixer jenis apa, dan meminta belanjaan.
“Sini, biar aku saja,” tangannya mengambil seplastik belanjaan yang kutenteng.
Kami sempat mau memasak di kosku. Tapi karena dapur kos-kosan bentuknya lebih mengenaskan terpaksa aku ikut Alris pulang ke kontrakannya, memasak di sini, di dapurnya.
“Sudah?” Dia memiringkan baskom berisi adonan ke arahku.
“Matikan mixer­-nya!”
Campuran tepung maizena, susu bubuk, tepung protein rendah, dan baking powder yang sudah diayak kumasukkan perlahan-lahan. Alris mengganti mixer dengan adukan tangan menggunakan spatula. Sesekali punggung tangannya naik ke dahi mencegah jatuhnya keringat. Semoga bukan satu kekonyolan saat aku mendekat. “Sorry.” Aku biasa melakukan ini kepada ibu dan adikku saat sedang membuat kue bersama. Hanya mengelap keringat mereka dengan tisu, memastikan tak akan ada yang menetes dan ikut tercampur dalam adonan.
“Thank’s,” dia tersenyum. Ah, senyumnya. Baru kali ini aku menatapnya langsung, menatap matanya. Garis rahang yang keras dan tinggi, alis mata yang hampir bertaut, hidungnya, bibirnya yang melengkungkan senyum dengan sempurna, stop! Aku hanya membantunya membuat kastengel, sudah Sekar, sudah!
“Aku siapkan loyang dulu”. Kenapa suaraku tiba-tiba parau, nafasku seperti tercekat di tenggorok. Sial! Aku salah tingkah.
Segera tanganku mengoles loyang dengan margarin cair. Wajahku terus menunduk seolah menghikmatkan goyangan kuas menyapu permukaan aluminium. Kuning dan rata seperti olesan lulur bali sebelum mandi. Jika ada Phatma di sebelahku, pasti langsung kutowel pipinya pakai ini. Lalu adikku itu pasti akan membalas dengan lemparan tepung. Dapur dan wajah kami akan saingan, mana yang lebih berantakan. Ibu yang sedang mengoven hanya geleng-geleng, “Sampai kapan kalian akan selalu seperti anak kecil?” Aku kangen, ingin pulang.

“Sekar,” Alris membuyarkan semuanya.
Kepalaku berputar, sekotak tisu dia sodorkan. “Kamu kangen rumah ya?” Bibirku terpaksa tersenyum, air mata belum sepenuhnya jatuh, sebagian masih menggenangi pelupuk.
“Kenapa memaksakan diri ambil jadwal piket lebaran?”
“Tahun ini adikku masuk SMA. Kejar setoran, Ris, tunggakan daftar ulang.”
Air mukanya berubah, menyesal telah bertanya begitu. Sudahlah, biasa saja! ini memang kewajibanku sebagai anak sulung. Aku benci dikasihani!
“Adonannya gimana?”
“Seperti ini. Menurutku pas, siap dicetak.” Dia menyodorkan baskom berisi adonan. “Good! Tolong stroller pin-nya!”
“Biar aku saja.”
“Aku bisa membantu mengolesi kuning telur, menaburi keju cheddar.
Nggak usah, Sekar. Kamu istirahat ya, besok kita kan sholat Ied pagi-pagi. Aku sudah terlalu banyak merepotkan.” Baik hati sekali dia membimbingku mengambil kursi, oke, aku duduk manis mengamati dia bekerja.
“Kenapa kamu tidak pulang?” niatku membuka obrolan, tapi tidak seharusnya juga menanyakan ini, bodoh!
Stroller pin-nya berhenti menggelinding. Satu hembusan nafas panjang mengalirkan kesedihan di wajahnya. “Nggak punya kampung buat mudik,” katanya diiringi tawa yang menurutku terlalu dipaksakan.
“Kamu kangen kastengel buatan ibumu juga ya?” pertanyaan bodoh kedua.
“Harusnya kamu tanya dari kemarin. Kenapa tiba-tiba aku menodong minta diajari membuat kastengel.” Tawaku menguap. “Terakhir aku makan kastengel yang rasanya seperti kemarin itu...” dia mengingat-ingat,” Kalau tidak salah waktu aku kelas tiga SMA, waktu lebaran. Buatan mama.”
Mataku meneliiti, bertanya-tanya sebenarnya ada apa antara dia dan kastengel? Juga arti senyumnya yang semu. Itu bukan senyum, itu pengganjal bernama gengsi tak mau menangis di depanku.
“Aku sudah mencoba banyak kastengel. Beli kiloan di pasar, di supermarket, di toko khusus cookies. Tapi rasanya tetap saja beda, warnanya beda, bentuknya beda.”
“Dan kastengelku...”
“Dan kastengelmu sama persis. Trima kasih ya.” Lagi-lagi dia tersenyum, dan lagi-lagi senyuman itu menawanku.
“Sama-sama.”
Dia kembali asyik mencetak kue, memindahkan ke loyang, mengoles permukaannya dengan kuning telur, dan tentu saja menaburkan parutan keju cheddar. Tangannya berusaha telaten, meskipun terlihat ngoyo. Ternyata dia juga tahu rahasia kerenyahan kastengel. “Usahakan sedikit mungkin tersentuh tangan langsung. Begitu kan?”
“Kamu tahu dari mana?”
“Aku pernah sekali menunggui mama membuat kastengel.”
Mungkin dia sadar telah bercerita terlalu jauh. Dia diam lagi, ruangan ini hening kembali. Mungkin dengan terus bercerita akan membobol bendungan tangisnya, dan aku paham dia tak mau itu kejadian di depan perempuan yang baru dikenalnya dua hari. Pasti momen sekali menunggui ibunya membuat kastengel itu berarti. Bisa saja momen terakhir sebelum ibunya pergi jauh, atau ibunya sudah meninggal? Atau dia yang kabur dari rumah? Pertengkaran hebat, diusir? Ya Tuhan! rasanya aku harus mengurangi waktu mengkonsumsi infotainment-ku. Parah sekali!

--- --- ---

Bau gurih keju seketika menyeruak. Seloyang penuh kastengel yang gemuk dan cantik. Semburat oranye keemasan akibat kuning telur yang terpanggang begitu menarik, juga parutan cheddar yang berjejalan.
Dua anak manusia sedang mengemas kerinduan mereka. Membiarkan hati-hati yang rapuh dalam diam sambil terus berharap dinginnya malam lebaran ini malah akan merenyahkan semuanya. Atau, bau keju yang menderu ini yang akan menyelimuti mereka, menghangatkan sayup takbir yang semakin tak terdengar.
Jam dinding terus berayun. Sudah lewat tengah malam, sudah lewat malam lebaran.
“Terima kasih, Sekar. Selamat Idul Fitri.”
“Terimakasih, Alris. Minal Aidin ya.”
Senyum kedunya mengembang.

--- --- ---







Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Yours: