Malam bergerak pelan, terselubunng oleh desau dingin bulan Agustus yang masuk melalui lubang angin-angin. Timbul tenggelam terdengar suara takbir, hatiku berdesir. Kulihat sekeliling, kosong tanpa senyum ibu dan tawa khas adikku. Dengung halus mixer memecah keheningan. Malam lebaran pertamaku di kota perantauan. Sebuah ruangan yang diberi nama dapur meski tanpa kompor atau panci-panci yang bergelantungan. Beberapa peralatan makan, satu dispenser dan kulkas, hanya itu perabotnya. Sekarang aku berdiri di dekat meja yang letaknya di tengah-tengah, mata dan tanganku menimbang tepung dan keju. Sementara di sampingku, seseorang dengan muka serius sedang mengkocok kuning telur, mentega, dan margarin. Gerakannya sedikit kaku, tapi dia tak peduli. Alris, sebatas nama yang kutahu. Cerita teman-teman selalu melengkapi namanya, Alris the ice man. Laki-laki cuek, acuh tak peduli, diam, dan tidak bersentuhan dengan basa-basi. Alris dingin dan sepi bak alas Purwo tengah malam.
“Jangan
lupa garam dan emplex-nya!”
Tangannya
mengikuti instruksiku, “Berapa?”
“Satu
sendok teh.”
Baling-baling
mixer bergoyang melambat, kutuangkan
fresh cream perlahan-lahan. “ Nanti kalau sudah rata masukkan parutan keju edam-nya. Aku siapkan tepung dulu.”
“Ya.”
Aku
tak menemukan kecintaan akan memasak atau bahkan membuat kue pada Alris,
terlihat dari kekikukan tangannya. Tapi apa yang membuat dia begitu terobsesi
membuat kue kering ini? Kastengel. Sekedar kue kering berbentuk balok rasa
keju. Mulanya dari kemarin. Aku membuka paketan kastengel dari adikku. Setoples
besar kastengel yang kumakan bersama teman-teman kerja, hanya untuk mengganjal
perut membatalkan puasa di jam lembur. Entah kapan Alris ikut mengambil aku
tidak tahu, atau mungkin mencicipi beberapa keping yang dibawa teman
seruangannya. Semua orang yang mencoba kastengelku memang berkomentar, “enak”, “renyah”,
“gurihnya pas”, “kejunya nendang”, sewajarnya komentar untuk makanan gratis. Tapi
Alris, rasaku reaksinya terlalu berlebihan. Kemarin malam itu untuk pertama
kalinya dia menyapaku, kami hanya sekedar tahu nama, tidak kenal, maklum beda
divisi.
“Sekar,”
suaranya canggung.
“Ya?”
balasku.
“Kastengelnya
enak.”
“Trima
kasih. Itu buatan ibu dan adik, kiriman dari rumah.”
“Kamu
bisa membuat yang seperti itu?”
“Bisa,”
jawabku pasti,”Kenapa?”
“Boleh
minta tolong?”
Alisku
trangkat, “Ada apa?” heran.
“Kamu
bisa membuat kue itu. Em... maksutku kita, aku minta tolong. Bisa menemani
membuat kastengel seperti itu. Aku pingin belajar.”
Dan
aku juga tidak tahu mengapa mlihat wajahnya yang memohon aku tiba-tiba dengan
sukarela mengiyakan permintaannya. Juga kutanyakan kapan dia mau belajar, lalu
aku sndiri yang memilih malam ini. Tadi sepulang bekerja kami berbelanja. Gayanya
tetap ice man saat membuntutiku
sambil mendorong troli. Satu dua kali aku berusaha membuka percakapan, tapi apa
sambungnya, hanya “ya”, “oh”, “enggak”. Mungkin memang bawaan lahir, ya sudah,
aku pasrah ikut diam.
“Kamu
suka warna apa?”
“Apa?
Sorry?” ulangku sedikit tidak percaya
dia menanyai warna kesukaanku saat memilih oven.
“Oven.
Putih, hitam, atau merah?”
“Merah,”
kataku. Benar-benar laki-laki irit omongan. Masak selama di supermarket aku
menghitung dia hanya mengajakku berbicara sebanyak tiga kali. Bertanya warna
oven, bertanya aku suka mixer jenis
apa, dan meminta belanjaan.
“Sini,
biar aku saja,” tangannya mengambil seplastik belanjaan yang kutenteng.
Kami
sempat mau memasak di kosku. Tapi karena dapur kos-kosan bentuknya lebih
mengenaskan terpaksa aku ikut Alris pulang ke kontrakannya, memasak di sini, di
dapurnya.
“Sudah?”
Dia memiringkan baskom berisi adonan ke arahku.
“Matikan
mixer-nya!”
Campuran
tepung maizena, susu bubuk, tepung
protein rendah, dan baking powder
yang sudah diayak kumasukkan perlahan-lahan. Alris mengganti mixer dengan adukan tangan menggunakan
spatula. Sesekali punggung tangannya naik ke dahi mencegah jatuhnya keringat. Semoga
bukan satu kekonyolan saat aku mendekat. “Sorry.”
Aku biasa melakukan ini kepada ibu dan adikku saat sedang membuat kue
bersama. Hanya mengelap keringat mereka dengan tisu, memastikan tak akan ada
yang menetes dan ikut tercampur dalam adonan.
“Thank’s,”
dia tersenyum. Ah, senyumnya. Baru kali ini aku menatapnya langsung, menatap
matanya. Garis rahang yang keras dan tinggi, alis mata yang hampir bertaut, hidungnya,
bibirnya yang melengkungkan senyum dengan sempurna, stop! Aku hanya membantunya
membuat kastengel, sudah Sekar, sudah!
“Aku
siapkan loyang dulu”. Kenapa suaraku tiba-tiba parau, nafasku seperti tercekat
di tenggorok. Sial! Aku salah tingkah.
Segera
tanganku mengoles loyang dengan margarin cair. Wajahku terus menunduk seolah
menghikmatkan goyangan kuas menyapu permukaan aluminium. Kuning dan rata
seperti olesan lulur bali sebelum mandi. Jika ada Phatma di sebelahku, pasti
langsung kutowel pipinya pakai ini. Lalu adikku itu pasti akan membalas dengan
lemparan tepung. Dapur dan wajah kami akan saingan, mana yang lebih berantakan.
Ibu yang sedang mengoven hanya geleng-geleng, “Sampai kapan kalian akan selalu
seperti anak kecil?” Aku kangen, ingin pulang.
“Sekar,”
Alris membuyarkan semuanya.
Kepalaku
berputar, sekotak tisu dia sodorkan. “Kamu kangen rumah ya?” Bibirku terpaksa
tersenyum, air mata belum sepenuhnya jatuh, sebagian masih menggenangi pelupuk.
“Kenapa
memaksakan diri ambil jadwal piket lebaran?”
“Tahun
ini adikku masuk SMA. Kejar setoran, Ris, tunggakan daftar ulang.”
Air
mukanya berubah, menyesal telah bertanya begitu. Sudahlah, biasa saja! ini
memang kewajibanku sebagai anak sulung. Aku benci dikasihani!
“Adonannya
gimana?”
“Seperti
ini. Menurutku pas, siap dicetak.” Dia menyodorkan baskom berisi adonan. “Good! Tolong stroller pin-nya!”
“Biar
aku saja.”
“Aku
bisa membantu mengolesi kuning telur, menaburi keju cheddar.”
“Nggak usah, Sekar. Kamu istirahat ya,
besok kita kan sholat Ied pagi-pagi. Aku sudah terlalu banyak merepotkan.” Baik
hati sekali dia membimbingku mengambil kursi, oke, aku duduk manis mengamati
dia bekerja.
“Kenapa
kamu tidak pulang?” niatku membuka obrolan, tapi tidak seharusnya juga
menanyakan ini, bodoh!
Stroller pin-nya
berhenti menggelinding. Satu hembusan nafas panjang mengalirkan kesedihan di
wajahnya. “Nggak punya kampung buat
mudik,” katanya diiringi tawa yang menurutku terlalu dipaksakan.
“Kamu
kangen kastengel buatan ibumu juga ya?” pertanyaan bodoh kedua.
“Harusnya
kamu tanya dari kemarin. Kenapa tiba-tiba aku menodong minta diajari membuat
kastengel.” Tawaku menguap. “Terakhir aku makan kastengel yang rasanya seperti
kemarin itu...” dia mengingat-ingat,” Kalau tidak salah waktu aku kelas tiga
SMA, waktu lebaran. Buatan mama.”
Mataku
meneliiti, bertanya-tanya sebenarnya ada apa antara dia dan kastengel? Juga arti
senyumnya yang semu. Itu bukan senyum, itu pengganjal bernama gengsi tak mau
menangis di depanku.
“Aku
sudah mencoba banyak kastengel. Beli kiloan di pasar, di supermarket, di toko
khusus cookies. Tapi rasanya tetap
saja beda, warnanya beda, bentuknya beda.”
“Dan
kastengelku...”
“Dan
kastengelmu sama persis. Trima kasih ya.” Lagi-lagi dia tersenyum, dan lagi-lagi
senyuman itu menawanku.
“Sama-sama.”
Dia
kembali asyik mencetak kue, memindahkan ke loyang, mengoles permukaannya dengan
kuning telur, dan tentu saja menaburkan parutan keju cheddar. Tangannya berusaha telaten, meskipun terlihat ngoyo. Ternyata
dia juga tahu rahasia kerenyahan kastengel. “Usahakan sedikit mungkin tersentuh
tangan langsung. Begitu kan?”
“Kamu
tahu dari mana?”
“Aku
pernah sekali menunggui mama membuat kastengel.”
Mungkin
dia sadar telah bercerita terlalu jauh. Dia diam lagi, ruangan ini hening
kembali. Mungkin dengan terus bercerita akan membobol bendungan tangisnya, dan
aku paham dia tak mau itu kejadian di depan perempuan yang baru dikenalnya dua
hari. Pasti momen sekali menunggui ibunya membuat kastengel itu berarti. Bisa saja
momen terakhir sebelum ibunya pergi jauh, atau ibunya sudah meninggal? Atau dia
yang kabur dari rumah? Pertengkaran hebat, diusir? Ya Tuhan! rasanya aku harus
mengurangi waktu mengkonsumsi infotainment-ku. Parah sekali!
--- --- ---
Bau
gurih keju seketika menyeruak. Seloyang penuh kastengel yang gemuk dan cantik. Semburat
oranye keemasan akibat kuning telur yang terpanggang begitu menarik, juga
parutan cheddar yang berjejalan.
Dua
anak manusia sedang mengemas kerinduan mereka. Membiarkan hati-hati yang rapuh
dalam diam sambil terus berharap dinginnya malam lebaran ini malah akan
merenyahkan semuanya. Atau, bau keju yang menderu ini yang akan menyelimuti
mereka, menghangatkan sayup takbir yang semakin tak terdengar.
Jam
dinding terus berayun. Sudah lewat tengah malam, sudah lewat malam lebaran.
“Terima
kasih, Sekar. Selamat Idul Fitri.”
“Terimakasih,
Alris. Minal Aidin ya.”
Senyum
kedunya mengembang.
--- --- ---
0 komentar:
Posting Komentar
Yours: