“Kok
nggak nulis lagi? Aku suka loh baca blog kamu yang bagian putus cinta dan patah
hati. Jadinya aku merasa nggak sendiri, ada juga orang yang percintaannya nggak
bahagia, atau lebih parah malah!”
Taukah aku
ingin membalas pesan tersebut dengan, “Bangsat!” tapi karena aku sholehah
(sableng) kubalas dengan untaian doa-doa percintaan dua insan. Kan, gila! Ini
bukan kali pertama ada pesan beginian. Hmm, aku menulis tentang perpisahan di
blog adalah bentuk terimakasihku kepada orang- orang yang (pernah) kucintai,
kemudian karena satu dan lain hal aku tidak bisa meneruskannya (opossee). Baik
banget kan, udah disakitin masih nyeritain, itu nggak gampang loh, ada perang
badar di dalam hatiku (kalo yang ini ngetiknya sambil ngakak).
Aku sampai
pada fase menertawakan postingan-postingan percintaan di blogku sendiri, yang
sedikit drama banyak rindunya. AH SUDAHLAH, namanya juga anak muda. Sekarang
umurku dua puluh tiga lebih beberapa bulan, aku merasa sudah cukup tua dan
enggan untuk banyak berdrama. Satu
setengah bulan setelah wisuda aku resmi bekerja di Kediri. Jika dulu aku
berkoar sebagai mahasiswa bahagia, menertawakan buruh kelas menengah ngehe yang
terbungkuk-bungkuk di depan komputer dari pagi hingga sore, Demi Tuhan aku
kualat! Ya, nyatanya sekarang aku juga buruh yang berangkat naik sepeda motor
pagi-pagi dan pulang malam hari. Nikmat? Nikmat dong!
Memegang
kata-kata, “Bahagia ada di tanganmu sendiri,” membuatku dipaksa terbiasa
mengalihkan kebosanan sendiri. Pergi ke warung kopi, ke toko buku, atau membaca
di kamar jadi lebih sering kulakukan untuk mengisi waktu luang ketimbang
travelling (apalagi pacaran, eh). Entah,
sekarang aku malas senekat dulu untuk uculan
dolan sendiri atau hanya berdua semacam mbolang
kata orang-orang. Jika dulu aku hampir tak pernah ikut paket tour, maka sekarang lain halnya. Ikut
paket tour memungkinkan segala yang
buruk-buruk seperti nggak kebagian mobil, mobil rusak, kesasar, dan lain
sebagainya terminimalisir. Tenaga terbuang sia-sia juga tidak banyak, toh senin
pagi harus bekerja.
“Akhir
bulan yang melelahkaaaaaaan.”
“AH SUDAHLAH.
NGGAK PAPA BESOK KITA BUDAL DOLAN.”
Nah
adik-adik yang belum lulus, jika kamu mencibir kelas pekerja dengan bilang,
“Kehidupan luar kampus itu lebih memuakkan daripada kampusmu yang katamu
sekarang memuakkan!” Kujawab ya, muak tidaknya, semua ada ditanganmu, le!
AH
SUDAHLAH. Aku dan beberapa teman pergi ke Bromo Jumat malam sepulang kerja. Aku
menjaga untuk tidak teriak-teriak “butuh piknik” sebisaku. Kalau ada rejeki ya week end berangkat, gitu saja. Ibuku selalu bilang, nggak usah
norak, kamu bukan satu-satunya orang yang kerja dan pingin jalan-jalan!
Benar-benar Tuhan suruh aku pulang ke Kediri, dekat dengan ibu, supaya hidupku
makin sederhana. Nggak rumit, dan mengurangi drama, dididik lagi langsung!
Mungkin
sudah banyak yang tahu menuju Bromo bisa melalui tiga jalur, Tumpang-Malang,
Nongko Jajar-Pasuruan, dan Probolinggo. Sila googling saja ya karena ini memang
bukan catatan perjalanan. Aku tak bisa menceritakan banyak hal menuju Bromo karena
sepanjang Malang-Bromo matanya merem. Pukul sebelas lebih kami sampai di rumah
Bu Oli, seorang teman, di daerah Sukun. Dari
sini perjalanan dilanjutkan dengan mobil hart
top ke arah Tumpang . Kok ya bisa
naek hart top tidur? Saking pulesnya
ngga kerasa kejedot-jedot, baru sadar waktu turun, kepalanya ngilu-ngilu
benjol.
Bromo
sedang tidak terlalu dingin menurutku. Kali itu aku hanya memakai kaus lengan
panjang dan jaket kain, Alhamdulillah tidak menggigil. Kalau toh kedinginan parah
dan jaket kurang hangat, di sana juga ada penyewaan jaket seharga lima sampai
dua puluh ribu. Aku rindu tracking, jujur saja. Di bromo jalan sudah beraspal
mulus, dan ada tangga-tangga menuju Penanjakan tempat melihat sun rise. Sudah lama sekali aku tidak main ke gunung.
Giliran sudah dikabulkan Tuhan main ke gunung aku masih protes, kok nggak ada
trackingnya.Menungsoo!
Penanjakan
punya tempat duduk bersemen untuk melihat sunrise. Aku bisa memesan pop mie atau energen sembari ketawa-ketiwi bareng
teman-teman. Aku dan ratusan orang
menunggu matahari terbit. Apa mau
dikata, kabut tebal, proses matahati terbit tak tampak. Tau-tau matahari sudah mentor-mentor di atas, hampir pukul tujuh. Kami kembali ke mobil, melanjutkan perjalanan
ke kawah Bromo, pasir berbisik, dan bukit Teletubies.
Kubagi
saja beberapa fotonya ya, mungkin kau sedang rindu Bromo dan malas membaca
tulisanku kalau terlalu panjang. Ketahuilah aku tak pandai mengedit, aku
gaptek, jadi kalau menurutmu bagus ya memang karena Bromo bagus. Dan, maafkan
aku tidak terlalu banyak memotret gunungnya karena teman-temanku suka sekali
difoto. Dan selebihnya aku sangat menikmati bengong melihat lalu-lalang orang.
Itu jalan ke kawah. Aku nggak naik, aku makan nasi rames di bawah :)) |
Ini Mba Esti, aku yang motret. Pas udah cropping sama editing hasilnya kayak foto di katalog mobil. :p |
Ibu dan anak adalah objek foto yang selalu menarik! |
Katalog mobil ke sekian-sekian |
Dasar, kuda! |
Sabanaaaaaaa |
Aku sudah
pernah melihat matahari terbit di gunung, kawah, sabana, dan sekawanannya. Sekarang
aku tak seperti dulu yang jingkrak-jingkrak saking senengnya. Aku sangat
bahagia bisa ke gunung lagi, tapi tidak seheboh dulu. Satu yang kusarankan biar
pengalamanmu mengunjungi Bromo agak berbeda. Kemarin itu, aku, mas Yunus, dan
Mas Aldi naik ke atas mobil hart top dalam
perjalanan dari kawasan kawah menuju Pasir Berbisik. Nah, untuk yang ini
norakku muncul lagi. Aku bisa tereak-tereak. Jujur aku takut naik roller
coaster, aku hanya pernah beberapa kali. Rasanya naik di atas hart top yang sedang melaju seperti naik
roller coaster. Tapi aku berani,
karena menurutku tidak ada kemungkinan lintasan patah atau baut pengaman
protol. Padahal lebih besar kemungkinan jatuh dari atas hart top karena tentu saja nggak ada sabuk pengaman. Sebegitu bodoh
dan nggak rasional itu otakku hahaha.
Aurat, Mbaaa!
|
Begitulah,
menghabiskan Sabtu-Minggu caraku ketika agak ada duit dan tidak benturan waktu
dengan acara tertentu. Masih banyak tempat yang ingin sekali kukunjungi. Tapi,
AH SUDAHLAH, aku sudah berjanji tak mau banyak drama bukan? Kedepan mungkin
jika tidak malas aku akan banyak menulis hal-hal sederhana tentang kehidupan buruh
di kota kecil. Bagi sebagian orang hidupku tak menarik, bahkan ada yang dengan
terang-terangan bilang, “Kamu nggak ke Jakarta aja, serius? Eman-eman ya masih
muda lo.” AH SUDAHLAH, aku tetap percaya bahagiaku aku sendiri yang pegang. Dan
satu lagi, aku dididik waktu untuk menjadi lebih sederhana. Jadi no more
drama-drama yaaaaa……
Kling, eh
ponselku bunyi.
Kubuka
whatsapp, membaca percakapan.
X: “Did I
tell you I ever almost loved you?”
Y: “I
know”
X: “Can
we just meet again? I mean someday?”
Y: “Hmm…
maybe.”
Kuketik.
X: “AH
SUDAHLAH. Tidur, besok kerja. Night :)”
Y: “Night.”
Damn! Boleh aku ingkar janji menulis, duh drama ini.
Hahahahaha AH SUDAHLAH!
*Diselesaikan beberapa hari sebelum di-upload, sambil muter lagu Pewe Gaskins berjudul We Just Friend*
-Semua foto diambil dengan kameraku dan kamera Mas Yunus-